Aku pernah membaca sebuah buku yang berjudul ‘membaca ombak’ karya
Pak Chaidir. Di salah satu tulisannya bercerita tentang suatu daerah kaya yang
kini miskin yaitu Dabo Singkep. Aku ingin bercerita sedikit tentang Singkep
sebelum akhirnya aku mengalihkan ceritaku.
Singkep dulunya masih bergabung dengan Riau. Namun karena pemekaran
daerah dan akhirnya terpisah, kepulauan Riau yang termasuk didalamnya Dabo
Singkep, adalah sebuah daerah yang kaya akan penambangan timahnya. Mamaku
sering bercerita tentang tanah kelahirannya itu, bagaimana kehidupan disana
waktu dulu. Kakek yang seorang tentara, memensiunkan dirinya waktu muda dan
kemudian bekerja di perusahaan timah. Hasil yang didapat sebagai karyawan tetap
di perusahaan tersebut bisa dibilang sangat memuaskan. Kehidupan yang berlimpah
pun dirasakan mama. Kemudian kakek membuka banyak kebun yang akhirnya menambah
penghasilan.
Kini daerah itu sepi, kawan! Tidak hanya dari cerita Pak Chaidir
dan juga mama, tapi aku menyaksikannya sendiri. Sejak kecil hingga kini aku
masih sering ‘pulang kampung’ ke Singkep. Pertama tiba di pelabuhan, kami
hendak mencari kendaraan yang akan mengangkut kami menuju Paya Luas. Susah
sekali menunggu angkutan umum. Disamping itu, rumah-rumah penduduk di pinggir
jalan banyak yang sepi karena ditinggal pemiliknya setelah perusahaan timah
tidak berfungsi. Coba kalian lihat jika nanti kalian berkunjung kesana,
bangunan-bangunan yang ada hanya bangunan-bangunan tua dan bisa dibilang tidak
ada pembangunan seperti kota-kota lainnya di Riau. Tentunya ini merupakan efek
dari masa lalu dimana pemerintah yang kurang memperhatikan daerahnya.
Singkep ‘Gratisan’ saja. Seperti itulah ibaratnya. Ketika jayanya, tambang
timah melimpah, kehidupan serba glamor dan masing-masing sibuk dengan
kekayaannya. Untuk bisa tiba di Singkep sangat mudah, Jakarta-Singkep bisa
terjangkau dalam waktu dekat. Tapi itu dulu, kini justru kebalikannya.
Orang-orang yang dulu betah tinggal disana, kini semuanya pergi tanpa
meninggalkan kemajuan sedikitpun di Singkep. Seenaknya mengambil hasil tambang
disana tanpa ada imbalan untuk daerah.
Aku ingin menyinggung pemerintah di Riau. Aku tidak ingin Riau ini
mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Singkep. Alasan mengapa aku
katakan demikian? Kita lihat saja di Riau banyak perusahaan-perusahaan yang
mengelola hasil bumi Riau. Label luar mengatakan milik Riau, tapi coba
telusuri! Banyak dari perusahaan-perusahaan itu yang kepemilikannya diambil
alih oleh pihak asing. Khawatirnya ketika hasil bumi Riau sudah tidak ada lagi,
Riau ini ditinggal begitu saja tanpa ada hasil nyata yang menyentuh seluruh
aspek masyarakat.
Kalian tentunya tahu bahwa Riau kaya akan minyaknya. Tidak asing
lagi kalimat ‘di atas minyak dan di bawah minyak’. Yah, memang begitulah
nyatanya. Daerah penghasil minyak terbesar di Riau sebut saja Duri, Minas dan
Siak. Meski banyaknya penghasil minyak, tetap saja masyarakat Riau sendiri
kesusahan untuk mendapatkan minyak. Antrian panjang di SPBU menjadi pemandangan
yang tidak asing. Harga yang tinggi juga membuat masyarakat bingung sementara
pendapatan masyarakat masih banyak yang rendah. Untuk membeli minyak tanah juga
lumayan susah, harganya juga mahal. Padahal, Duri menghasilkan minyak 600.000
barrel per hari. Bila saja pembagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan
sejak otonomi daerah, Riau memperoleh 15% bagi hasil, maka tidak terlalu senjang
mengingat Riau penghasil minyak terbesar.
