Ada mata yang tak berhenti menatap. dari balik jendela kamar di sebuah rumah mewah tingkat tiga. Dengan segala kelebihan yang ada, menatap ke arah luar jendela adalah hal yang lebih menarik dari semuanya. Biasanya, burung-burung walet dari gedung peternakan walet di seberang rumah akan tampak lalu lalang. Beberapa orang datang silih berganti untuk membeli sarangnya. Sarang yang tentu saja ada karena ada waletnya.
Om Rudi, pemilik peternakan walet itu hampir setiap hari memberikan kejutan demi kejutan kepadaku dari atas gedungnya. Aku pun semakin bahagia. Tak ada mami tidak apa-apa. terlebih papi juga jarang pulangpun tak mengapa. Setelah Om Rudi memberikanku satu kejutan dari atas sana, sesaat kemudian seorang kurir akan memencet tombol bel rumah dan mengantarkan berbagai macam hadiah. mulai dari ice cream kesukaanku, mobil-mobilan, games terbaru hingga berbagai macam hadiah lainnya yang sekalipun kedua orang tuaku mampu membelikannya. Aku pun akan melambaikan tangan dan mengatupkan kedua tanganku sebagai ucapan terimakasih.
Bukan hadiah itu yang sesungguhnya aku harapkan. Hanya perhatian dan kasih sayang. Seperti perhatian dan kasih sayang Om Rudi yang ku kenal ketika pertama kali aku berlari pagi di kota ini. Kota yang memberikan banyak harapan saat aku terpaksa ikut hijrah bersama kedua orang tuaku disini. Di bumi lancang kuning namanya.
“Uhuk,!” Ku tutup kain gorden kamarku. Mentari tlah lama kembali ke sarangnya. Malam pun masih betah membuka pintunya. Beberapa lampu di rumah ini bahkan sudah dipadamkan sejak tadi. Aku pun menarik selimut. “Uhuk!”
*
“Amir!” Aku melongok ke arah pintu. “Kenapa kamu masih tidur? Sebentar lagi guru privat kamu akan datang! Kamu belajar dengan baik ya. Mami sebentar lagi juga harus terbang ke Jakarta. Oma minta mami untuk mengantarnya ke kebun teh Oma yang tengah bermasalah di Bandung.” Sepagi ini mami sudah mengeluarkan banyak peraturan. Bete.
“Amir gak mau belajar. Sekarang kan libur, Mami. Kalau libur itu ya libur. Amir mau santai-santai.” Aku menarik kembali selimutku.
“Lho, kamu itu harus belajar. Kalau di sekolah tidak belajar dan sekarang juga tidak mau belajar di rumah, mau jadi apa kamu?”
“Pokoknya gak mau.” Aku membantah.
Tanpa memedulikan apa kataku dan apa inginku, mami tetap saja pergi meninggalkanku. Mami tak memikirkan perasaanku. Sekalipun aku ini anak lelaki tapi aku tetap saja anak kecil yang masih harus diurus sama kedua orang tuanya. Mami tak pernah tahu bahwa ada banyak air mata yang aku lewati tanpanya.
Kak Iya pengasuhku kerepotan mengurusi aku yang mulai dan semakin nakal. Disuruh makan di rumah, aku tak makan. Disuruh belajar, aku meminta guru privat-ku untuk pulang saja dan memberikannya upah atas susah payahnya dia datang ke rumahku. Dilarang untuk keluar rumah, aku tetap keukeh untuk keluar. Aku bosan di rumah. Sudah lama aku tak keluar rumah bahkan untuk sekedar bermain-main di taman, mengamati anak-anak kecil seumuranku yang bebas berlarian dan jatuh bangun bersepeda.
“Bebaaaaassss...!” Aku berputar-putar. Tubuhku juga seakan merasakan kebahagiaan karena bebas dari pasungan. “Yeeeehaaa...!” Aku berteriak keras dan meninjukan tangan kananku ke atas. Ku hirup udara kebebasan ini dengan nikmat. Tak peduli bagaimanapun kondisi udara saat ini. Sekalipun semua berita di televisi, tulisan-tulisan di koran memberitakan bahwa indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah di atas angka 300 atau dalam kategori berbahaya. Bahkan terakhir ku ikuti, sore kemarin sudah mencapai angka 572. Itu artinya, mulai dari jam 15.00 WIB kemarin hingga 15.00 WIB nanti sore, ispu masih menunjukkan level berbahaya. Aku tak peduli. Waktuku hanya sedikit. Jika nanti mami dan papi pulang, mungkin hanya repetan yang akan aku dapatkan. Inilah waktunya untuk bebas.
“Om Rudi!” Aku memanggil Om Rudi dari kejauhan dan Om Rudi melemparkan senyumnya kepadaku. Aku berlari memeluknya. Erat, sangat erat. Tak pernah ku lakukan ini kepada kedua orang tuaku. “Akhirnya, kita bisa bertemu lagi dan aku bisa memeluk Om Rudi.” Om Rudi membelai kepalaku lembut. Setetes air hangat mulai mengalir di ujung mataku.
