Barangkali ini pengalaman pertama aku naik kereta api dalam waktu yang cukup lama. Bermalam di dalamnya meskipun ini bukan kali pertama aku naik kereta api. Niat ini akhirnya kesampaian meski dengan persiapan mendadak. Ceritanya hari itu aku sedang berada di Jakarta untuk mengikuti pelatihan dan sudah mendapatkan tiket kepulangan pada hari ahad siang. Keinginan itu tercetus dalam sekejap dan spontan langsung me-reschedule jadwal kepulangan dengan menghubungi call center Garuda.

Akhirnya, kepulangan itu pun ditunda. Ahad keluar dari hotel dan mencari kos-kosan di sekitar Monas karena hari itu masih ingin berjalan-jalan di sekitar Jakarta. Pulang jalan-jalan udah malam. Jam setengah 12 malam baru dapat tiket kereta buat ke Jogja besoknya. Kami belinya di Indomaret.

Kami berangat bertiga. Ada aku, Kak Anggi dan Nur. Kami bertiga tidak tahu dimana posisi Stasiun Kereta Pasar Senin (PSE), tempat dimana kami harus naik. Sebenarnya lebih dekat naik dari Stasiun Gambir. Tapi tiketnya eksekutif semua. Sementara kami kan backpaker-an. Jadi harus irit-irit dan kami pun naik kereta bisnis.

Dari kos-kosan ke PSE kami naik GrabCar dan hanya bayar 14 ribu. Trus dapat bapak pemilik mobil yang ramah dan rapi lagi. Setibanya di PSE, kami mencari makan terlebih dahulu. Kami pun memutuskan makan ketoprak di depan pintu masuk PSE dan tak lupa juga membungkus nasi goreng buat makan malam di dalam kereta.
Ini mungkin backpakeran rempong ya. Bawa ransel yang berat dan juga koper. Teringat waktu backpaker keliling Bali dan Malang dengan membawa koper-koper besar sepulang dari Papua. Heheh.
Begitu memasuki stasiun, ada banyak porter yang menawarkan jasa. Kami menolak untuk dibantu karena kami bisa mengatasinya sendiri. Padahal ngirit dana. Heheh. Celingak-celinguk dan tanya sana-sini sama orang-orang yang lewat. Ah, rupanya kami yang katro. Di dalam stasiun itu udah ada check-in center. Jadi kita bisa langsung print tiket disana. Pokoknya gak susah deh. Terlintas dalam hati, “Wah, keren ya stasiun di sini. Rapi dan tertata.”
Check in center di PSE

Karena waktunya udah mepet, kami buru-buru masuk dalam antrian masuk meski saat itu petugas memanggil-manggil penumpang ketera Majapahit. Kami tetap masuk dalam antrian dengan koper-koper rempong itu. Aku mengeluarkan ktp karena kulihat orang di depan menyodorkan tiket disertai ktp kepada petugas. Tiba-tiba ktp ku jatuh keluar pagar antrian. Untung seorang bapak membantuku mengambil ktp itu. Pas giliranku, petugasnya bilang, “Penumpang Majapahit, Buk. Kalo kereta senja utama Jogja masuk jam 6.”

Aku melirik Kak Anggi dan Nur yang di belakangku. Kami terpaksa mundur dan nunggu di pinggir. Heheh. Lucu lah. Nyerobot masuk. Kupikir naik kereta ini harus nunggu satu jam ato 2 jam di ruang tunggu seperti naik pesawat. Rupanya, paling tidak setengah jam sebelum jadwal keberangkatan baru bisa masuk ruang tunggu. Tapi kalau jarak dari tempat kamu ke stasiun cukup jauh, mungkin itu perlu dipertimbangkan.

Beberapa menit menunggu di luar, akhirnya giliran kami pun tiba. Kami masuk ke ruang tunggu dan menunggu beberapa menit, kereta pun datang. Saat itu aku melhat jam dengan jelas, keberangkatan dijadwal adalah jam 19.00 dan pas banget di jam itu kereta pun berangkat. Ingat ya, pelajarannya. Kereta api itu berangkat ontime. Jadi kalau kamu telat bakal ditinggal. Perjalanan menuju Jogja ditempuh sekitar 8 Jam. Hari itu kami nyampe jam setengah empat subuh. Begitu kami tiba di Stasiun Tugu Jogja, adzan subuh pun berkumandang. Berhubung kami menunggu jemputan, kami pun memutuskan shalat subuh di rumah tujuan kami saja. Stasiun pagi itu sudah rame. Rasa-rasa suasana mudik lebaran dan liburan.


https://tse2.mm.bing.net/th?id=OIP.M752e9e9fa71eefecfcdac327f28867faH0&pid=ApiBaper sumpah baper pake bingit. Tadi siang aku telponan sama seorang teman di provinsi sebelah. Biasa. Kangen-kangenan gitu. Awal-awalnya say hallo nanya kabar. Setelahnya ngomongin jodoh. Ahaay. 

