Aku pernah membaca sebuah buku yang berjudul ‘membaca ombak’ karya Pak Chaidir. Di salah satu tulisannya bercerita tentang suatu daerah kaya yang kini miskin yaitu Dabo Singkep. Aku ingin bercerita sedikit tentang Singkep sebelum akhirnya aku mengalihkan ceritaku.
Singkep dulunya masih bergabung dengan Riau. Namun karena pemekaran daerah dan akhirnya terpisah, kepulauan Riau yang termasuk didalamnya Dabo Singkep, adalah sebuah daerah yang kaya akan penambangan timahnya. Mamaku sering bercerita tentang tanah kelahirannya itu, bagaimana kehidupan disana waktu dulu. Kakek yang seorang tentara, memensiunkan dirinya waktu muda dan kemudian bekerja di perusahaan timah. Hasil yang didapat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut bisa dibilang sangat memuaskan. Kehidupan yang berlimpah pun dirasakan mama. Kemudian kakek membuka banyak kebun yang akhirnya menambah penghasilan.
Kini daerah itu sepi, kawan! Tidak hanya dari cerita Pak Chaidir dan juga mama, tapi aku menyaksikannya sendiri. Sejak kecil hingga kini aku masih sering ‘pulang kampung’ ke Singkep. Pertama tiba di pelabuhan, kami hendak mencari kendaraan yang akan mengangkut kami menuju Paya Luas. Susah sekali menunggu angkutan umum. Disamping itu, rumah-rumah penduduk di pinggir jalan banyak yang sepi karena ditinggal pemiliknya setelah perusahaan timah tidak berfungsi. Coba kalian lihat jika nanti kalian berkunjung kesana, bangunan-bangunan yang ada hanya bangunan-bangunan tua dan bisa dibilang tidak ada pembangunan seperti kota-kota lainnya di Riau. Tentunya ini merupakan efek dari masa lalu dimana pemerintah yang kurang memperhatikan daerahnya.
Singkep ‘Gratisan’ saja. Seperti itulah ibaratnya. Ketika jayanya, tambang timah melimpah, kehidupan serba glamor dan masing-masing sibuk dengan kekayaannya. Untuk bisa tiba di Singkep sangat mudah, Jakarta-Singkep bisa terjangkau dalam waktu dekat. Tapi itu dulu, kini justru kebalikannya. Orang-orang yang dulu betah tinggal disana, kini semuanya pergi tanpa meninggalkan kemajuan sedikitpun di Singkep. Seenaknya mengambil hasil tambang disana tanpa ada imbalan untuk daerah.
Aku ingin menyinggung pemerintah di Riau. Aku tidak ingin Riau ini mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Singkep. Alasan mengapa aku katakan demikian? Kita lihat saja di Riau banyak perusahaan-perusahaan yang mengelola hasil bumi Riau. Label luar mengatakan milik Riau, tapi coba telusuri! Banyak dari perusahaan-perusahaan itu yang kepemilikannya diambil alih oleh pihak asing. Khawatirnya ketika hasil bumi Riau sudah tidak ada lagi, Riau ini ditinggal begitu saja tanpa ada hasil nyata yang menyentuh seluruh aspek masyarakat.  
Kalian tentunya tahu bahwa Riau kaya akan minyaknya. Tidak asing lagi kalimat ‘di atas minyak dan di bawah minyak’. Yah, memang begitulah nyatanya. Daerah penghasil minyak terbesar di Riau sebut saja Duri, Minas dan Siak. Meski banyaknya penghasil minyak, tetap saja masyarakat Riau sendiri kesusahan untuk mendapatkan minyak. Antrian panjang di SPBU menjadi pemandangan yang tidak asing. Harga yang tinggi juga membuat masyarakat bingung sementara pendapatan masyarakat masih banyak yang rendah. Untuk membeli minyak tanah juga lumayan susah, harganya juga mahal. Padahal, Duri menghasilkan minyak 600.000 barrel per hari. Bila saja pembagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan sejak otonomi daerah, Riau memperoleh 15% bagi hasil, maka tidak terlalu senjang mengingat Riau penghasil minyak terbesar.
Minyak juga merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sama halnya dengan timah. Jika habis pada waktunya dan tidak ada upaya penyelamatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, maka dapat dipastikan nasib Duri, Minas dan Siak tidak jauh beda dengan Singkep. Apakah kita tega meninggalkan daerah kita dalam keadaan seperti ini? Bagaimana nasib anak cucu yang tidak tahu menahu tentang hal ini?