Om Rudi membawaku masuk ke dalam ruangannya. Aku diberikan kebebasan untuk mengambil makanan dan minuman yang aku inginkan dari lemari es di kantornya. Sementara Om Rudi sibuk dengan beberapa urusan mengenai waletnya, ia akan pergi sebentar menemui anak buahnya atau pelanggannya dan kemudian kembali lagi menemuiku di ruangannya.
“Bagaimana Amir? Bagus atau tidak?” Om Rudi menunjukiku sebuah lukisan indah yang aku tidak tahu siapa pelukisnya.
“Bagus. Bagus bingiiiittz, Om.! Siapa yang melukis?”
“Teman Om yang melukisnya. Tapi yang terpenting yang kamu harus tahu adalah lukisan ini bukan lukisan biasa. Lukisan ini merupakan kenangan terindah yang pernah Om rekam melalui kamera dan kemudian Om minta teman Om itu untuk melukisnya. Ini adalah festival walet nasional.”
“Ada festivalnya juga ya, Om?”
“Iya. Bulan depan akan ada festival walet nasional lagi di Makassar. Om akan ajak kamu.”
“Beneran, Om?” Om Rudi mengangguk yakin dan aku semakin senang mendengar kabar bahagia itu. Bersama Om Rudi itu sesuatu sekali. Hari ini aku diajarkan mengenal beberapa jenis sarang walet. Lalu diajarkan sarang walet jenis apa yang paling banyak diminati. Serta alasan mengapa orang-orang menyukai sarang walet dan tahan menghabiskan banyak rupiahnya untuk membeli sarangnya.
Keesokan harinya, aku belajar lagi bagaimana walet ini dapat hidup. Sambil santai-santai meminum segelas teh es, aku mengamati Om Rudi dengan walet-waletnya. Aku baru tahu ternyata keras perjuangan Om Rudi untuk merintis usahanya ini. Dari Pulau Jawa menuju Sumatera dan akhirnya menetap di Pekanbaru. Bagaimanapun keadaan Pekanbaru saat ini, ia tak akan pergi mengungsi ke tempat lain dan meninggalkan Pekanbaru.
“Huuh...”Aku melepaskan nafas. Rasanya sesak sekali. Tapi ku tahan. Aku harus bisa bertahan. Ini hanya penyakit kecil yang sangat kecil. Ku pasang masker yang sengaja ku simpan di saku celana. Kali saja berguna. Pikirku.
“Om, pakai masker dong. Asapnya makin pekat. Bau lagi ini, Om!” Pintaku pada Om Rudi.
“Amir saja yang pakai. Om tidak biasa pakai masker. Justru memakai masker itu akan membuat Om susah bernafas. Lagipula, Om ini kan sudah besar dan sudah terbiasa dengan alam yang begini. Tubuh ini sudah kebal.” Om Rudi kembali melanjutkan aktivitasnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Sebenarnya aku setuju dengan pendapat Om Rudi. Memakai masker justru bikin sesak nafas. Kalaulah bukan karena keduluan sesak nafas yang sudah menjadi bawaanku sejak lahir ini menunjukkan gejala-gejala bakal kambuh, mungkin aku juga tidak akan menggunakannya. Aku ingin bebas. Menggunakan masker sama saja dengan memasungku kembali pada dunia penuh aturan yang aturan itu sendiri dilanggar.
“Uhuk!” Batukpun menyertai nafasku yang tersengal-sengal. Aku kembali membuka maskerku. Baru sebentar saja ku gunakan, sudah membuatku tak nyaman. “Om Rudi, Amir pulang dulu ya! Besok Amir kembali lagi.” Kataku sambil melambaikan tangan layaknya anak gaul yang biasa bergaul di luar.
“Oke Amir. See you!” Om Rudi balik melambaikan tangannya padaku. Seperti itulah Om Rudi-ku. Tak pernah mengabaikan setiap gerakku. Aku berjalan sesengukan senang sambil bernyanyi. Untuk hari ini, sudah cukup puas bermainnya. Hari juga sudah mulai gelap. Kasihan Kak Iya. Aku melangkah ringan.
Bruk.
Ada suara jatuh. Langkahku spontan berhenti. Ku balikkan badanku. “Om Rudiiii!!!” Tubuh Om Rudi sudah rebah di lantai. Karena jatuh tiba-tiba dan terbentur keras ke lantai, darah dari kepalanya mengalir deras. Dengan segera anak buahnya mengangkat tubuh Om Rudi dan membawanya ke rumah sakit. Om Rudi dimasukkan ke ruang IGD. Aku menunggunya di pojokan ruang tunggu. Sendiri. Tak bergabung dengan anak buah Om Rudi. Sejenak menenangkan diriku sendiri. Anak kecil yang terpaksa harus dewasa dengan sendirinya.
Huuuh...dadaku semakin sesak. Mataku kabur. Pusing. Ruangan rasanya berputar-putar. Seorang dokter keluar dari ruangan. Anak buah Om Rudi terlihat sangat panik. Terlihat dari raut wajah mereka. Dokter menggelengkan kepala. Sementara itu, dadaku semakin sesak dan mataku semakin kabur. Susah untukku menghirup udara di ruangan ini. Perlahan aku berusaha membuka mata sambil memanggil-manggil Om Rudi. “Om, katanya kita mau ke festival walet bulan depan.”



