REVIEW FILM : KETIKA MAS GAGAH PERGI, menunjukkan indahnya islam


Film ini adalah film yang jujur, alami dan berani dalam menunjukkan indahnya islam. Kenapa? Yah, karena ada banyak adegan yang bukan hanya sekedar adegan film semata. Ialah adegan dimana begitulah seharusnya seorang muslim terhadap keislamannya.
Jantungku degdegan manakala masuk ke dalam bioskop. Antara khawatir dan harap-harap cemas. Akankah film ini memiliki ‘ruh’ yang sama dengan novelnya? Akankah film ini benar-benar menunjukkan idealisme sebagaimana ingin penulisnya? Ternyata air mata ini tetap mengalir dari satu adegan ke adegan lainnya. Sekalipun menonton hingga dua kali.
Diawali dengan kisah kedekatan lahir batin antara seorang kakak dengan adiknya. Mas Gagah namanya. Seorang kakak yang sangat bersahabat. Seorang kakak yang sangat diidolakan. Tidak hanya bagi adiknya tapi juga bagi keluarga dan teman-temannya. Tampan, pintar, baik, terkenal, punya banyak teman, dan segala hal baik lainnya ada di dalam diri Mas Gagah. Betapa beruntungnya Gita punya kakak seperti Mas Gagah.
Bagi Gita, tiada waktu yang dilewati tanpa Mas Gagah. Ketika Mas Gagah hendak pergi ke Ternate untuk melakukan penelitian, saat itulah Gita sempat takut dan protes kenapa harus ke Ternate. Ada apa dengan Ternate. Tapi Mas Gagah tetap pergi. Beberapa waktu kemudian, Mas Gagah kembali ke Jakarta dengan tampilan yang berbeda. Suasana berubah. Mas Gagah sekarang menggunakan baju koko dan anehnya ada rambut hitam di bagian dagunya. Apa-apaan ini?
Gita merasa Mas Gagah sangat berubah sejak kembali dari Ternate. Tak ada lagi kebiasaan-kebiasaan yang biasa mereka lakukan. Mas Gagah lebih banyak diam. Lalu membaca buku. Di perjalanan saja Mas Gagah malahan mengaji. Gita menambah kecepatan mobilnya lalu mengerem sembarangan. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk protes kepada Mas Gagah. Tapi Mas Gagah malah mengatakan bahwa itulah yang benar. Kemudian Mas Gagah mengganti dengan nasyid. Gita benar-benar emosi dan tak ingin diantar dan dijemput sekolah oleh Mas Gagah lagi.
Keputusannya sudah bulat. Gita ke sekolah dan pulang juga menggunakan bus. Di bus, Gita dibuat kesal lagi dengan kehadiran Yudi. Lelaki yang berani-beraninya ceramah di dalam bus. Apa-apa yang disampaikan Yudi mirip dengan yang disampaikan Mas Gagah. Isinya ceramah melulu. Pergi bertemu Yudi. Pulang bertemu Yudi. Apa Yudi itu mata-mata yang dikirim Mas Gagah untuk mengawasi Gita? Semuanya membuat Gita semakin kesal. Belum lagi di sekolah. Tika, sahabatnya Gita mengubah tampilannya menjadi lebih baik. Tika kini menggunakan jilbab. Gita heran kenapa belakangan ini Gita dihadapkan dengan orang-orang yang aneh.
Kemarahan Gita pun memuncak saat Mas Gagah memberitahu bahwa uang tabungan mereka yang rencananya akan digunakan untuk backpakeran justru digunakan untuk membangun rumah cinta dan membantu masyarakat setempat. Bersama dengan teman pengajiannya dan digawangi oleh mantan preman yang tobat di dalam film ini, Mas Gagah membuat sebuah perubahan ke arah lebih baik. Mamanya Mas Gagah pun diajak untuk melihat langsung apa yang belakangan ini dilakukan oleh anaknya.
Sementara Gita semakin tidak mengerti dengan keadaan. Ketika pulang ke rumah pun mamanya bicara hidayah. Hatinya masih keras. Di film ini, perasaan penonton seperti diaduk-aduk, turut kesal dan merasakan kehilangan sosok kakak yang dulunya sangat diidolakan. Di sisi lain, penonton justru akan dibuat salut terhadap keteguhan hati Mas Gagah dalam berhijrah. Mas Gagah sesungguhnya tak pernah berubah. Ia tetap Mas Gagah yang seperti dulu. Menyayangi adiknya dengan tulus. Selalu dapat diandalkan. Hanya saja, kini Mas Gagah memegang satu prinsip yang membuatnya semakin mantap. Islam. Kepribadiannya lebih terarah karena islam.