Aku yang pengen curcol terpaksa teriak rada-rada gak siap. Rupanya dia ngasih kabar bahwa tadi malam baru aja lamaran. Bahagia, shock, kaget n sedih. Campur aduk heh. Baper makin jadi. Terlebih rencana pernikahannya di minggu kedua januari. Cepet kan? Prosesnya juga cepet. Panjang lebar cerita hampir satu jam gitu akhirnya aku mulai stabil. Lebay yah.
Jodoh gak ada yang tahu siapa dia, bagaimana jalannya dan bagaimana-bagaimananyalah. Heheh.

Dia bilang kalau calon suaminya itu adalah teman sekolahnya yang sudah lama tidak saling berkomunikasi. Hanya suatu ketika ia terpanggil untuk menjalin silaturahim dengan teman-teman sekolahnya. Nah tu calonnya tiba2 nanya apakah dia udah ada yang khitbah ato belum. Jujur saja ia bilang belum. Ketika tuh cowok menyatakan ingin menikahinya, ia cuman bilang datanglah ke orang tuanya. Setelah ia istikhoroh terlebih dahulu beberapa hari. Akhirnya tuh cowok datang ke rumahnya.

Cowok itu bilang kalau dia udah lama mau ngajak temenku itu untuk menikah tapi takut. Dan saat ia berani menyatakan perasaannya, ia sedang dalam keadaan tidak punya pekerjaan. Tuh cowok bilang beberapa bulan lagi lah agar ia cari pekerjaan dulu. Nah temenku bilang, “siapa yang nyuruh harus punya pekerjaan terlebih dahulu?”

Cowok itu shock. Ia berpikiran bahwa slama ini temenku ini punya kriteria2 yang tinggi. Ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut temenku, dengan jelas temenku berkata yakin. Rezeki nanti bisa dicari. Hoaaa...so seeet kan? Mendadak aku menemukan temenku ini udah dewasa. Gak kayak dulu. Hehe...sorrry, yank! Aku nyeritain kamu di sini kalo ntar kamu baca tulisan ini.

Reaksi aku tadi beneran asli lho. Aku tuh baperaaan. But, aku doakan semoga semua prosesnya dimudahkan dan dilancarkan oleh sang pemilik skenario terbaik dalam hidup kita. Jangan lupa senantiasa luruskan niat ya karena allah dan murnikan orientasi rumah tangganya. Sok nyeramahin yah aku. Gak maksud apa-apa ya. Karena nyatanya aku lebih kekanak-kanakan dari kamu, sob.

Well, aku turut bahagia hingga hari h itu tiba. Setelah itu, giliran aku yah. Heheh. Kudu bantuin tau.

Oiya, satu lagi nih mumpung keinget. Ada proses seorang temen yang juga singkat banget lho. Misalnya hari ini nih ditanya, udah punya calon apa belum? Dia jawab belum. Eh, ,tiba2 aja pada tanggal yang sama satu bulan berikutnya udah sah aja jadi istri orang. Padahal saat itu dia bilang tidak sedang dekat atau berproses sama siapa-siapa. Malah ia sedang sibuk2nya kerja. Setelah ditanya lebih lanjut (maklum kepoan), rupanya setelah dikenalkan oleh saudaranya, semua terasa dimudahkan sama allah. Dia pun gak sadar kalau udah sah aja jadi istri orang. Ini beneran lho, bukan cerita dari buku2.

Aku mah, keliatannya aja di tulisan ini baperan. Padahal aslinya baper pake bingits. Hahah. Kalo yang ntar baca tulisan ini ketawa-ketawa bacanya, aku bahagia. Ternyata bukan hanya aku aja yang ketawa-ketawa sama diriku sendiri mengetahui aku baperan. Eh. Semoga bisa mengobati bapernya ya. Laper selama penantiannya juga. Syang penting itu sehat-sehat selama penantian ini. Kan gak lucu pas jadi pengantin malah sakit. Kata temenku.

BAPER

by on Desember 21, 2016
Baper sumpah baper pake bingit. Tadi siang aku telponan sama seorang teman di provinsi sebelah. Biasa. Kangen-kangenan gitu. Awal-awal...


