Rupanya ini yang namanya cinta. Bila tak melakukannya, tak menyentuhnya, tak mengingatinya, aku rindu. Ada kegersangan dan kegelisahan di dalam hati. Ia perlu dipupuk, disirami dan dijaga tumbuh kembangnya. 

Kok gak ada hubungannya dengan judul tulisan?
Ada. Nanti kamu kan menemukannya sendiri. Seiring tulisan ini selesai dibaca.


Beberapa hari belakangan ini aku merasa sibuk tak menentu. Ini menyebabkan waktu untuk membaca dan menulisku berkurang. Aku gelisah sepanjang waktu sampai-sampai mau makan dan tidur pun tak tenang. Padahal yah aku sudah ngantuk berat. Tapi tetap gak bisa tidur. Kubawa untuk berzikir sampai akhirnya terlelap sendiri. Kubawa tilawah al-qur’an. Adem. Tapi masih ada yang kurang.

Kuingat-ingat sudah berapa hari aku tak membaca buku sampai tuntas dan menulis sebuah tulisan. Akhirnya dengan pemaksaan, kubuka laptop khusus untuk menulis. Bukan halaman kosong yang kubuka, juga bukan halaman melanjutkan tulisanku yang tertunda. Tapi sebuah tulisan yang sudah lama berada di dalam laptop ini. Dari Teh Pipiet Senja. Begini isinya.

Katakan Cinta Dengan Aksara

Kalau kamu hanya berpegang pada teori-teori kepenulisan, tanpa mempraktekkannya langsung, kemungkinan sekali untuk menjadi seorang penulis hanya akan berakhir; mimpi ‘kali ye!

Apa saja yang harus dipersiapkan oleh kita untuk menjadi seorang penulis? Betapa sering mendapatkan pertanyaan seperti ini. Padahal, jawabannya sederhana saja; mulailah menulis, menulis dan menulis. Tiga M!


Fahri Asiza, penulis senior yang mengaku mampu menulis novel hanya dalam tempo 3 (baca tiga!) hari, bilang begini; “Menulis, menulis, menulis dan biarkan kata-kata mengalir, mengalir dan mengaliiiir!”

Seorang peserta bernada mencak-mencak, mengajukan protes di acara seminar PSJ, UI. Menulis, menuliiiiis… Mengalir, mengaliir! 


Yah, itu kan dikatakan sama Teh Pipiet dan para penulis yang emang sudah jadi. 


Tapi bagi kami kalimat itu bikin tambah gak ngerti aja. Apanya yang harus ditulis?  Trus, apanya yang bisa ngalir?

Wo, woo, woooi! Jangan mencak-mencak dulu atuh, Sodara! Kalau kita ingin menulis tentu sudah punya gambaran, sesuatu yang hendak kita tuliskan. Tak mungkin kita hanya berjam-jam duduk di depan komputer. Ngeblank terus otak dan perasaan kita, tak tahu apa yang mau dituliskan. 


Kalau memang demikian yang terjadi, sepertinya Anda harus segera banguuuun!
Buka mata lebar-lebar, serap situasi sekitar, tunjukkan empati yang tinggi terhadap fenomena di sekeliling Anda. 


Sebab bila Anda digariskan untuk menjadi seorang penulis, inilah yang terjadi; ada sesuatu yang telah hadir di benak, perasaan dan jiwa kita.  Sesuatu itu biasanya telah begitu ngurek-ngurek, berputar-putar di benak kita. Sehingga kita merasa akan sakit kepala apabila tidak segera menuangkannya ke dalam tulisan. Sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah. 


 Obsesi!
Inilah awal-mula atau modal paling utama untuk menjadi seorang penulis; dorongan dari dalam!

Begitu banyak ide berseliweran di otak. Bagaimana cara menuangkan ide-ide itu ke dalam tulisan?


Mari, kita lihat contoh; Umpamanya kita mau menulis tentang anak kecil yang mengidap penyakit bawaan thalassaemia. Jelas kan; kita sudah tahu apa yang akan kita tulis. Bagaimana perasaan si tokoh penyandang thalassaemia itu? Anak kecil juga punya perasaan dan pikiran. Ayo, tuliskan asal-muasal, kondisi keluarga, bersaudara, orang tua, kaum kerabat si tokoh.


Bagaimana pandangan teman-teman si anak terhadap kondisinya? Apa mereka menaruh iba, simpati? Ataukah sebaliknya mengejek, meminggirkannya dari pergaulan? Bahkan menganggap penyakit tersebut sebagai kutukan? Bagaimana si anak sempat merasa putus asa, bahkan nyaris bunuh diri dengan minum obat penenang sebanyak-banyaknya. Atau sebaliknya dia justeru berjuang keras untuk bisa berdamai dengan takdir thalassaemianya. Bangkit dari perasaan tak berdayanya… Lihatlah, cukup banyak bahannya bukan?


Nah, dari bahan yang terkumpul di atas itu pun sudah akan mengalirkan ribuan kata, membentuk kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf sejumlah dialog dan narasi. Apalagi kalau kita kemas dengan mengeksplorasi rasa bahasa, melalui kalimat-kalimat yang komunikatif. Sehingga para pembaca bisa merasakan, bagaimana kepedihan, tingkah laku dan duka derita tokoh yang kita bangun untuk tulisan tersebut.