Minyak juga merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui sama halnya dengan timah. Jika habis pada waktunya dan tidak ada
upaya penyelamatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, maka dapat
dipastikan nasib Duri, Minas dan Siak tidak jauh beda dengan Singkep. Apakah
kita tega meninggalkan daerah kita dalam keadaan seperti ini? Bagaimana nasib
anak cucu yang tidak tahu menahu tentang hal ini?
Ketika berbicara tentang Riau, sebenanrnya banyak hal yang ingin
diceritakan. Riau Ibukotanya Pekanbaru, kota bertuah. Bukan hanya mengkritisi
yang akibatnya menjatuhkan daerah sendiri tapi adalah bagaimana kemudian semua
orang sadar bahwa hidup hari ini bukanlah hanya untuk kehidupan hari ini. Masih
ada esok, esok dan esoknya lagi yang mungkin memang kita tidak ada lagi. Yang
terpenting dari hidup hari ini adalah menjadi gambaran kehidupan hari esok. Mengkritik
adalah bagian dari kehidupan hari ini dalam rangka memperbaiki langkah
selanjutnya yang masih kurang benar untuk hari esok yang lebih baik.
Saat ini, di kepala saya yang ada hanyalah kritikan terhadap daerah
sendiri melihat kondisi nyata yang
terjadi. Dan dari keseluruhan permasalahan yang terjadi di Riau, sebenarnya hampir
terjadi di daerah-daerah lainnya hanya saja persentasenya yang mungkin berbeda.
Sepeti cerita saya tentang timah dan minyak tadi. Ini cerita lain tentang Riau.
Saya bahagia dilahirkan dan tinggal di Riau. Jika pun saya disuruh
memilih untuk tinggal dimana, saya akan memilih untuk tinggal di Riau. Riau
punya banyak kenangan dalam kehidupan saya dan juga memiliki begitu banyak
keragaman yang mewarnai hari demi hari. Indahnya bila bersama.
Riau punya banyak hutan sehingga daerahnya pun cukup hijau. Nyaman
berada di daerah yang hijau. Banyaknya hutan tentunya berguna sebagaimana kita
sering dengar hutan paru-parunya dunia. Banyaknya hutan di Riau berarti Riau
menjadi paru-paru dunia dalam menyuplai oksigen. Sebaliknya, jika hutan sudah
tidak ada, tentu berkurangnya penyuplai oksigen. Kita semua sadar akan hal itu
terutama bagi mereka yang berpendidikan jauh lebih mengerti secara ilmiahnya.
Tapi kemudian saya sedih ketika melihat sebuah video yang
ditayangkan oleh sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, ternyata
hutan di Riau kini tidak banyak lagi.
Isu-isu tentang kepemilikan hutan dan kerusakannya tidak jelas kini ujungnya. Dilihat
dari awalnya secara dekat, yah kita akan terpana melihat hijaunya hutan Riau.
Tapi semakin jauh, semakin tinggi, video itu menggambarkan betapa tandusnya
Riau kini. Banyaknya pembakaran dan pembukaan lahan yang tidak resmi semakin
memperburuk keadaan. Pihak-pihak tertentu sibuk meraup keuntungan sendiri tanpa
bisa membedakan mana yang boleh dibuka untuk lahan baru mana yang tidak boleh.
Anehnya lagi, banyak pejabat negeri ini yang ternyata terlibat di dalamnya.