“Kakak udah kirim ucapan selamat hari ibu belum?” tanya seorang juniorku tiba-tiba saat kami tengah asyik berbincang. Aku sendiri lupa entah apa yang sedang kami bicarakan hingga pada akhirnya ia mengeluarkan pertanyaan itu. Awalnya aku hanya senyum saja. Namun kemudian ku pikir perlu sebuah jawaban penjelas.
“Kakak udah sms tadi lewat do’a.” juniorku itu terperangah. “Mama sudah di surga. Bagi Kakak setiap hari adalah hari ibu.” Juniorku itu mengangguk-angguk mengiyakan. 
*
            Harus bagaimana ku ungkapkan padanya. Harus bagaimana pula aku memperlakukannya agar tampak istimewa. Terlalu sulit untuk dapat membalas semua jasa-jasanya. Wanita yang rela mengorbankan hampir seluruh hidupnya untuk keluarga, untuk anak-anaknya. Tak peduli sekalipun ia harus menderita.
            “Mama, Za mau kuliah, Ma! Za mau hidup Za ke depan lebih baik lagi, Ma. Za tidak mau kalah dengan anak-anak lainnya yang bisa kuliah hanya karena kitorang tidak punya!”
Mama terdiam. Aku ini anak lelaki satu-satunya. Mungkin berat bagi Mama untuk tidak mengabulkan permintaanku. Tapi mungkin berat juga baginya melepaskanku karena aku termasuk anak yang paling dekat dengannya. Dalam hatiku sendiri, aku cukup sedih jika harus meninggalkan Mama di kampung. Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus kuliah. Aku harus bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Akan ku buktikan pada dunia bahwa aku, Zalius Yikwa, bisa menjadi seorang sarjana.
“Mama tidak bisa membantu banyak, Nak! Mama hanya bisa kirimkan do’a agar kamu bisa menjadi sukses seperti apa yang kamu impikan. Pesan Mama, kamu jangan pernah sombong jika suatu hari nanti harapan demi harapanmu terwujud.” Ku lihat mata Mama berkaca-kaca saat aku bersimpuh di hadapannya. “Satu lagi, jangan lupa untuk senantiasa membantu orang lain jika kamu berlebihan dan tengah berlapang.”
Anak mana yang tidak mengalir air matanya saat mendengarkan petuah dari wanita yang pada telapak kakinya terletak jalan menuju surga. Terlebih ketika akan pergi sedikit jauh.
Cukup pelik jalan yang harus ku lalui agar bisa kuliah. Sikap nekad yang menghantarkanku ke ibukota provinsi ini. Disini aku harus berjuang terlebih dahulu untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Segala pekerjaan ku lakoni. Selagi itu masih halal dan baik. Hingga satu tahun baru aku bisa mengumpulkan uang untuk mendaftar di sebuah kampus ternama di kota ini.
Tidak mudah memang menjalani kuliah sambil bekerja. Tapi aku sangat yakin bahwa sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Baru beberapa waktu aku kuliah, aku mendapatkan tempat baru yang lebih layak. Aku bekerja pada sebuah instansi pemerintahan sebagai cleaning service(CS) dan office boy (OB).
Bukan karena iba mereka membantuku. Tapi karena aku memiliki prestasi kerja yang baik sebagai CS dan OB. Alangkah senangnya hatiku. Ada kemajuan dalam hidupku diperantauan. Bakat lain yang ku miliki juga menghantarkanku pada posisi yang jauh lebih baik. Ini juga berkat dari Tuhan karena bakat yang ku miliki adalah dengan memanfaatkan jasad yang telah Tuhan beri.
Tawaran sebagai pembawa acara memberi ruang lebih banyak untuk aku fokus pada kuliahku. Sementara aktivitas sebagai pembawa acara ku lakoni pada jam-jam tidak ada jadwal kuliah. Syukurnya semua terlaksana dengan baik.
*
Hari itu aku tengah mengisi sebuah acara bergengsi. Aku punya trik tersendiri untuk menarik perhatian audience-ku. Ini kali pertama aku lupa mematikan handphone saat mengisi acara. Hati pun tak kuasa untuk menahan diri dari panggilan itu.
Kakak Denci
Tak biasa ia menelponku. Pasti ada sesuatu yang penting. Aku mengalihkan perhatian penonton sebentar dan meminta rekan pasanganku untuk membawa acara sendiri.
“Halo, Kakak!”
“Kau cepat pulang. Mama su tidak ada.”
“Maksudnya?”
“Mama meninggal.”
Saat itu juga aku langsung meninggalkan lokasi acara dan mencari tiket penerbangan menuju kampungku. Uang yang tadinya ku rencanakan untuk membayar semester berikutnya harus ku pakai terlebih dahulu untuk pulang ke kampung halaman. Sudah lama juga aku tidak pulang karena tidak ada biaya.
Ini duka. Aku baru saja kehilangan Mama. Serasa mimpi. Tapi kenyataannya begitu. Waktu Mama menasehatiku itu sudah lama. Apa itu pesan terakhirnya untukku?
*
“Kakak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengingat-ingat kenangan itu..” Juniorku membuyarkan lamunan.
“Ah, tidak. Yang penting kakak sudah sms tadi lewat do’a.”

(Wamena, 27 Desember 2013)

Sms Lewat Do’a

by on Desember 20, 2016
“Kakak udah kirim ucapan selamat hari ibu belum?” tanya seorang juniorku tiba-tiba saat kami tengah asyik berbincang. Aku sendiri lup...
Senja menjemput hati di garis kehidupan
Tak pernah lelah menebar angin melepas tawa bersamaan dengan terbitnya purnama 

Rasa tlah melebur
Tinggalkan masa lalu
Meletakkannya dalam sebuah kendi berwarna cokelat
Dan ditata sejenak di sudut ruang hati
Hanya sebagai pengingat kalaukalau seketika tersesat di pinggiran jurang
Hampir saja jatuh

Ternyata Tuhan Maha Baik
Senja memberiku kesempatan menabur senyum untuk semesta

Yogyakarta, 8 Desember 2016

Senyum senja hari

by on Desember 09, 2016
Senja menjemput hati di garis kehidupan Tak pernah lelah menebar angin melepas tawa bersamaan dengan terbitnya purnama  Rasa tlah melebur...
Kutoarjo

Sekarang aku sedang berada di dalam kereta api. Pas banget sedang berhenti di Stasiun Kutoarjo. Kali ini kami sengaja mengambil kelas ekonomi. Berhubung persediaan uang semakin menipis. Hahah. Gayanya ala backpaker tapi alhamdulillah rezeki dari allah, backpakernya hanya sebagian. Ya, sebagian. Beberapa tempat yang kami kunjungi dibantu oleh sodaranya Nur dan juga Mbak Ana beserta keluarganya. Aku akan ceritakan satu per satu perjalananku selama mengunjungi Jogja dan sekitarnya.