Ketika berbicara tentang Riau, sebenanrnya banyak hal yang ingin diceritakan. Riau Ibukotanya Pekanbaru, kota bertuah. Bukan hanya mengkritisi yang akibatnya menjatuhkan daerah sendiri tapi adalah bagaimana kemudian semua orang sadar bahwa hidup hari ini bukanlah hanya untuk kehidupan hari ini. Masih ada esok, esok dan esoknya lagi yang mungkin memang kita tidak ada lagi. Yang terpenting dari hidup hari ini adalah menjadi gambaran kehidupan hari esok. Mengkritik adalah bagian dari kehidupan hari ini dalam rangka memperbaiki langkah selanjutnya yang masih kurang benar untuk hari esok yang lebih baik.
Saat ini, di kepala saya yang ada hanyalah kritikan terhadap daerah sendiri  melihat kondisi nyata yang terjadi. Dan dari keseluruhan permasalahan yang terjadi di Riau, sebenarnya hampir terjadi di daerah-daerah lainnya hanya saja persentasenya yang mungkin berbeda. Sepeti cerita saya tentang timah dan minyak tadi. Ini cerita lain tentang Riau.
Saya bahagia dilahirkan dan tinggal di Riau. Jika pun saya disuruh memilih untuk tinggal dimana, saya akan memilih untuk tinggal di Riau. Riau punya banyak kenangan dalam kehidupan saya dan juga memiliki begitu banyak keragaman yang mewarnai hari demi hari. Indahnya bila bersama.
Riau punya banyak hutan sehingga daerahnya pun cukup hijau. Nyaman berada di daerah yang hijau. Banyaknya hutan tentunya berguna sebagaimana kita sering dengar hutan paru-parunya dunia. Banyaknya hutan di Riau berarti Riau menjadi paru-paru dunia dalam menyuplai oksigen. Sebaliknya, jika hutan sudah tidak ada, tentu berkurangnya penyuplai oksigen. Kita semua sadar akan hal itu terutama bagi mereka yang berpendidikan jauh lebih mengerti secara ilmiahnya.
Tapi kemudian saya sedih ketika melihat sebuah video yang ditayangkan oleh sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, ternyata hutan di Riau kini tidak banyak  lagi. Isu-isu tentang kepemilikan hutan dan kerusakannya tidak jelas kini ujungnya. Dilihat dari awalnya secara dekat, yah kita akan terpana melihat hijaunya hutan Riau. Tapi semakin jauh, semakin tinggi, video itu menggambarkan betapa tandusnya Riau kini. Banyaknya pembakaran dan pembukaan lahan yang tidak resmi semakin memperburuk keadaan. Pihak-pihak tertentu sibuk meraup keuntungan sendiri tanpa bisa membedakan mana yang boleh dibuka untuk lahan baru mana yang tidak boleh. Anehnya lagi, banyak pejabat negeri ini yang ternyata terlibat di dalamnya. Makin aneh lagi, sudah ketahuan tapi masih bisa berkilah dan dilindungi. Puncak anehnya, mereka yang jelas-jelas sudah terlibat, tidak diproses, kini justru kembali muncul dengan percaya diri mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Ternyata cukup ada pula yang memilihnya. Apa maksud semua ini? Yang salah lagi punya duit itu yang dibela.
Belum lagi efek dari pembakaran dan pembukaan hutan tersebut. Asap dimana-mana. Jarak pandang semakin berkurang. Tidak dipungkiri salah satu penyebab kecelakaan adalah karena berkurangnya jarak pandang. Mau  mengurangi angka kecelakaan dengan cara tidak bepergian dari rumah? Bagaimana hendak mencari makan? Efek kepada kesehatan juga, semakin banyak asap yang terhirup semakin merusak paru-paru. Ujung-ujungnya banyak merugikan orang disekitar. Toh, lagi yang untung tidak membantu apa-apa jika terjadi kerugian seperti itu.
Hutan hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. Apakah itu juga akan terjadi? Kalaulah sudah gersang, masih ada yang bertahan? Khawatirnya akan sama kejadian dengan Singkep atau daerah ini jika sudah kehabisan minyak tadi. Maju dan baiknya suatu daerah tergantung pada siapa masyarakatnya. Masyarakat dalam hal ini termasuklah di dalamnya pengambil keputusan.
