KEBAIKAN ORANG TUAKU
Sering ketika malam menjelang dan sunyi mulai menghampiri, aku berpikir. Lebih kurang 22 tahun hidup di dunia ini dilimpahkan kasih sayang dan karunia yang luar biasa. Boleh dibilang Allah maha penyayang padaku. Bagaimanalah caraku agar Allah tetap melimpahkan karunia itu padaku? Tentunya dengan melakukan apa yang disukai olehNya dan meninggalkan apa yang dimurkaiNya. Termasuk mencintai kekasihNya, Rasulullah SAW.
Begitu pun dengan orang tua. Sepanjang hidupku selalu berusaha membuat anak-anaknya bahagia dan tercukupi. Selalu menolongku saat aku membutuhkan mereka. Aku bangga melihat mereka. Tapi dibalik itu semua, ada hal yang lebih menganggu pikiranku. Hal itu adalah bagaimana caranya agar aku dapat membalas semua perngorbanan dan kebaikan mereka meski ku tahu andaikan seluruh langit beserta isinya ini aku persembahkan untuk mereka, itu tak kan cukup untuk membalas jasa-jasa mereka. Ibu yang rela tubuh dan wajahnya rusak karena mengandung kita, tak malu dengan perutnya yang makin hari makin besar karena mengangkut kita dan dengan ikhlas menghabiskan waktunya untuk merawat kita. Ayah yang siang malam banting tulang demi memenuhi kebutuhan kita mulai dari kita baru lahir hingga sebelum menikah.
Malu dan malu karena belum dapat membalas jasa orang tua walau sekedar membuatnya bahagia dan bangga pada kita anaknya. Kisah di keluargaku boleh dibilang unik dan kalau pun ada terjadi di keluarga lain, mungkin memang begitulah adanya.
Ayah dan ibuku adalah pekerja keras. Sejak kecil mereka dididik mandiri oleh kakek dan nenekku. Begitupun yang mereka tanamkan kepada kami anaknya. Tapi kami jarang menaatinya. Mereka tetap sabar. Mereka mengajarkan dan mengarahkan kami ke arah kemandirian dengan caranya sendiri.
Ayahku seorang anggota militer. Sering ketika dalam perjalanan baik atau malam kami arungi. Meski hujan, petir, malam gelap dengan rongrongan anjing atau siang terik sampai berkeringat. Dulu kami sering protes dan merajuk, capek dan sebagainya. Tapi sekarang kami sadar bahwa apa yang diajarkan oleh ayahku itu agar membuat kami menjadi anak yang pemberani dan tidak takut pada apapun kecuali Allah. Bila tiba waktunya shalat, ayah bersegera langsung ke masjid yang memang terletak di sebelah rumah dan lalu azan. Kami yang mendengar langsung tergerak. Sering kami bermalasan dan menunda-nunda pekerjaan, Namun ayahku hanya mengingatkan sekali. Setelah itu, jika kami tidak bergegas menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka beliau yang akan mengerjakannya. Hal itu membuat kami malu sendiri dan lantas bersegera mengambil alih dan mengerjakannya.
Satu kalimat yang selalu aku ingat, “Bagaimana kalau kalian berada di daerah konflik atau terjadi bencana alam? Makan saja lambat minta ampun.” Begitu ayah sering mengingatkan kami untuk bergerak cepat. Saat itu yang ku ingat adalah bagaimana kalau seandainya Allah mencabut nyawaku saat itu sementara aku belum menyelesaikan tugasku ataupun belum shalat misalnya.
Berbeda dengan ibuku yang sedikit cerewet tapi luat biasa kreatif, gesit dan pintar. Pernah suatu ketika keuangan keluarga benar-benar kritis sampai-sampai hanya bisa makan nasi saja. Ibuku yang pandai menjahit sampai harus lembur mengerjakan jahitan lalu kami anaknya mengantarkan jahitan ke rumah-rumah dan harus dibayar lunas. Pernah juga mengkreditkan barang elektronik yang diambil dari seorang kenalan ayah yang memiliki toko elektronik. Kami mengeluh kecapean karena harus terlibat dan mengurangi jadwal bermain. Aku juga sempat jualan kecil-kecilan sejak sekolah dasar, terkadang aku membawa kue buatan ibu dan terkadang menjual aksesoris yang dibuat dari bahan perca. Hal yang meletihkan. Sekarang aku baru meyadari bahwa apa yang dilakukan oleh ayah dan ibuku adalah untuk membuat kami anaknya mandiri dan terbiasa bekerja.
Meskipun begitu sering dirumah terjadi perbedaan pendapat yang kadang membuat aku dan adikku bingung. Ayahku tipe orang yang ingin sukses dengan tetap berpegangan pada jalan yang lurus tapi enggan untuk repot. Ibuku pekerja keras yang ingin sukses dengan melakukan apa yang dia bisa tapi memang dia bisa melakukan banyak hal dibanding ayah. Berkat kerja keras ibukulah yang membantu perekonomian keluarga dan jika diceritakan sangat panjang lebar. Keduanya sangat optimis dan mengutamakan pendidikan tapi bedanya ayahku tidak banyak tahu dengan pendidikan tinggi dan trik-triknya. Sementara ibuku adalah orang yang paling asyik untuk diajak kompromi.
Pernah untuk memulai bisnis, kami kucing-kucingan sama ayahku karena kalau meminta persetujuan beliau, sangat susah. Kami dan ibuku memutarbalikkan uang bulanan yang dikasih ayahku untuk berbisnis. Untungnya lumayan buat nambah uang jajan. Ayahku tidak terpikir akan hal seperti itu. Mungkin yang dipikirkannya hanya mengharap dari hasilnya saja padahal ku pikir maksud ibuku ada baiknya untuk membantu perekonomian keluarga.
Bisnis berjalan tanpa sepengetahuannya. Jika dihitung-hitung secara matematika, penghasilan ayahku tidak sepenuhnya mencukupi biaya sandang, pangan dan papan kami sejak kecil hingga diperguruan tinggi. Sementara itu, untuk makan sehari-hari tetap terpenuhi empat sehat lima sempurna. Alhamdulillah dapat juga berbagi dengan sesama. Hasil itu yang tidak diketahui ayahku. Sampai beliau tahu sendiri. Tapi setelah tahu, beliau tetap seperti apa adanya beliau saja. Kami pun sudah memakluminya. Kami pun semakin bekerja keras apa saja yang bisa dilakukan, kami lakukan untuk meringankan beban orang tua selagi masih dalam jalan yang halal.
Ku rasa apa yang mereka perlakukan pada kami anaknya adalah sebuah kebaikan yang tak terkira harganya, pelajaran terbaik yang kami miliki meski mereka tidak pernah memaksa dan memberikan kebebasan untuk kami berekspresi. Mereka tidak pernah menuntut kami mesti menjadi seperti apa yang mereka mau. Tapi satu kunci yang selalu kami ingat adalah agama. Semua akan dipertanggungjawabkan masing-masing dihadapan Allah. Benarlah seperti dikatakan, “hiduplah kamu di dunia seakan-akan kamu hidup selamanya dan beramallah kamu seakan kamu mati esok hari.”
Sebuah pelajaran hidup yang kami dapat dari orang tua kami. Hidup di dunia harus dilakoni dengan penuh tanggung jawab dan kerja keras agar mencapai suskes dunia dan akhirat. Kehidupan harus dijalani dengan kebaikan agar menjadi pemberat timbangan amal di akhirat untuk mencapai jannahNya dan bertemu denganNya. Ku rasa itu kebaikan yang sangat mendalam terasa olehku. Kebikan dari kedua orang tuaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.