Sebenernya aku gak terlalu fokus dan niatan buat nulis malam ini. sebenar-benarnya keadaan, aku itu ngantuk lho. Berat plus laper juga. Tapi apalah daya, kayaknya aku bakalan jaim malam ini karena di depanku duduk seorang bapak yang usianya kulihat masih segar bugar. Sementara Kak Anggi dan Nur duduk masing-masing di kursi 19a-19b dan 20a-20b. Sesekali kulihat bapak yang duduk di hadapanku dari kaca di samping kursi Kak Anggi. Bapak itu sedang asyik memainkan smartphone-nya. Dari tadi lagi. Kadang tertawa melihat smartphonenya. Bapak itu duduk di 19c-19d sendiri dan aku duduk di 20c-20d sendiri pula. Padalah ya tadinya aku itu duduk deketan dengan Nur.

Eh, terputus tulisannya gegara ada petugas pemeriksaan kereta api. Salah fokus lagi. habis petugasnya cakep kayak artis korea, badannya juga tegap. Aku sempat memperhatikan namanya pas dia udah selesai memeriksa karcis sampai belakang. begitupun petugas pengawalnya. yang muda ya karena ada di hadapanku. Sementara pengawal yang satunya yang berdiri di dekatku aku tak bisa melihat namanya.

Ah, mendadak aku takut melihat bapak yang duduk empat kursi di seberangku. Serem mukanya. Salah fokus lagi. Biasa, rada2 agak takut naik kelas ekonomi. Tapi ya, kelas ekonomi sekarang lebih kurang dengan bisnis, sudah sama-sama menggunakan ac, tapi bedanya hanya tempat duduknya saja. Ekonomi harus berhadap-hadapan kayak yang ditayangkan di film 5 cm. Aku tuh ya mengkhayal kalau-kalau kita duduk sekeluarga di hadap-hadapan berempat sama suami dan anak. Eh, kalau aku ngantuk aku nyandarnya ke suami aja, gak usah ke bantal. hehehe.

Tiba-tiba aku salah fokus lagi karena ada penumpang yang baru naik dan bau badannya menyengat. Eh, mau muntah. aku asal aja nulis apa yang ku rasa.

Bapak di hadapanku semakin asyik dengan smartphonenya. malahan tertawa-tawa gede sekarang. Agaknya ia sedang nonton you tube. Suara musiknya cukup kuat nyampe ke telingaku. Setelah kuperhatikan dengan seksama, bapak itu mirip Ustad Bachtiar Nasir (UBN). Salah fokus lagi deh gw. Tapi beneran. Sempet berpikiran beneran bahwa bapak itu mungkin ada hubungan sodara dengan ustad bachtiar nasir. Tapi rasa-rasanya kok gak mungkin yak. Heheh. No reason for it. Cuman bedanya bapak ini dengan UBN. Postur tubuhnya, si bapak ini rada lebh kecil dan gak segagah UBN deh.

Itu dulu yang bisa aku posting untuk malam ini berhubung aku rada-rada takut menyalakan laptop lama-lama. Besok-besok aku ceritakan legkap perjalanan backpaker ala khawat kece kayak kami ini. Backpaker dengan ransel dan koper besar. Lengkap dah. heheh. Biar kamu tahu, aku ngetik ini diiringi kretek2 dari bawah n atas kereta. Ngeri2 sedap. Resiko dapat gerbong paling akhir di kereta kelas ekonomi.

Catatan aku dari Stasiun Kutoarjo dan sekarang sedang berhenti di Stasiun Kebumen. Ikutin terus cerita perjalanan aku yak.

Oleh : Kavita Siregar (Martina Eka Desvita Siregar)

“Seorang Alim yang Rabbani, adalah dia yang mengajari manusia ilmu yang sebesar-besarnya hingga sekecil-kecilnya.” (‘Abdullah Ibn ‘Abbas, Radiyallahu ‘Anhu)

Agaknya kalimat di atas adalah sebuah motivasi tersendiri bagi kita para guru. Bukan hanya para guru yang mengajarkan ilmu di bangku pendidikan formal mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Tapi juga bagi para guru di kehidupan ini. Labelnya adalah Alim yang Rabbani. Dialah yang mengajarkan ilmu dan mendidik dengan ilmunya untuk senantiasa semakin mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya. 