Riau itu negeri yang religi, Kawan! Adat bersandi syara. Syara bersandi agama, agama bersandi kitabullah. Itu semboyan kita, Kawan! Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan kembali kepada kitabullah. Mana ada di dalam kitabullah diajarkan untuk berbohong, mendzalimi saudara, atau mengambil yang bukan haknya. Itulah anehnya, entah kenapa semakin berpendidikan semakin saja pintar untuk berbuat curang.
Seperti belajar kimia, semakin mengetahui manfaat dan bahaya bahan-bahan kimia, harusnya kita semakin bisa berinovasi bagaimana menciptakan bahan-bahan herbal yang tidak kalah saing dengan bahan kimia dan bukanlah untuk menciptakan bom yang kemudian membuat rusuh dunia. Semakin berpendidikan, hendaknya semakin cerdas, apalagi tugas seorang pemimpin atau pengambil kebijakan yang sangat berat. Sudah berat di dunia. Berat pula di akhirat.
Ups, malah ngelantur ke pelajaran ya? Tapi tak apalah, karena ini juga merupakan pelajaran buat kita bersama sebagai masyarakat Riau. Yang katanya itu tadi, semboyan Riau yang sudah sangat bagus.
Menyinggung sedikit tentang kalimat tadi lagi. Dalam keseharian sering terlupakan tentang adat. Tapi coba lihat ketika ada perayaan hari  besar atau apalah namanya, pasti menggunakan adat. Yah, Riau tentunya sebagaimana adat melayu. Mulai dari yang kecil sampai yang besar, mulai dari penyambutan hingga perayaan. Ngakunya saja orang Riau. Tidak terbukti dalam keseharian yang mencerminkan orang Riau yang sopan dan bersandikan kitabullah. Harusnya konsisten sebagai orang Riau.
Wajar saja jika masyarakat kini sibuk melakukan demonstrasi menuntut pejabat kota dan provinsi untuk turun. Nyatanya kebijakan yang diambil banyak yang tidak menyentuh kehidupan masyarakat. Kalau sudah begini, tidak hanya Hutan tapi menjadi Harta hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. (Termasuk salah satu tulisan yang diikutsertakan dalam antologi bersama Pipiet Senja)


Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki memerhatikanku aneh atau mengata-ngatainku seenaknya.
Tapi kali ini aku benar-benar sudah tak berdaya. Badanku rebah dan tak mampu berdiri lagi. Aku tenggelam dalam duka.
*
“Ada apa denganku?” kucoba membuka mata perlahan. Samar-samar kulihat Makmuk, sapaan akrab di keluargaku untuk kakak tertua dari Bunda. Memang juga karena badannya yang besar tinggi dan rada gemuk.
Makmuk membelai rambutku. Dia mengelap wajahku dengan sapu tangan yang telah dibasahi air terlebih dahulu. Barangkali wajahku terlalu kusam.
“Ayah, Mak!” Ai sayang Ayah, Mak!” Ujarku dengan nada memaksa diri. Aku berusaha berdiri tapi ditahan.
“Ai, kamu jangan lasak dulu ya. Makmuk sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu kita baru bisa pergi.” Kata Sam yang sedari tadi juga berdiri di sampingku. Sam adalah tunanganku. Tapi kedepan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah kami.
“Aku mau bertemu Ayah. Sekarang!” Teriakku. Makmuk dan Sam justru meninggalkanku seorang diri. Mereka seakan tahu bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pandanganku menembus kaca-kaca yang selama ini tempat aku sering menanti hujan. Memandangi pepohonan rimbun di seberang jalan. Ada sebuah tambak ikan yang di sana ada sebuah kolam ikan dengan berbagi jenis ikan.
Biasanya aku dan Ayah sering memberi mereka makan. Tak lama kemudian Sam juga datang dan tak mau kalah membawa makanan ikan lebih banyak. Namun sayang, sudah dua minggu ini tak pernah lagi ada cerita tentang aku, Ayah dan Sam karena suasana telah berubah. Makin lama, pandanganku jauh merambati ruang dan waktu yang tak pernah aku inginkan. Di kepalaku hanya ada kalimat seandainya, seandainya dan seandainya …
*
Dalam siarannya malam itu, Sam sengaja menyapaku melewati gelombang udara. Entah berapa jauh jarak tempuhnya, yang pasti kecepatan udara adalah lebih cepat daripada terbangnya burung untuk menyampaikan pesan.
Sam memang pandai menyanjung siapapun lewat kata-katanya yang beraliran romantisme. Tapi tak seperti Kahlil Gibran yang sangat menyanjung cinta sekalipun kekasihnya telah lama tiada, katanya setia.