Ia tidak lagi menjadi model. Ia tidak lagi berteman dengan teman-teman yang membawanya kepada hedonis. Ia lebih memilih mengaji dan kegiatan sosial. Terlepas itu semua, Mas Gagah tetap bertutur kata sopan dan santun. (Meleleh air mataku menuliskan kalimat ini).
Terasa sekali perjuangan hijrahnya Mas Gagah, indahnya islam dan kebaikan-kebaikan islam. Aku teringat pada adikku. Aku teringat pada diriku yang belum bisa menjadi kakak yang baik dan memiliki sifat-sifat baik seperti Mas Gagah dan menjadi contoh bagi adiknya.
Satu kalimat sederhana namun sangat menyesak di dalam jiwa.
Kalau kita tidak bisa menerima satu kebaikan yang belum kita pahami,
maka cukuplah kita untuk menghargainya.
Mengalir lagi air mata ini. Kadang-kadang, kita bukannya tak tahu. Tahu. Tapi terlalu bersikeras terhadap diri sendiri mempertahankan emosi sesaat.
Pada adegan tentang Palestina. Luar biasa. Santai tapi tegas. Semua orang harusnya sekarang buka mata dan buka hati terhadap Palestina yang tanpa hitung-hitungan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kita makan empat sehat lima sempurna setiap hari sambil ketawa haha hihi dan nonton tv bersama keluarga. Sementara Palestina?
Oh...Palestina. Ini film Islami bahkan film Indonesia pertama yang kutonton dan dengan mantap memberikan dukungan terhadap Palestina. Bahkan, sebagian dari keuntungan tiket yang didapat akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak di timur dan Palestina. Tersayat hati ini mendengar Palestina.
Satu hal menarik lagi dari film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama yaitu Ketika Mas Gagah Pergi karya Bunda Helvi –Salah satu pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) pada tahun 1997 ini adalah karakter aktor dan aktrisnya yang harus sama dengan karakter yang diciptakan dalam novelnya. Wajar jika penggarapannya memakan waktu yang lama dan banyak production house yang menawarkan kerja sama, namun akhirnya dipilih crowd funding untuk tetap mempertahankan idelalisme penulisnya.
Mas Gagah yang diperankan oleh Hamas Syahid dan Gita yang diperankan oleh Aquino Umar berhasil membawa penonton pada keadaan sebenarnya. Hamas Syahid pas banget jadi Mas Gagah dan Aquino Umar pun dapat banget feelnya jadi Gita. Cocok deh pemerannya. Tokoh Yudi pun mantap diperankan oleh Masaji. Terimakasih untuk akting kerennya sekalipun kalian katanya adalah pendatang baru namun tak ada keraguan akan akting kalian. Banyak artis dan aktor lainnya yang turut serta di dalam film ini. Ada Wulan Guritno, Mathias Muchus, Ali Syakieb, Sule dan lain-lain.
Masyaallah, inilah dakwah islam yang sesungguhnya. Tidak pernah memaksa, tidak pernah menggurui, tidak pernah berlaku keras dan semua yang diajarkan hanyalah kasih sayang. Berhijrahlah menjadi lebih baik! Lalu lihatlah betapa indahnya islam dan betapa maha agungnya alalh sang pencipta dalam membuat skenario hidup manusia.
Salut untuk film ini yang sudah mengobrak-abrik hati aku dan menyadarkanku terus akan keindahan islam. Lalu gelisah manakala membaca profil pribadi aktor dan aktrisnya di internet. Masyaallah, aku juga pasti bisa seperti mereka. Menghapal al-qur’an, menjadi muslimah yang smart, menjadi wirausahwan muda dan hal-hal baik lainnya yang patut ditiru. Sebagaimana ciri pribadi muslim yang dicintai allah. Insyaallah setelah ini aku akan berusaha menjadi kakak yang lebih baik lagi bagi adik semata wayangku dan juga tentunya pribadi yang lebih islami secara keseluruhan. Selamat dan jayalah film islami Indonesia.
Kamu belum nonton? Nonton lagi yuk bareng aku.
Gak sabaran juga nih nunggu kelanjutan filmnya.
#Nonton filmnya, baca novelnya. KMGPthemovie, 

More info :
http://www.kmgpthemovie.com
http://flp.or.id

Kavita Siregar
Penulis adalah anggota FLP Wilayah Riau


Aku (yang pegang tiket, jilbab biru) bareng teman-teman FLP Pekanbaru



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.