Guru dan sekolah
Jika menyebutkan ‘guru’ dalam tataran profesinya sebagai pendidik di sekolah, tentu sangat beruntung jika guru tersebut dapat menjadi teladan yang baik bagi siswanya, mengajarkan ilmu dengan senantiasa mengingatkan pada kebaikan. Bak dikata, ilmu dapat, akhlak pun selamat. Dialah guru yang tidak hanya mentransfer ilmu tapi juga mendidik siswanya sehingga tercapailah tujuan dari belajar. Seperti dikatakan oleh Slameto dalam bukunya Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhinya menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Secara profesi, guru dianggap berhasil jika siswanya dapat mencapai kriteria ketuntutasan minimal yang ditetapkan dan juga siswanya menjadi lebih sopan, santun dan lebih dekat kepada Sang Penciptanya. Sehingga tak perlu dikhawatirkan nasib generasi masa depan yang tak baik.

Guru dan Menulis
Sebagai seorang yang senantiasa mengajarkan ilmu, alangkah lebih baiknya jika ilmu yang diajarkan itu pun diabadikan dalam sebuah tulisan. Apakah berbentuk buku, atau hanya berupa artikel. Bukan hanya sebagai saksi bahwa kita pernah hidup di dunia ini, tapi lebih kepada penurunan ilmu yang bisa menjangkau ke seluruh penjuru negeri bahkan dunia. Daerah-daerah yang sulit dijangkau, bisa mendapatkan hak yang sama dalam menimba ilmu meskipun tidak secara langsung mendengarkan dari gurunya. 

Jika guru-guru kita dulu tidak menulis, mungkin kita tidak akan mengenal banyak ilmu seperti sekarang ini lewat buku-buku dan tulisan lepasnya. Sebut saja, Buya Hamka, seorang guru agama di sebuah sekolah swasta yang juga menulis buku. Sampai hari ini, kita masih mengenalinya dan mendapatkan ilmu-ilmu yang sekiranya relevan dengan keadaan kita saat ini. Sebut saja yang lainnya, Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan lain-lain. Mereka adalah guru dari guru-guru besar yang pernah hidup di dunia ini. Tak kan kita temukan kitab-kitab kuning di pesantren jika para guru tak menulis.

Ali bin Ali Thalib mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Mulai dari sekarang, kita para guru dan yang mengaku guru, menulislah! Agar ilmu-ilmu yang kita miliki tak hilang begitu saja seperti ucap yang dibawa angin. Tulislah tentang ilmumu, pengalamanmu, anak didikmu, dan pelajaran apa saja yang kau dapat dari ladang akhirat ini. 

Terakhir, selamat hari guru nasional untuk seluruh guru di Indonesia!

Guru dan Menulis

by on November 25, 2016
Oleh : Kavita Siregar (Martina Eka Desvita Siregar) “Seorang Alim yang Rabbani, adalah dia yang mengajari manusia ilmu yang sebesar-besa...
Ide untuk membuat tulisan ini tiba-tiba saja muncul. Di luar sedang hujan deras dan aku pun dilanda malas makan nasi malam ini. Sementara itu, tak ada banyak makanan dan cemilan di rumah. Aku pun teringat pada beberapa buah pisang pemberian seorang adik binaan. Yah, aku masih menyimpannya di dalam kulkas. Segera kuambil buah itu dan kukeluarkan dari kulkas.

Ada tiga buah dan semuanya besar-besar. Makan sebuah saja sudah membuat kita kenyang. Ada beberapa bagian dari daging buah yang mulai menghitam. Biasanya aku akan membuangnya karena takut sudah busuk. Eh, rupanya tak ada efek apa-apa. Hitamnya mungkin karena efek dari lingkungan panas dan kemudian masuk ke lingkungan yang dingin. Itu saja.

Aku pun memakannya sebuah. Sementara dua buah lainnya kembali kumasukkan ke dalam kulkas. Mungkin saja nanti malam aku akan lapar dan bisa memakannya kembali. Seusai memakan pisang itu, aku baru sadar, ternyata selama ini aku adalah seorang pecinta pisang. Ini buktinya.
1. Setiap ingat jajanan anak-anak, aku ingatnya pisang molen (yang ukuran kecil), selalu beli paling sedikit lima ribu. Tanya sama teman-teman dekatku biar valid.
2. Hampir tiap minggu aku beli pisang cokelat keju. Tanya temanku juga biar percaya.
3. Buah yang tak pernah absen di rumah adalah pisang lemak manis (pisang yang kecil-kecil itu lho). Tanya mama dan papaku biar infonya benar.
4. Seringkali mama membuat goreng pisang, godok pisang, kolak pisang dan jenis olahan pisang lainnya. Ehm, keripik pisang mama paling favorit dah. Bukan hanya aku, tapi teman-temanku juga doyan kripik pisang buatan mama. Apalagi gratis dan buaaanyak. Heheh. Ini juga tanya sama mama dan teman-temanku.
5. Pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah selain pepaya adalah pohon pisang. Ah, ini kerjaan si papa yang suka nebar benih buah-buahan di seluruh halamna rumah.
6. Yang sekarang juga sering kubeli adalah pisang kipas, nyumiii. Ini tanya Bowuku alias tanteku-adik papa dalam bahasa batak. Dia yang mengenalkanku pisang kipas ueenak yang ada di Senapelan bahkan Pekanbaru.