Buat seseorang yang sedang mendengar siaran ini
Special, kau selalu di hatiku
Meski sampai akhir hayatku
Tiada yang bisa mengisi hati ini
Just wanna you
Hope you will marry me
Gila ya! Kali ini Sam tak tanggung-tanggung mengatakan hal itu di depan umum. Tak bisakah menunggu sejenak. Bersabar sampai waktunya tiba. Baru dua minggu, dan baru saja aku berusaha bangkit mneghapus duka. Bahkan Sam tidak sanggup. Kalimat itu adalah desakan bagiku. Bukan baru sekali Sam mengatakannya dalam minggu ini.
Aku muak!
*
Pagi ini aku melompat secara diam-diam lewat jendela kamarku. Sebuah pot bunga berukuran sedang pecah tersenggol olehku. Tapi aman. Tak seorangpun yang menyadari.
Debu kota sepagi ini menghantarkanku menuju sebuah tempat yang hampir tiap hari kusambangi hingga malam. Rasanya tak ingin berpisah. Delapan belas tangkai mawar merah yang masih segar sengaja kubeli untuk kuberikan pada Ayah. Aku membeli mawar sebanyak itu karena Ayah menyukai angka delapan belas. Tanggal pernikahan Ayah dan Bunda sekaligus tanggal perpisahan mereka. Delapan belas mei mereka menikah dan setahun lebih satu bulan aku pun lahir. Tepatnya delapan belas juni. Beberapa menit setelah itu bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Sebenarnya aku kembar dan saudara kembarku pun ikut Bunda. Itu sebabnya mengapa aku menjadi anak emas Ayah dan alhasil aku pun sangat dekat dan manja pada Ayah meski sebentar lagi aku akan menikah.
Wangi-wangi bunga kenanga semerbak menyambutku sejak langkah pertama tiba di tempat itu. Suasana masih sama. Hening. Hanya cicit burung yang mencari makan sesekali mengiringi langkahku.
Aku tiba di depannya. Gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau serta nisan kayu yang mulai berlumut karena dua hari belakangan tak kubersihkan.
“Ayah, maaf aku baru menjenguk Ayah. Kemarin aku sakit dan Makmuk juga Sam tak mengizinkanku untuk menjengukmu.” Aku menancapkan bunga-bunga yang kubawa tadi. Ayah pasti senang. Batinku.
Aku mengelus-elus nisan Ayahku dan sesekali menyentuh tanah.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Ayah!” Kupeluk erat nisan Ayahku.
Di rumah Makmuk dan Sam heboh kehilanganku. Mereka mencari ke seluruh sudut rumah dan halaman. Berharap baramgkali aku masih berada di sekitar itu. Tapi Sam tahu bahwa aku pasti lari ke makam Ayah. Dan kali ini pun aku siap dengan segala resiko yang akan aku hadapi.
Secepat kilat Sam menghampiriku. Dia menemukanku pada posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku tengah berdansa sambil berkata : “Aku mencintaimu Ayah!”
Tepak….
Sebuah tamparan di pipi kananku.
Tepak….
Juga menyusul di pipi kiriku. Tapi aku berusaha menahan rasa sakit di tubuhku. Aku masih sabar dengan sikap kasarnya.
Sam makin agresif. Sebuah tali tambang coba ia ikatkan di tanganku. Kali ini aku tidak terima dia memperlakukanku seperti binatang. Aku mengamuk. Aku berontak dan kucabut nisan Ayah. Kupukulkan ke tubuhnya, ke kepalanya. Dia masih berdiri.
“Jangan bertindak bodoh, Ai! Aku ini tunanganmu, calon suamimu. Ayahmu sudah meninggal. Lupakan saja dia.” Teriak Sam sesuka hatinya.
Aku terus memukulnya tapi ia kebal.
“Kamu gila Ai!”
Aku berlari menjauh. Sam terus mengejarku.
“Hentikan kegilaanmu, Ai. Tak ada gunanya mengingat Ayahmu lagi. Hari pernikahan kita semakin dekat.” Tambah Sam.
Kata-katanya semakin membuatku geram. Kupecahkan botol air di makam Ayah dan kutancapkan ke perutnya saat Sam menangkap kembali tubuhku.
“Maaf Sam. Tidak terpikir olehku akan pernikahan kita melihat keegoisanmu.”
Darah segar mengalir dari perut Sam. Tak sedikitpun aku merasa kasihan padanya.
“Aku mencintaimu, Ai!” Kalimat terakhir yang Sam ucapkan. Dan aku tersadar atas apa yang telah aku lakukan.
