An Poga mendeng sayang eginakerak



“Selamat pagi!”
“Selamat Pagi, anak-anak Poga semangat!”
Yang ku rindukan akhirnya bisa bertemu kembali. Anak-anak Poga yang lucu, kadang menyebalkan dan yang jelas sangat ku sayangi.
Awal datang kesini aku sempat khawatir karena banyak sekali perbedaan yang mencolok antara budaya disini dengan budayaku sehari-hari. Terlebih bahasa yang tak ku mengerti. Tapi saat ku ketahui kondisi disini, aku bersemangat untuk menjadi seorang guru yang bisa diteladani dan memberikan inspirasi untuk masyarakat sekitar terutama anak-anak didik. Berharap target yang direncanakan bisa selesai dalam deadline yang diberikan. Anak-anak Poga bisa baca.
“Seperti biasa, Set.” Aku memanggil seorang anakku. Dia pun maju ke depan kelas dan langsung mengajak teman-temannya untuk berdoa. Set sekarang sudah lebih percaya diri. Waktu pertama kali aku masuk di kelas, memanggil satu per satu anak. Mereka semua malu-malu dan enggan mengeluarkan suara. Termasuk ketika Set sudah diangkat menjadi ketua kelas. Hampir sebulan aku mengajarinya cara memimpin kawan-kawan untuk berdoa. Tapi Alhamdulillah, hari ini Set sudah lebih percaya diri.
Walau kepercayaan yang berbeda, aku tetap berusaha mengajarkan pada anak-anak untuk berdoa sebelum dan sesudah belajar. Biasanya aku akan mengajak anak-anak untuk bernyanyi sebelum belajar. Pada hakikatnya, meskipun mereka terbiasa dengan kehidupan kerasnya, mereka tetap anak-anak kecil, anak kelas dua sekolah dasar. Mereka akan senang bila bernyanyi. Lagu favorit mereka ternyata lagu umum.
Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan
Siapa rajin ke sekolah cari ilmu sampai dapat
Sungguh senang
Amat senang
Bangun-bangun pagi ke sekolah
Kalau biasa kita bilang bangun pagi-pagi ke sekolah, mereka bilang bangun-bangun pagi ke sekolah. Pernah ku perbaiki kata-katanya namun mereka kembali lagi ke kata yang biasa mereka ucapkan. Tak mengapalah. Yang penting semangat ke sekolah tak berkurang. Setelah itu mereka akan menyayikan lagu-lagu gereja. Ku batasi hanya satu saja, dan waktu pulang tiba juga begitu. Terbukti anak-anak ini punya suara yang bagus.
Setelah menyanyi aku akan bertanya kepada anak-anak,
“Sekarang bisa belajar?”
“Bisa…” Mereka akan teriak kencang. “Belajar….”
Kalau sudah begitu rasanya indah. Pagi yang cerah dimulai dengan semangat yang luar biasa. Aku pun memulai rencana demi rencana pembelajaran hari ini. Akhir tahun ini mereka harus sudah bisa baca lancar semua. Ini adalah awal yang bagus setelah kelas yang tadinya ramai dipisah menjadi dua kelas. Kalau begini, mudah-mudahan aku bisa memperhatikan satu per satu anak-anak dengan baik.
Tadinya aku cukup kewalahan mengatasi sekitar tujuh puluh anak kelas dua dalam satu kelas.


Energiku habis dan pelajaran tak maksimal. Akhirnya diambil kesepakatan kelompok bahwa kelas memang harus dipisah. Toh, sekarang kepala sekolah dan istrinya sudah menetap disini. Guru kelas akan terpenuhi.
Kalau mengingat sebelumnya, kasihan sekali nasib anak-anak disini. Sekolah tak berjalan. Guru hanya kepala sekolah saja. Anak ramai. Tidak tertangani. Belum lagi kepala sekolah yang sekali turun ke Wamena bisa sampai satu-dua bulan. Otomatis anak-anak akan libur dan libur terus. Kapan mereka akan belajar. Miinimal bisa baca saja. Sejak hari pertama kami datang, itulah hari pertama semester baru yang sudah berjalan tiga bulan. Anak-anak sama sekali tidak mengenal huruf. Baik kelas rendah maupun kelas tinggi.
B-a dibaca Ba
T-u dibaca Tu
Bacanya Batu
Sekarang anak-anak sudah bisa membaca kata dengan empat huruf. Ada juga beberapa yang sudah bisa membaca kata dengan huruf lebih dari lima. Ada juga yang mulai lancer membaca kalimat. Senangnya. Ibarat buah, kita beli bibitnya, kita persiapkan tanah, pupuk dan wadahnya, kemudian kita tanam, setiap hari disiram, dirawat dengan baik hingga berbunga dan berbuah. Lantas buahnya ranum dan kita bisa menikmatinya. Apalagi kalau buahnya banyak,bisa berbagi dengan tetangga. Hm…itulah yang aku rasakan. Beberapa anak lagi yang harus ku pastikan bisa mengeja dan membaca kata. Setelah semua target baca tercapai, barulah beranjak ke menghitung dan ilmu-ilmu lainnya.
“Ibu guru, anak-anak main ini.”
Set mengadu padaku. Palingan aku bilang ‘Baca’. Dulu, waktu kelas ramai, emosiku mudah sekali terpancing. Hampir tiap detik memukuli anak. Sebenarnya tak tega. Tapi taka da hukuman yang lebh pantas dari pada memukul. Dan sudah menjadi kebiasaan disini, malah guru-guru dipersilahkan untuk memukul anak bila melawan.
Sebenarnya memang sangat tidak baik. Tapi aku sendiri juga bingung harus melakukan apa pada mereka. Setelah kelas dipisah, aku mulai berpikir jernih dan sistematis. Anak-anak tak boleh sering ku pukul. Aku harus memerlakukan mereka sebagaimana anak kecil lainnya di kotaku. Mereka juga anak-anak. Hanya sekali bila diperlukan dan sangat keterlaluan aku akan memukul mereka.
Mereka belajar baca padaku.
Aku juga belajar banyak dari mereka. Belajar kerja keras membantu orang tua sejak kecil, belajar semangat dari kekurangan hidup, tentunya belajar bahasa pada mereka. Paling enggak ada bahasa daerah ini yang bisa ku pegang walau hanya beberapa kalimat. Sekarang aku sering mengatakan kepada mereka, “An Poga mendeng sayang eginakera (Aku sayang anak-anak Poga). Mereka pun tersenyum-senyum lantas mengatakan “Pas.” Dasar anak-anak Poga.
C-U…Cu
C-I…Ci
Susi
Aku langsung teriak. Ulang….
Anak-anak langsung mengulanginya. Ingus yang tadinya Hampir jatuh, ditarik masuk kembali.
Ampun. Aku mulai emosi jika sudah berulang kali dieja dan dibenarkan hurufnya masih juga tidak bisa mengikuti apa yang ku katakan. Ini namanya anak ngeyel.
Masalah disini begitu, susah membedakan huruf c-s-t dan j-y. bahkan orang-orang tua dan orang-orang yang sekolah pun masih susah. Mungkin sudah terbiasa dan tidak biasa untuk diperbaiki.
t-u-l-i-s
Sulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.