Semua itu adalah pisang, euy. Padahal kalau ditanya buah favoritnya aku bingung mau jawab apa. Dari hasil catatan harian, ternyata pisang adalah favoritku. Belum lagi nih ya, suatu hari mama meneleponku hanya untuk mengatakan bahwa pisang adalah buah surga. Mama sedang menontonnya dari sebuah tayangan video islam di televisi.

Setelah informasi dari mama itu, aku masih biasa-biasa saja. Gak kepo ingin tahu lebih lanjut tentang buah surga itu. Gak ada alasan apa-apa. Aku menyukai pisang yah karena aku menyukainya dan alhamdulillah jika ternyata buah yang kusukai adalah buah surga.

Sebulan berikutnya, aku membaca buku lapis-lapis keberkahan karya Ustad Salim A.Fillah. Di halaman 80, aku menemukan informasi yang menerangkan bahwa Imam Malik juga menyukai buah pisang. Sampai-sampai beliau mengungkapkan perasaannya terhadap buah pisang. Berikut saya salinkan tulisan dari buku yang saya maksud.

Diriwayatkan dari beliau sebuah ungkapan terkenal, “Sungguh aku meyakini bahwa pisang termasuk diantara buah-buahan surga. Sebab dia manis, lembut dan harum sebagaimana sifat buah-buahan surga.”
“Dan pohon-pohon pisang yang bersusun-susun buahnya.”(QS.Al-Waaqi’ah:29)
Maka menakjubkan bahwa kini, sebagian penduduk negeri-negeri Afrika Utara dan sekeliling Sahara yang pernah menjadi pengikut serta madzhab Imam Malik, masih menjadikan pisang sebagai salah satu makanan pokoknya. Sesuatu yang menjadi kesukaan Sang Imam, menjadi kemestian bagi para insan yang bermakmum kepadanya. Atsar pengaruh seorang yang kokoh bersambung ke langit, masih tetap tinggal di bumi melintasi kurun demi kurun.
Dan kita lalu teringat nama ilmiah untuk pisang :Musa paradisiaca. Keyakinan Malik tentang watak surgawi buah pisang, diabadikan dalam nama yang dipakai oleh segala bangsa. Paradisiaca; bertabiat firdaus, bersifat surgawi. Ialah buah dari marga Musacea, yang manis, harum dan lembutnya memancarkan pesona surga.

Tak ada yang kebetulan dalam penulisan nama ilmiah buah pisang yang kemudian dipakai seluruh dunia dengan penyebutan nama buah pisang di dalam al-qur’an. Aku pun tak berhenti sampai disitu. Aku terus berselancar memahami ayat demi ayat al-qur’an di dalam surat Al-Waaqi’ah tersebut. Mulai dari ayat 11-40 yang menceritakan tentang gambaran surga, kita bisa membayangkan betapa surga itu sudah dipersiapkan oleh allah untuk golongan kanan sedemikian rupa. Subhanallah walhamdulillah. Allahuakbar! Kedepan, semakin rajin ya baca al-qur’annya karena semua petunjuk hidup, informasi kehidupan dunia dan akhirat sudah allah beritakan di dalam al-qur’an. Tinggal kita mau baca atau enggak, mau memahaminya atau enggak. Jangan sampai jadi orang yang menyesal dikemudian hari.

Ayok, buat yang mau masuk surga dan mau tahu rasanya buah surga, coba deh makan pisang. Kalau gak suka pisang, coba aja makan biar tahu rasa enaknya pisang. Itu baru buah pisang yang ditanam di dunia oleh manusia atas kehendak allah. Bagaimanalah lagi buah pisang sebenarnya yang dimaksudkan oleh allah di surga nanti. Ah, doa banyak-banyak yuk mumpung masih hujan. Biar kita bisa masuk surga bareng-bareng. Aamiiin.

