Sms Lewat Do’a



“Kakak udah kirim ucapan selamat hari ibu belum?” tanya seorang juniorku tiba-tiba saat kami tengah asyik berbincang. Aku sendiri lupa entah apa yang sedang kami bicarakan hingga pada akhirnya ia mengeluarkan pertanyaan itu. Awalnya aku hanya senyum saja. Namun kemudian ku pikir perlu sebuah jawaban penjelas.
“Kakak udah sms tadi lewat do’a.” juniorku itu terperangah. “Mama sudah di surga. Bagi Kakak setiap hari adalah hari ibu.” Juniorku itu mengangguk-angguk mengiyakan. 
*
            Harus bagaimana ku ungkapkan padanya. Harus bagaimana pula aku memperlakukannya agar tampak istimewa. Terlalu sulit untuk dapat membalas semua jasa-jasanya. Wanita yang rela mengorbankan hampir seluruh hidupnya untuk keluarga, untuk anak-anaknya. Tak peduli sekalipun ia harus menderita.
            “Mama, Za mau kuliah, Ma! Za mau hidup Za ke depan lebih baik lagi, Ma. Za tidak mau kalah dengan anak-anak lainnya yang bisa kuliah hanya karena kitorang tidak punya!”
Mama terdiam. Aku ini anak lelaki satu-satunya. Mungkin berat bagi Mama untuk tidak mengabulkan permintaanku. Tapi mungkin berat juga baginya melepaskanku karena aku termasuk anak yang paling dekat dengannya. Dalam hatiku sendiri, aku cukup sedih jika harus meninggalkan Mama di kampung. Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus kuliah. Aku harus bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Akan ku buktikan pada dunia bahwa aku, Zalius Yikwa, bisa menjadi seorang sarjana.
“Mama tidak bisa membantu banyak, Nak! Mama hanya bisa kirimkan do’a agar kamu bisa menjadi sukses seperti apa yang kamu impikan. Pesan Mama, kamu jangan pernah sombong jika suatu hari nanti harapan demi harapanmu terwujud.” Ku lihat mata Mama berkaca-kaca saat aku bersimpuh di hadapannya. “Satu lagi, jangan lupa untuk senantiasa membantu orang lain jika kamu berlebihan dan tengah berlapang.”
Anak mana yang tidak mengalir air matanya saat mendengarkan petuah dari wanita yang pada telapak kakinya terletak jalan menuju surga. Terlebih ketika akan pergi sedikit jauh.
Cukup pelik jalan yang harus ku lalui agar bisa kuliah. Sikap nekad yang menghantarkanku ke ibukota provinsi ini. Disini aku harus berjuang terlebih dahulu untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Segala pekerjaan ku lakoni. Selagi itu masih halal dan baik. Hingga satu tahun baru aku bisa mengumpulkan uang untuk mendaftar di sebuah kampus ternama di kota ini.
Tidak mudah memang menjalani kuliah sambil bekerja. Tapi aku sangat yakin bahwa sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Baru beberapa waktu aku kuliah, aku mendapatkan tempat baru yang lebih layak. Aku bekerja pada sebuah instansi pemerintahan sebagai cleaning service(CS) dan office boy (OB).
Bukan karena iba mereka membantuku. Tapi karena aku memiliki prestasi kerja yang baik sebagai CS dan OB. Alangkah senangnya hatiku. Ada kemajuan dalam hidupku diperantauan. Bakat lain yang ku miliki juga menghantarkanku pada posisi yang jauh lebih baik. Ini juga berkat dari Tuhan karena bakat yang ku miliki adalah dengan memanfaatkan jasad yang telah Tuhan beri.
Tawaran sebagai pembawa acara memberi ruang lebih banyak untuk aku fokus pada kuliahku. Sementara aktivitas sebagai pembawa acara ku lakoni pada jam-jam tidak ada jadwal kuliah. Syukurnya semua terlaksana dengan baik.
*
Hari itu aku tengah mengisi sebuah acara bergengsi. Aku punya trik tersendiri untuk menarik perhatian audience-ku. Ini kali pertama aku lupa mematikan handphone saat mengisi acara. Hati pun tak kuasa untuk menahan diri dari panggilan itu.
Kakak Denci
Tak biasa ia menelponku. Pasti ada sesuatu yang penting. Aku mengalihkan perhatian penonton sebentar dan meminta rekan pasanganku untuk membawa acara sendiri.
“Halo, Kakak!”
“Kau cepat pulang. Mama su tidak ada.”
“Maksudnya?”
“Mama meninggal.”
Saat itu juga aku langsung meninggalkan lokasi acara dan mencari tiket penerbangan menuju kampungku. Uang yang tadinya ku rencanakan untuk membayar semester berikutnya harus ku pakai terlebih dahulu untuk pulang ke kampung halaman. Sudah lama juga aku tidak pulang karena tidak ada biaya.
Ini duka. Aku baru saja kehilangan Mama. Serasa mimpi. Tapi kenyataannya begitu. Waktu Mama menasehatiku itu sudah lama. Apa itu pesan terakhirnya untukku?
*
“Kakak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengingat-ingat kenangan itu..” Juniorku membuyarkan lamunan.
“Ah, tidak. Yang penting kakak sudah sms tadi lewat do’a.”

(Wamena, 27 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.