Aku rebah di hadapan jasad Sam yang membiru.
Bukanlah cinta ketika orang yang dicintai tersakiti. Dan bukanlah cinta jika terlalu mencintai tanpa kesadaran diri.

BUKANLAH CINTA

by on Oktober 15, 2012
Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang...

Satu jam bagi kalian mungkin terasa begitu sesak
Tapi tidak bagi kami
Anak-anak kemarin sore
Yang kalian bilang kami hanya beretorika

Wahai para pendahulu!
Kami akan buktikan,
bahwa kami adalah akal yang memisahkan kebenaran dari kebathilan
Kami adalah jiwa yang senantiasa mensinergikan kesucian hati
dan kami adalah sikap yang mampu mempertanggungjawabkan perkataan kami

Beri kami satu jam yang kalian miliki
Agar kalian tahu betapa kami murni berjuang
Beri kami satu jam yang kalian miliki
Agar kalian lihat bahwa waktu yang kami gunakan adalah waktu yang juga kalian gunakan
Agar jelas bedanya kami dengan anak-anak kemarin sore,
yang kalian bilang hanya pandai beretorika itu


          Saat tadi tanganku tengah berburu kecepatan dengan jarum dan telingaku tetap berfokus pada suara-suara, sementara tanganku juga ikut bekerja, ada satu bagian tubuh ini yang ternyata juga terus dan terus berputar. Ialah Otak. Yah, banyak ide-ide segar mengalir begitu derasnya dan menari-nari dengan indah. Memaksaku untuk segera membuka laptop. Namun ku urungkan niatku karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku yang satu ini dulu.
          Aku mencoba menyatukan semua wilayah kerja dari bagian jasad ini. Teringat pada satu kalimat indah yang telah lama ku jadikan the power of dreams. BERMIMPILAH, KARENA TUHAN AKAN MEMELUK MIMPI-MIMPIMU!. Itu kata Arai, seorang tokoh dalam tetralogi laskar pelangi yang kemudian booming dengan dua filmnya. Aku termasuk salah satu dari ribuan penikmat yang tentunya tidak hanya menikmati tapi mencoba untuk mengikuti langkah sang penulis. Hanya dalam beberapa hari yang tak sampai satu minggu, aku menelan mentah-mentah semua kisah yang disampaikan.
          Setelah jauh berjalan, sekian tahun aku membiarkan novel-novel itu menjadi pajangan indah dan kalimat tadi tetap menjadi keyword meraih cita, ternyata ada satu hal yang aku lupa. Subhanallah, aku kembali diingatkan tanpa sengaja oleh seorang junior yang tengah bercerita santai denganku. BEKERJALAH KARENA TUHAN AKAN MENILAI KERJAMU. Kalimat ini jauh lebih indah dari apa yang disampaikan Arai tadi dan ternyata ini bukan kalimat sembarang tapi ini adalah kalimat langsung dari Allah SWT. Kau bisa melihatnya dalam al-quran surat At-taubah ayat 105 yang arti lengkapnya seperti ini :
"….Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
          Terjemahan ini sengaja aku tuliskan dengan lengkap agar kau tak perlu repot membuka al-quran pada saat membaca tulisanku. Sekarang kau hanya cukup membaca tulisan ini sampai selesai jika kau merasa tertarik dengan kalimat-kalimat awalku ini. Namun jika kau tidak tertarik sama sekali silahkan kau tutup lembar ini bahkan kau buang saja. Anggap saja ini seperti daun yang tak sengaja terdampar ke halaman rumahmu karena ditiup angin.
          Yah, inilah yang kemudian menghentikan langkahku untuk mengerjakan pekerjaanku tadi dan kemudian membuka laptopku setelah tadi menyalin terjemahan ayat ini dari al-quran. Mungkin alangkah lebih baiknya jika nanti kau memang bersengaja membuka al-quran dengan terlebih dahulu berwudhu. Kau hayati benar-benar ayat demi ayat ini. Kau rasakan dengan baik dan dalam sebagaimana kau merasakan hembusan angin yang perlahan-lahan membelai-belaimu manakala kau tengah menghirup oksigen dengan tenang. Berikan sedikit waktumu dalam kedamaian.