Ah, tiba-tiba aku pengen menghabiskan sisa pisang itu. Ayo makan pisang! 😀😁😄

Hujan mengiringi diskusi kita sore itu. Kupikir itu adalah tanda bahwa allah sayang pada kita. Diberikannya kita banyak waktu untuk bersama. Mulailah sore itu kita bercerita dan diisi oleh banyak kata hikmah untuk saling menguatkan dalam iman dan islam kita.
Engkau adalah kekuatan baru yang allah kirimkan padaku. Betapapun aku merasa tak punya apa-apa untuk kuberikan, kau hadir dengan harapan besar padaku. Hal itu membuatku harus membuka hati lebar-lebar. Ada yang tengah menunggu ilmuku, ada yang tengah mengharapkan dekapan hangatku, ada yang sedang merasakan cinta yang besar padaku.
Kau bicara panjang lebar. Begitu terbuka. Padahal kita sama-sama menyadari bahwa kita baru saja saling berkenalan. Di waktu sore juga. Seperti sore ini. Hanya saja, bedanya sore ini diiringi hujan yang semakin merekatkan hubungan kita sebagai saudara dan sore waktu itu adalah sore dengan langit cerah ceria.
“Betapa bahagianya aku, Mbak. Ternyata yang kutemui adalah mbak-mbak seperti di dalam bayanganku. Aku baru saja hijrah, Mbak.” kalimatmu membuatku semakin bertanya.
“Baru hijrah?”
“Iya. Beberapa minggu yang lalu. Sekarang aku merasa yakin berada di sini.” katamu dengan yakin. “Aku merindukan suasana seperti ini. Aku haus akan ilmu agama. Islamku selama ini mungkin hanya ktp.” hujan diluar kalah saing dengan hujan di hatiku yang tak sanggup untuk kutunjukkan padanya. Hanya beberapa tetes gerimis saja yang mendesak keluar dari kedua ujung mataku dikarenakan hujan di matamu tlah lebih dahulu mengalir deras.
Ya allah, kali ini aku merasa menjadi orang yang sangat berguna. Manakala imanku tengah terpuruk, Engkau hadirkan ia sebagai pembangkit imanku, pembangkit semangatku. Kujabat tangannya setelah menarik nafas. Kupeluk ia erat. Kini ia menjadi tanggung jawabku. Aku yakin, ini adalah keyakinanku bahwa aku harus terus bertahan dan justru harus semakin meningkatkan kapasitas ilmu dan imanku. Ketika tenyata ada banyak yang membutuhkan kita, saat itu kita akan benar-benar merasa bahwa apa yang kita miliki saat ini belum ada apa-apanya di mata sang pencipta.
Hidayah itu datang dengan cara yang tak disangka-sangka. Ia akan menyelinap masuk ke dalam hati yang sudah terbuka atau sedang berusaha membuka. Dicari dan dikejar dengan keingintahuan yang tinggi. Diusahakan dengan sebenar-benar usaha sampai akhirnya allah izinkan menetap di dalam hati seorang hamba.
“Ini yang membuatku tenang, Mbak. Aku serius ingin menjadi lebih baik lagi. Menjadi seorang muslimah yang taat.”
Aku mengamini doanya. Kembali menjabat tangannya erat.
“Allah yang akan jaga, Dik. Rawat ia baik-baik. Seperti bunga yang indah, setelah ditanam, diberi pupuk, dicukupi airnya, tempatkan ditempat yang baik dan perhatikan pertumbuhannya. Sampai nanti ia berbunga dan bermekaran. Kemudian menyebarkan wewangiannya kepada sekitar. Begitulah hidayahitu, Dik. Rawat ia baik-baik.” hujan kembali hadir di wajahnya yang kini sudah semakin yakin.
Setelah sore itu, kucoba menata kembali bentuk syukurku kepada sang maha pengasih. Tidak ada sesuatu apapun yang tidak bisa kita beri karena sesungguhnya kita selalu memiliki ‘sesuatu’ untuk dibagi. Ialah bernama ilmu yang disampaikan dengan hati. Maka kemudian akan sampai ke hati yang lain pula dengan baik. Hidayah itu sendiri pada akhirnya akan sampai pada takdirnya.
Pekanbaru, 30 Muharram 1438 H

Takdir Hidayah

by on Oktober 31, 2016
Hujan mengiringi diskusi kita sore itu. Kupikir itu adalah tanda bahwa allah sayang pada kita. Diberikannya kita banyak waktu untuk bersama....

Tahun 2009 aku bergabung ke dalam forum lingkar pena (FLP) Riau. Setelah sebelumnya mengikuti serangkaian proses yang tentunya tidak gampang. Mulai dari tes masuk, wawancara, magang dan sampai pelantikan. Aku masih ingat, hari itu di salah satu ruangan sekitar purna MTQ Riau lebih dari lima puluh orang setiap minggunya bersama-sama duduk mengikuti magang, yang saat ini dinamakan training kepenulisan 1. Dimana aku dan teman-teman lainnya mendengarkan materi demi materi tentang kepenulisan, keorganisasian dan keislaman.
 Saat itu semangatku sangat membara, terlebih ketika ku ketahui, banyak dari buku-buku milikku sejak zaman sekolah menengah pertama (SMP) adalah bukunya anak-anak FLP seperti Kang Irfan, Pipiet Senja, Asma Nadia, dan lain-lain. Sampai akhirnya aku dipertemukan dengan komunitas ini ketika kuliah. Tapi saat itu juga semangatku seakan patah. Berkali aku berusaha membuat karya dan mengirimnya ke media, tak satu pun karyaku yang beruntung seperti teman-teman lainnya. Jadilah, aku pun hanya mengumpulkan karya yang berhasil ku buat semampunya dan kemudian mendapatkan poin pas-pasan untuk kelulusan. Meski pernah beberapa kali ku kirim ke buletin kampus yang memiliki poin lebih rendah daripada jika dimuat di media lokal di Riau.
Aku coba lagi untuk berkarya. Nasib masih sama. Ternyata tembus media itu susah. Aku mulai putus asa. Tapi aku tetap menulis di buku harian dan juga blog. Sebagai penghibur untuk diriku sendiri. Lumayan, beberapa teman menyukainya. Tapi itu tak membuat percaya diriku meningkat tinggi.
Sibuk dengan aktivitas kampus membuat aku tak terlalu dekat dengan FLP. Aku vakum sangat lama. Hingga akhirnya aku tamat kuliah tahun 2012, barulah aku bergabung kembali ke dalam FLP. Kali ini aku niat serius untuk belajar dan berkarya bersama FLP. Mulailah aku aktif dalam beberapa diskusi yang di lakukan hingga rapat-rapat keorganisasian, bisa dibilang aku tak pernah absen. Mungkin karena itu aku diamanahi menjadi koordinator humas FLP Wilayah Riau.
Beberapa karya antologi sempat dihasilkan saat itu. Kegiatan FLP pun berjalan baik. Hampir tiap minggu ada saja kegiatannya. Aku pun selalu memprioritaskan FLP disamping pekerjaanku. Aku masih ingat saat itu, sekretariat kami berada di salah satu ruangan di Hotel Ratu Mayang Garden Pekanbaru. Sekretariat termewah yang pernah kami miliki, berkat pinjaman gratis dari salah seorang teman. Disitu pulalah, aku mengenali kajian sastra budaya yang cukup menarik, tentang islam dan kemelayuaan. Sejak saat itu aku mulai tertarik membaca tentang sastra, melayu dan islam. Meski tidak begitu intens mengikutinya karena aku lebih menyukai aliran pop semacam kisah inspiratif.