Makin aneh lagi, sudah ketahuan tapi masih bisa berkilah dan dilindungi. Puncak
anehnya, mereka yang jelas-jelas sudah terlibat, tidak diproses, kini justru
kembali muncul dengan percaya diri mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Ternyata
cukup ada pula yang memilihnya. Apa maksud semua ini? Yang salah lagi punya
duit itu yang dibela.
Belum lagi efek dari pembakaran dan pembukaan hutan tersebut. Asap
dimana-mana. Jarak pandang semakin berkurang. Tidak dipungkiri salah satu
penyebab kecelakaan adalah karena berkurangnya jarak pandang. Mau mengurangi angka kecelakaan dengan cara tidak
bepergian dari rumah? Bagaimana hendak mencari makan? Efek kepada kesehatan
juga, semakin banyak asap yang terhirup semakin merusak paru-paru.
Ujung-ujungnya banyak merugikan orang disekitar. Toh, lagi yang untung tidak
membantu apa-apa jika terjadi kerugian seperti itu.
Hutan hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. Apakah itu juga
akan terjadi? Kalaulah sudah gersang, masih ada yang bertahan? Khawatirnya akan
sama kejadian dengan Singkep atau daerah ini jika sudah kehabisan minyak tadi.
Maju dan baiknya suatu daerah tergantung pada siapa masyarakatnya. Masyarakat
dalam hal ini termasuklah di dalamnya pengambil keputusan.
Riau itu negeri yang religi, Kawan! Adat bersandi syara.
Syara bersandi agama, agama bersandi kitabullah. Itu semboyan kita, Kawan!
Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan kembali kepada kitabullah. Mana ada
di dalam kitabullah diajarkan untuk berbohong, mendzalimi saudara, atau
mengambil yang bukan haknya. Itulah anehnya, entah kenapa semakin berpendidikan
semakin saja pintar untuk berbuat curang.
Seperti belajar kimia, semakin mengetahui manfaat dan bahaya
bahan-bahan kimia, harusnya kita semakin bisa berinovasi bagaimana menciptakan
bahan-bahan herbal yang tidak kalah saing dengan bahan kimia dan bukanlah untuk
menciptakan bom yang kemudian membuat rusuh dunia. Semakin berpendidikan,
hendaknya semakin cerdas, apalagi tugas seorang pemimpin atau pengambil
kebijakan yang sangat berat. Sudah berat di dunia. Berat pula di akhirat.
Ups, malah ngelantur ke pelajaran ya? Tapi tak apalah, karena ini
juga merupakan pelajaran buat kita bersama sebagai masyarakat Riau. Yang
katanya itu tadi, semboyan Riau yang sudah sangat bagus.
Menyinggung sedikit tentang kalimat tadi lagi. Dalam keseharian
sering terlupakan tentang adat. Tapi coba lihat ketika ada perayaan hari besar atau apalah namanya, pasti menggunakan
adat. Yah, Riau tentunya sebagaimana adat melayu. Mulai dari yang kecil sampai
yang besar, mulai dari penyambutan hingga perayaan. Ngakunya saja orang Riau. Tidak
terbukti dalam keseharian yang mencerminkan orang Riau yang sopan dan
bersandikan kitabullah. Harusnya konsisten sebagai orang Riau.
Wajar saja jika masyarakat kini sibuk melakukan demonstrasi
menuntut pejabat kota dan provinsi untuk turun. Nyatanya kebijakan yang diambil
banyak yang tidak menyentuh kehidupan masyarakat. Kalau sudah begini, tidak
hanya Hutan tapi menjadi Harta hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. (Termasuk salah satu tulisan yang diikutsertakan dalam antologi bersama Pipiet Senja)
HARTA HILANG KOTA TAK BERTUAN
by
kavitasiregar
on
Oktober 16, 2012
Aku pernah membaca sebuah buku yang berjudul ‘membaca ombak’ karya Pak Chaidir. Di salah satu tulisannya bercerita tentang suatu daerah ...