BUKANLAH CINTA
Aku
masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya
yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki
memerhatikanku aneh atau mengata-ngatainku seenaknya.
Tapi
kali ini aku benar-benar sudah tak berdaya. Badanku rebah dan tak mampu berdiri
lagi. Aku tenggelam dalam duka.
*
“Ada
apa denganku?” kucoba membuka mata perlahan. Samar-samar kulihat Makmuk, sapaan
akrab di keluargaku untuk kakak tertua dari Bunda. Memang juga karena badannya
yang besar tinggi dan rada gemuk.
Makmuk
membelai rambutku. Dia mengelap wajahku dengan sapu tangan yang telah dibasahi
air terlebih dahulu. Barangkali wajahku terlalu kusam.
“Ayah,
Mak!” Ai sayang Ayah, Mak!” Ujarku dengan nada memaksa diri. Aku berusaha
berdiri tapi ditahan.
“Ai,
kamu jangan lasak dulu ya. Makmuk sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu
kita baru bisa pergi.” Kata Sam yang sedari tadi juga berdiri di sampingku. Sam
adalah tunanganku. Tapi kedepan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah kami.
“Aku
mau bertemu Ayah. Sekarang!” Teriakku. Makmuk dan Sam justru meninggalkanku
seorang diri. Mereka seakan tahu bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pandanganku
menembus kaca-kaca yang selama ini tempat aku sering menanti hujan. Memandangi
pepohonan rimbun di seberang jalan. Ada sebuah tambak ikan yang di sana ada
sebuah kolam ikan dengan berbagi jenis ikan.
Biasanya
aku dan Ayah sering memberi mereka makan. Tak lama kemudian Sam juga datang dan
tak mau kalah membawa makanan ikan lebih banyak. Namun sayang, sudah dua minggu
ini tak pernah lagi ada cerita tentang aku, Ayah dan Sam karena suasana telah
berubah. Makin lama, pandanganku jauh merambati ruang dan waktu yang tak pernah
aku inginkan. Di kepalaku hanya ada kalimat seandainya, seandainya dan
seandainya …
*
Dalam
siarannya malam itu, Sam sengaja menyapaku melewati gelombang udara. Entah
berapa jauh jarak tempuhnya, yang pasti kecepatan udara adalah lebih cepat
daripada terbangnya burung untuk menyampaikan pesan.
Sam
memang pandai menyanjung siapapun lewat kata-katanya yang beraliran romantisme.
Tapi tak seperti Kahlil Gibran yang sangat menyanjung cinta sekalipun
kekasihnya telah lama tiada, katanya setia.
Buat seseorang
yang sedang mendengar siaran ini
Special, kau
selalu di hatiku
Meski sampai
akhir hayatku
Tiada yang bisa
mengisi hati ini
Just wanna you
Hope you will
marry me
Gila
ya! Kali ini Sam tak tanggung-tanggung mengatakan hal itu di depan umum. Tak
bisakah menunggu sejenak. Bersabar sampai waktunya tiba. Baru dua minggu, dan
baru saja aku berusaha bangkit mneghapus duka. Bahkan Sam tidak sanggup.
Kalimat itu adalah desakan bagiku. Bukan baru sekali Sam mengatakannya dalam
minggu ini.
Aku
muak!
*
Pagi
ini aku melompat secara diam-diam lewat jendela kamarku. Sebuah pot bunga
berukuran sedang pecah tersenggol olehku. Tapi aman. Tak seorangpun yang
menyadari.
Debu
kota sepagi ini menghantarkanku menuju sebuah tempat yang hampir tiap hari
kusambangi hingga malam. Rasanya tak ingin berpisah. Delapan belas tangkai
mawar merah yang masih segar sengaja kubeli untuk kuberikan pada Ayah. Aku
membeli mawar sebanyak itu karena Ayah menyukai angka delapan belas. Tanggal
pernikahan Ayah dan Bunda sekaligus tanggal perpisahan mereka. Delapan belas
mei mereka menikah dan setahun lebih satu bulan aku pun lahir. Tepatnya delapan
belas juni. Beberapa menit setelah itu bunda menghembuskan nafas terakhirnya.
Sebenarnya aku kembar dan saudara kembarku pun ikut Bunda. Itu sebabnya mengapa
aku menjadi anak emas Ayah dan alhasil aku pun sangat dekat dan manja pada Ayah
meski sebentar lagi aku akan menikah.
Wangi-wangi
bunga kenanga semerbak menyambutku sejak langkah pertama tiba di tempat itu.
Suasana masih sama. Hening. Hanya cicit burung yang mencari makan sesekali
mengiringi langkahku.
Aku
tiba di depannya. Gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau serta nisan
kayu yang mulai berlumut karena dua hari belakangan tak kubersihkan.
“Ayah,
maaf aku baru menjenguk Ayah. Kemarin aku sakit dan Makmuk juga Sam tak
mengizinkanku untuk menjengukmu.” Aku menancapkan bunga-bunga yang kubawa tadi.
Ayah pasti senang. Batinku.
Aku
mengelus-elus nisan Ayahku dan sesekali menyentuh tanah.
“Aku
mencintaimu. Aku mencintaimu Ayah!” Kupeluk erat nisan Ayahku.
Di
rumah Makmuk dan Sam heboh kehilanganku. Mereka mencari ke seluruh sudut rumah
dan halaman. Berharap baramgkali aku masih berada di sekitar itu. Tapi Sam tahu
bahwa aku pasti lari ke makam Ayah. Dan kali ini pun aku siap dengan segala
resiko yang akan aku hadapi.
Secepat
kilat Sam menghampiriku. Dia menemukanku pada posisi yang sama seperti
hari-hari sebelumnya. Aku tengah berdansa sambil berkata : “Aku mencintaimu
Ayah!”
Tepak….
Sebuah
tamparan di pipi kananku.
Tepak….
Juga
menyusul di pipi kiriku. Tapi aku berusaha menahan rasa sakit di tubuhku. Aku
masih sabar dengan sikap kasarnya.
Sam
makin agresif. Sebuah tali tambang coba ia ikatkan di tanganku. Kali ini aku
tidak terima dia memperlakukanku seperti binatang. Aku mengamuk. Aku berontak
dan kucabut nisan Ayah. Kupukulkan ke tubuhnya, ke kepalanya. Dia masih
berdiri.
“Jangan
bertindak bodoh, Ai! Aku ini tunanganmu, calon suamimu. Ayahmu sudah meninggal.
Lupakan saja dia.” Teriak Sam sesuka hatinya.
Aku
terus memukulnya tapi ia kebal.
“Kamu
gila Ai!”
Aku
berlari menjauh. Sam terus mengejarku.
“Hentikan
kegilaanmu, Ai. Tak ada gunanya mengingat Ayahmu lagi. Hari pernikahan kita
semakin dekat.” Tambah Sam.
Kata-katanya
semakin membuatku geram. Kupecahkan botol air di makam Ayah dan kutancapkan ke
perutnya saat Sam menangkap kembali tubuhku.
“Maaf
Sam. Tidak terpikir olehku akan pernikahan kita melihat keegoisanmu.”
Darah
segar mengalir dari perut Sam. Tak sedikitpun aku merasa kasihan padanya.
“Aku
mencintaimu, Ai!” Kalimat terakhir yang Sam ucapkan. Dan aku tersadar atas apa
yang telah aku lakukan.
Aku
rebah di hadapan jasad Sam yang membiru.
Bukanlah
cinta ketika orang yang dicintai tersakiti. Dan bukanlah cinta jika terlalu
mencintai tanpa kesadaran diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.