Gambar 1. Diskusi kepenulisan flp Riau

Gambar 2. Proses syuting video FLP Riau
September 2013, aku harus berpisah dengan FLP karena mendapat tugas sebagai guru kontrak di salah satu pelosok Papua, tepatnya Kabupaten Lanny Jaya. Sedih plus bingung ketika harus berpisah karena biasanya sebelum pergi kerja pagi-pagi, aku masih sempat-sempatnya datang rapat dan melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber dalam pengerjaan sebuah buku instansi bersama teman-teman yang lainnya. Begitupun ketika pulang kerja yang sudah hampir maghrib, masih sempat-sempatnya mengejar narasumber yang datang dari jauh di kabupaten-kabupaten di Riau ini.
Meski berpisah, namun jiwa dan ragaku masih FLP. Aku menuliskan beberapa rencana target kepenulisan yang harus ku lakukan selama berada di pelosok dan dalam keterbatasan. Targetku adalah selama berada di sana, aku harus tetap aktif menulis, mengajak anak murid dan teman-temanku untuk turut aktif pula dalam menulis, dan yang terpenting adalah pulang membawa sebuah buku kumpulan puisi dan juga cerita selama masa pengabdian.
Alhamdulillah, target itu dapat terlaksana dengan baik. Ketika berada di tempat pengabdian, ku coba mengajari anak-anak untuk menulis cerita begitu mereka mulai lancar menulis kalimat. Produk lanjutannya adalah mengirimkan karya-karyaku dan karya anak-anak ke koran lokal dan majalah setempat begitu ada kesempatan ke kota. Betapa senangnya anak-anak ketika melihat wajahnya di koran dan majalah. Kepercayaan diri mereka meningkat, semangat untuk sekolah pun semakin besar.
Gambar 3. tulisanku dan tulisan siswa di majalah world Papua
 
Kemudian aku juga membuat buletin sekolah begitu bantuan solar sel dan printer dari kepala sekolah datang. Ini juga efek lain dari banyaknya anak-anak yang berusaha mengirimkan karya terbaiknya sementara waktu ke kota tidak tentu, bisa dua hingga tiga bulan baru bisa turun. Hadirnya fasilitas sekolah itu juga berkat karya anak-anak yang dimuat. Buletin-buletin itu dibuat setiap dua minggu sekali. Aku cetak beberapa untuk diberikan kepada kepala sekolah, anak-anak, beberapa warga dan tokoh adat serta pemerintah daerah. Sebagai bukti bahwa, sekalipun kami berada di pelosok dan dalam jangkauan yang sangat jauh, kami tetap ada dan berkarya untuk maju. Inilah semangat FLP yang selalu kubawa.

4 (a) buletin edisi 1

 4 (b) buletin edisi 2
Gambar 4. (a) dan (b) buletin sekolah yag memuat karya siswa-siswi
Alhasil, begitu masa pengabdianku selama satu setengah tahun selesai, aku pun berhasil mengabadikan mereka di dalam bukuku ini. 
Gambar 5. buku 17 bintang di lanny jaya
Sepulangnya aku ke Riau, aku kembali bergabung ke dalam FLP Riau. Tentu saja ada banyak semangat baru yang ku dapat. Setiap kali melihat teman-teman mengeluarkan buku baru, memenangkan lomba kepenulisan dan diundang sebagai pembicara, membuatku semakin bersemangat untuk berkarya. Dengan tidak lupa pada motto FLP : berbakti, berkarya dan peduli.
Yah, aku yakin, nanti dimanapun aku berada, semangat FLP ini akan selalu ada. Sebagaimana tagline FLP Riau mewujudkan penulis berbudaya, dan visi dari FLP itu sendiri yaitu menulis untuk mencerahkan ummat. Finally, i’ll always love you, FLP.

FLP adalah semangatku

by on September 30, 2016
Tahun 2009 aku bergabung ke dalam forum lingkar pena (FLP) Riau . Setelah sebelumnya mengikuti serangkaian proses yang tentunya tidak gamp...