Om Rudi dan Waletnya

by on Oktober 19, 2015
Ada mata yang tak berhenti menatap. dari balik jendela kamar di sebuah rumah mewah tingkat tiga. Dengan segala kelebihan yang ada, me...
Yaaaaaaaaaaaaa........akhirnya setelah sekitar empat bulan aku gak menulis di blog ini. Memang ada perasaan gersang, gelisah dan gundah gulana. Seperti minum teh tanpa gula. Ya, aku memang mencintai teh. Seperti ada candu yang menenangkan jika sudah minum teh. Puis berikut pun lahir sewaktu minum teh. Silahkan disimak ya puisi sederhana ini. Semoga bisa mengobati hati yang terluka. Eaaa, apaan sih!



PETRIKOR
Ada yang berbeda pagi ini
Aku tak hanya ditemani si Merah
Ku lipat segera sajadahku yang ku lemparkan ke atas dipan tadi
Ku pandangi sekitar
Aroma secangkir teh menjadi lebih nikmat
Petrikor, katanya
Aroma yang tercium saat tanah kering disiram air dari langit
Benarkah?
Seantero jagad raya bersyukur
sekian lama tak merasai nikmat Allah yang satu ini
burung-burung pun mulai berkicau
meski di luar masih ada sedikit ketakutan
alhamdulillah
setidaknya ini menjadi cahaya bagi semua


Pekanbaru, 9 September 2015

PETRIKOR

by on September 18, 2015
Yaaaaaaaaaaaaa........akhirnya setelah sekitar empat bulan aku gak menulis di blog ini. Memang ada perasaan gersang, gelisah dan gundah gula...

Dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan juga memperingati peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW yang berdampak pada kehidupan umat islam saat ini, mahasiswa PPG SM-3T Universitas Riau mengadakan kajian peringatan Isra’ Mi’raj pada Jum’at, 15 Mei 2015 bertempat di mushollah Gedung guru Lobak. Kegiatan ini berlangsung dari selesai magrib hingga menjelang isya.
Ustad Dahlan, selaku penceramah pada malam itu menjelaskan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj itu sendiri sebagaimana disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 1. Penjelasan yang disampaikan sangat bermanfaat bagi kita karena dengan memperingatinya, kita kembali diingatkan sejarah nabi dahulu mendapatkan perintah shalat. 


 Jika kita telusuri lebih dalam, peristiwa ini begitu dahsyat dan tampak seperti tidak mungkin dalam pikiran manusia. Seperti berjalannya seekor Tungak. Tungak yang berada di dalam kantong seorang manusia yang tengah berada di bandara Plang Bintang menuju Sultan Syarif Qasim dan transit di Kualanamu, bercerita kepada temannya sesama Tungak bahwa Tungak tersebut telah mampir dan kemudian dapat kembali lagi. Padahal bukan Tungak itu yang sengaja bepergian tapi karena ada yang memperjalankan yaitu tuannya. Begitu pula peristiwa yang dialami Muhammad. 
“Hanya mereka yang dalam hatinya ada keimanan lah yang dapat menerima penjelasan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj ini.” Kata Ustad Dahlan membuka kajian malam itu. Untuk lebih jelas dan dalamnya, kajian akan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya yang dilakukan dalam dua minggu sekali.



Pekanbaru, 14 Mei 2015. Para mahasiswa PPG SM-3T Universitas Riau tidak mau ketinggalan untuk berbuat kebaikan. Dengan menggunakan bus kuning, rombongan yang terdiri dari sekitar separuh dari peserta PPG yang berjumlah 63 orang ini tetap bersemangat untuk melihat keadaan terakhir pesantren yang tertimpa musibah kebakaran pada 12 Mei yang lalu.
Hujan yang melanda Pekanbaru sejak pagi hingga kunjungan itu berlangsung seakan menjadi saksi bahwa niat tulus untuk ikut membantu dan memberikan dukungan tak menyurutkan semangat para peserta. Rombongan berangkat dari asrama gedung PGRI Lobak menuju kawasan Kubang tepatnya masuk dari jalan Garuda 1. 

Bantuan yang akan diberikan
Pak Lurah dan Bu Lurah sedang menyerahkan bantuan

Sesampainya di lokasi, rombongan langsung menyerahkan bantuan ke posko kemanusiaan yang telah dibuka sejak satu hari setelah kejadian. Adapun sumbangan yang dibawa oleh peserta adalah berupa pakaian dan uang tunai. Sumbangan ini dikumpulkan dari sumbangan sukarela para peserta PPG. Masyaallah, sesampainya di lokasi, bantuan datang dari mana-mana. Ada banyak manusia yang berbondong-bondong untuk membantu korban.
Kemudian, rombongan lanjut ke area yang tertimpa musibah. Di sana rombongan disambut baik oleh seorang ustad yang bertanggung jawab dalam hal menerima rombongan tamu. Beliau mengatakan sementara indikasi kebakaran adalah dari arus pendek listrik. Kejadian ini memakan dua orang santri yang insyaallah syahid.
Ini foto korban yang syahid
“Mudah-mudahan kejadian ini membawa hikmah. Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa lebih sabar dan harus ingat satu hal. Insyaallah korban in syahid. Seorang yang syahid bisa membawa 73 orang keluarganya untuk masuk bersama ke dalam surga.” Tambah ustad itu.

“Ya, Ustad. Kami atas nama mahasiswa PPG SM-3T Universitas Riau turut berbela sungkawa. Semoga kejadian ini lebih membesarkan hati kita dalam menghadapi kehidupan ini.”

Berikut beberapa foto yang berhasil diambil saatt perjalanan yang diiringi hujan.

Menuju lokasi kebakaran
 Lokasi kebakaran adalah asrama santri putra

Berbincang bersama ustad yang menyambut kami

Foto bersama sebelum pulang di lokasi kebakaran