          Kalimat yang disampaikan allah tadi aku interpretasikan dengan bebas bahwa ternyata tidak ada pekerjaan yang sia-sia, terlebih lagi jika kau baru saja membuat mimpimu. Eits, tunggu dulu. Ada syaratnya. Kau mau tahu? Syaratnya sederhana, asal kau meniatkan pekerjaanmu, mimpi-mimpimu untuk tujuan kebaikan. Insyaallah allah akan mendengar doamu dan akan segera menjawab doamu. Sebagaimana dikatakan juga di dalam al-quran bahwa, …. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS.Al-Baqarah:186)
          Ini baru prolog kawan! Sebenarnya ada hal yang jauh lebih besar yang ingin aku ceritakan. Jujur saja, aku sering merasa bingung, bertanya-tanya hingga akhirnya menyendiri jika aku sudah tidak tahu harus bercerita pada siapa. Kau tanyakan Diary padaku? Yah, benar sekali. Kau tahu sekali kawan. Dari dulu sejak aku sekolah dasar, diary adalah teman paling setia yang tak pernah memojokkan atau sekedar mematahkan pendapatku. Dan aku sendiri senang berteman dengannya. Hanya saja, saat ini aku sedang butuh jawaban dari suara-suara nyata di sekitarku.
          Semalam aku menonton sebuah berita yang sangat membanggakan dan jujur membuat aku ngiri, seorang siswa SMA hadir sebagai seorang pembicara yang mempresentasikan penemuan-penemuannya yang secara pikiran, dia termasuk anak yang kritis. Ia membuat aku melongo. Bagaimana tidak? Penemuan-penemuan yang dibuatnya hadir ketika dunia ini mengalami banyak krisis, mulai dari krisis pangan, krisis energi dan krisis lainnya.  Itu semua terjadi juga ketika melihat petani di sawah tak jauh dari rumahnya yang sedang mebur pupuk dengan sembarang. Disampingnya ada ibu yang sholehah. Ini cikal bakal ilmuwan muslim dunia. Amin. Ia telah melakukan banyak penemuan sejak masih SMP hingga kini SMA dan untuk pendidikan tingginya dikemudian hari, ia sudah mengantongi beasiswa DIKTI untuk kuliah di Amerika.
          Ada lagi seorang anak SMP. Mungkin dia adalah contoh kesekian dari banyak orang pintar yang ku temui. Entah kenapa, ngomongnya saking lajunya, terkesan agak patah-patah. Tapi over all, apa yang disampaikannya juga membuat aku melongo. Anak sekecil itu sudah mengantongi banyak penghargaan dunia di bidang matematika. Dia juga menemukan rumus singkat menghitung dalam jumlah tak terhingga.
Dan tadi aku menonton sebuah berita yang sangat bagus, berisi tentang kisah seorang lelaki lulusan SMA yang sekarang sudah sukses dengan bisnisnya yang tidak asing lagi yaitu bisnis tahu goreng. Namun ada yang spesial dari tahu gorengnya. Nanti kau cari tahu sendiri siapa pengusaha itu. Subhanallah, dia keluar dari kerjanya hanya untuk melakukan hasratnya berusaha sendiri melalui cemilan favorit seluruh masyarakat ini. Tahun 2010 ia memulainya dan kini sudah hampir sekitar 5 miliyar omset yang didapat dalam kurang waktu kurang dari tiga tahun. Seperti kebanyakan pengusaha mula lainnya, hingga kini ia masih berjualan menggunakan etalase di jalan. Subhanallah, cabangnya sudah sekitar 160an di sekitar dua belas kota di Indonesia.
          Dari ketiga contoh yang ku berikan, aku hanya menyimpulkan satu. Mereka anak-anak yang melakukan sesuatu yang mereka ingin lakukan. Terlepas apakah nantinya akan mendapatkan penghargaan dari manusia atau tidak. Yah, mereka bekerja sangat laju hanya untuk mencapai tujuan mereka yaitu cita-cita. Ketika mereka bekerja seperti apa yang mereka ingin lakukan tanpa memerdulikan hasil, ternyata allah kasih hasil yang jauh-jauh lebih tinggi dari apa yang mereka inginkan atau bahkan dari apa yang orang tua mereka prediksikan untuk masa depan anaknya.
          Aku teringat sebuah nasihat dari Aa Gym, ini ku temukan beberapa hari yang lalu sebelum tulisan ini dibuat. Nasihat ini sebenarnya telah lama bertengger di dalam laptopku sejak tahun pertama aku membeli laptop di awal kuliah. Tapi, allah baru menggerakkan hatiku untuk membacanya dengan seksama kemarin. Dulu pernah aku membacanya tapi aku bisa katakan dulu aku membacanya tidak dengan hati, tidak dengan kondisi nyaman.
Ini kutipan yang aku salin dari Manajemen Qalbunya Aa Gym.
Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu ALLOH yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah ALLOH SWT.
Seperti para mujahidin yang berjuang membela bangsa dan agamanya, sebetulnya bukan kemenangan yang terpenting bagi mereka, karena menang-kalah itu akan selalu dipergilirkan kepada siapapun. Tapi yang paling penting baginya adalah bagaimana selama berjuang itu niatnya benar karena ALLOH dan selama berjuang itu akhlaknya juga tetap terjaga. Tidak akan rugi orang yang mampu seperti ini, sebab ketika dapat mengalahkan lawan berarti dapat pahala, kalaupun terbunuh berarti bisa jadi syuhada.
Ketika jualan dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga, maka masalah yang terpenting bagi kita bukanlah uang dari jualan itu, karena uang itu ada jalurnya, ada rizkinya dari ALLOH dan semua pasti mendapatkannya. Karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yang didapat, maka akan gampang sekali bagi ALLOH untuk memusnahkan untung yang didapat hanya dalam waktu sekejap. Dibuat musibah menimpanya, dikenai bencana, hingga akhirnya semua untung yang dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika.
Walhasil yang terpenting dari bisnis dan ikhtiar yang dilakukan adalah prosesnya. Misal, bagaimana selama berjualan itu kita selalu menjaga niat agar tidak pernah ada satu miligram pun hak orang lain yang terambil oleh kita, bagaimana ketika berjualan itu kita tampil penuh keramahan dan penuh kemuliaan akhlak, bagaimana ketika sedang bisnis benar-benar dijaga kejujuran kita, tepat waktu, janji-janji kita penuhi.
Dan keuntungan bagi kita ketika sedang berproses mencari nafkah adalah dengan sangat menjaga nilai-nilai perilaku kita. Perkara uang sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena ALLOH Mahatahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh keuntungan yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani.
Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siap pun yang sedang bisnis bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar, kalau kuliah hanya menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.
Dalam mencari rizki ada dua perkara yang perlu selalu kita jaga, ketika sedang mencari kita sangat jaga nilai-nilainya, dan ketika dapat kita distribusikan sekuat-kuatnya. Inilah yang sangat penting. Dalam perkuliahan, niat kita mau apa nih? Kalau mau sekolah, mau kuliah, mau kursus, selalu tanyakan mau apa nih? Karena belum tentu kita masih hidup ketika diwisuda, karena belum tentu kita masih hidup ketika kursus selesai.
Ah, Sahabat. Kalau kita selama kuliah, selama sekolah, selama kursus kita jaga sekuat-kuatnya mutu kehormatan, nilai kejujuran, etika, dan tidak mau nyontek lalu kita meninggal sebelum diwisuda? Tidak ada masalah, karena apa yang kita lakukan sudah jadi amal kebaikan. Karenanya jangan terlalu terpukau dengan hasil.
Saat melamar seseorang, kita harus siap menerima kenyataan bahwa yang dilamar itu belum tentu jodoh kita. Persoalan kita sudah datang ke calon mertua, sudah bicara baik-baik, sudah menentukan tanggal, tiba-tiba menjelang pernikahan ternyata ia mengundurkan diri atau akan menikah dengan yang lain. Sakit hati sih wajar dan manusiawi, tapi ingat bahwa kita tidak pernah rugi kalau niatnya sudah baik, caranya sudah benar, kalaupun tidak jadi nikah dengan dia. Siapa tahu ALLOH telah menyiapkan kandidat lain yang lebih cocok.
Atau sudah daftar mau pergi haji, sudah dipotret, sudah manasik, dan sudah siap untuk berangkat, tiba-tiba kita menderita sakit sehingga batal untuk berangkat. Apakah ini suatu kerugian? Belum tentu! Siapa tahu ini merupakan nikmat dan pertolongan dari ALLOH, karena kalau berangkat haji belum tentu mabrur, mungkin ALLOH tahu kapasitas keimanan dan kapasitas keilmuan kita.
Oleh sebab itu, sekali lagi jangan terpukau oleh hasil, karena hasil yang bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan ALLOH. Kalau misalnya kualifikasi mental kita hanya uang 50 juta yang mampu kita kelola. Suatu saat ALLOH memberikan untung satu milyar, nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena setiap datangnya rizki akan efektif kalau iman kitanya bagus dan kalau ilmu kitanya bagus. Kalau tidak, datangnya uang, datangnya gelar, datangnya pangkat, datangnya kedudukan, yang tidak dibarengi kualitas pribadi kita yang bermutu sama dengan datangnya musibah. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya.
Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Hal ini karena ketika belum dapat untung akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika punya untung sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat.
Nah, Sahabat. Selalulah kita nikmati proses. Seperti saat seorang ibu membuat kue lebaran, ternyata kue lebaran yang hasilnya begitu enak itu telah melewati proses yang begitu panjang dan lama. Mulai dari mencari bahan-bahannya, memilah-milahnya, menyediakan peralatan yang pas, hingga memadukannya dengan takaran yang tepat, dan sampai menungguinya di open. Dan lihatlah ketika sudah jadi kue, baru dihidangkan beberapa menit saja, sudah habis. Apalagi bisaanya tidak dimakan sendirian oleh yang membuatnya. Bayangkan kalau orang membuat kue tadi tidak menikmati proses membuatnya, dia akan rugi karena dapat capeknya saja, karena hasil proses membuat kuenya pun habis dengan seketika oleh orang lain. Artinya, ternyata yang kita nikmati itu bukan sekedar hasil, tapi proses.
Begitu pula ketika ibu-ibu punya anak, lihatlah prosesnya. Hamilnya sembilan bulan, sungguh begitu berat, tidur susah, berbaring sulit, berdiri berat, jalan juga limbung, masya ALLOH. Kemudian saat melahirkannya pun berat dan sakitnya juga setengah mati. Padahal setelah si anak lahir belum tentu balas budi. Sudah perjuangan sekuat tenaga melahirkan, sewaktu kecil ngencingin, ngeberakin, sekolah ditungguin, cengengnya luar bisaa, di SD tidak mau belajar (bahkan yang belajar, yang mengerjakan PR justru malah ibunya) dan si anak malah jajan saja, saat masuk SMP mulai kumincir, masuk SMU mulai coba-coba jatuh cinta. Bayangkanlah kalau semua proses mendidik dan mengurus anak itu tidak pakai keikhlasan, maka akan sangat tidak sebanding antara balas budi anak dengan pengorbanan ibu bapaknya. Bayangkan pula kalau menunggu anaknya berhasil, sedangkan prosesnya sudah capek setengah mati seperti itu, tiba-tiba anak meninggal, naudzhubillah, apa yang kita dapatkan?
Oleh sebab itu, bagi para ibu, nikmatilah proses hamil sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mengurus anak, pusingnya, ngadat-nya, dan rewelnya anak sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mendidik anak, menyekolahkan anak, dengan penuh jerih payah dan tetesan keringat sebagai ladang amal. Jangan pikirkan apakah anak mau balas budi atau tidak, sebab kalau kita ikhlas menjalani proses ini, insya ALLOH tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan.
Begitulah kawan. Inti dari semua apa yang disampaikan tadi adalah bekerjalah. Tetap dalam niat yang ikhlas dan senantiasa menyempurnakan ikhtiar. Terakhir jangan lupa berdoa.
Nah, kita ini sekarang dan nanti. Sebelum kita menjadi apa nantinya, kita ini adalah seorang da’i. sebagai seorang muslim kita diwajibkan untuk berdakwah (menyeru kepada kebaikan). Dalam hal ini pun begitu. Bekerja, bekerja dan bekerja. Berdakwah, berdakwah dan berdakwah. Lakukan, lakukan dan lakukan. Lawan rasa malas kita kawan karena malas itu….monggo dijawab.
“Malas itu kawannya syetan.”
Terlepas dari apakah nanti orang akan menerima apa yang kita sampaikan atau tidak. Hanya allah lah yang akan menampakkan hasilnya. Hanya allah lah yang dapat menyentuh wilayah kerja yang satu ini yaitu wilayah hati. Allah yang menghembuskan agar orang tersebut menerima, lalu melakukan dan kemudian bersyukur. Allah lah yang berkehendak.
Aku hanyalah manusia biasa kawan. Manusia lemah dan tak luput dari kesalahan tapi aku senantiasa berkomitmen dan berusaha memperbaiki niat demi niatku ini untuk belajar menjadi lebih baik agar meminimalisir kesalahan dan pada akhirnya benar-benar menjadi pribadi yang lebih baik.
Tulisan ini ku buat semata-mata untuk menjalankan perintah allah. Yaitu watawasoubilhaq watawasoubissobr, saling menasehati dalam kebenaran dan salin menasehati dalam kesabaran. Ada yang benar datang dari allah, ada yang salah datang dari pribadi yang kurang ilmu. Semoga tulisan ini bermanfaat.(24092012)