Demikianlah yang aku lakukan ketika menulis novel Tembang Lara (Gema Insani Press, 2003). Tokoh sentralnya seorang penyandang thalassaemia. Konon, karena aku terlibat jauh di dalam novel ini, sepertinya tokoh itu menjadi hidup dan nyata. Banyak bikin ibu-ibu menangis pilu. Tembang Lara pun telah cetak ulang, mengucurkan royalti ke rekeningku dengan lancar. Insya Allah!


Menulis…, ayoook! Usahlah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.


Tapi kan susah kalau langsung menulis cerita pendek? 
Oke… Bagaimana kalau dicoba dengan surat pembaca?
Percaya tidak, sepucuk surat pembaca yang mengetengahkan tentang keluhan kita; komplain terhadap braypet-nya PLN, PDAM, pelayanan Askes, rumah sakit, transportasi atau temuan korupsi di sekitar kita umpamanya… Pengaruhnya sungguh luar biasa!


Aku pun mengawalinya dari surat pembaca di harian daerah; Pikiran Rakyat (Bandung). Beberapa kali surat pembaca dimuat di harian bergengsi Kota Kembang, nama Pipiet Senja langsung terdongkrak. Isinya mulai dari sentilan terhadap acakadut-nya pengaturan lalu-lintas, keluhan tak tersedia gedung kesenian sampai dugaan memanipulasi tanah-tanah wakaf di Desa Margaluyu…


Mungkin dengan pertimbangan itu pula, jika kemudian para redaksi memuat cerpen-cerpenku di majalah dan korannya. Walohualam. Terakhir surat pembacaku dimuat di harian nasional, Kompas dan Republika. Isinya tentang Warning terhadap keamanan di atas kereta Bandung-Jakarta. 


Sebuah koper berisi pakaian lebaran, terutama dua bundel naskah novel (masih diketik si Denok, belum difotokopi!) dua lusin buku anak-anak yang sedianya akan ditawarkan ke pihak Diknas provinsi Jabar dan rapor si Butet. Raib dalam sekejap, disambar copet di stasiun Jatinegara.


Salah satu berkahnya dari surat pembaca ini, seorang produser tertarik dengan karya-karyaku. Novel Adzimattinur akhirnya mereka beli, konon untuk disinetronkan. Bayangkan, gara-gara sepucuk surat pembaca, Sodara! Apatah pula kalau cerpen, cerbung, novel yang dibukukan, kemudian diedarkan ke pelosok Nusantara, kalau mujur sampai juga ke mancanegara? Itu baru pengaruh di masa kini, sebab buku akan lama umurnya, lebih lama dari umur penulisnya sendiri. Boleh jadi buku kita laris di pasaran, dicetak ulang, cetak ulang! Di sini ingin kutitip pesan untuk para penulis pemula, demikian pula untuk diriku sendiri. Menulislah yang bermanfaat, jangan sampai tulisan kita menyesatkan ummat. 


Ingatlah, menulis sebuah amanah Allah. Kelak di akhirat tulisan-tulisan kita akan minta tanggung jawab!
***

Tertohok aku membacanya. Baguslah kalau ternyata aku menjadikan titel penulis sebagai sebuah obsesi agar lebih semangat lagi berkarya. Tulisan ini aku copas dari bahan ringkasan diskusi Teh Pipiet Senja tahun 2010 di Medan. Masih sangat berguna. Sesekali tak ada masalah untuk membuka kembali materi-materi tulisan yang dulu sudah pernah dibaca. Biar semangat lagi menulisnya. Well, udah bisa jawab sendiri kan?

PENULIS ; Sebuah Obsesi

by on Februari 28, 2017
Rupanya ini yang namanya cinta. Bila tak melakukannya, tak menyentuhnya, tak mengingatinya, aku rindu. Ada kegersangan dan kegelisahan di d...

Dari kemarin pengen banget bikin tulisan sempena milad FLP. Ngalor-ngidul pikiran dan jasadnya. Terbuka lagi begitu selesai membaca tulisan-tulisan teman-teman di Sosmed terkait milad FLP. Semoga tulisan ini sedikit menjawab pertanyaan teman-teman padaku yang ingin bergabung di FLP dan ingin tahu FLP itu apa dan bagaimana. 


MENGENAL FLP
Tanggal 22 Februari 2017 lalu Forum Lingkar Pena (FLP) tepat berusia 20 tahun. Usia yang beranjak matang. Padanya diletakkan harapan menjadi sesuatu yang berguna dan senantiasa menjadi jalan kebaikan bagi setiap insan yang bersamanya. Aku merasa beruntung mengenalnya lebih awal.

Saat itu usiaku masih sangat muda. SMP. Mengenal karya-karya mereka yang sampai saat ini namanya masih harum bahkan semakin harum. Ada Mas Irfan Hidayatullah dengan Teenlitnya saat itu yang berjudul “Meski pialaku terbang.” Lalu ada juga Bunda Helvy Tiana Rosa, Afifah Afra dan Izzatul Jannah. Saat itu aku hanya sebagai penikmat bacaan saja.

Tahun kedua kuliah aku memutuskan untuk bergabung ke dalamnya. Luar biasa. Bertemu dengan mereka-mereka yang memiliki semangat besar untuk menjadi orang besar lewat karyanya. 

JATUH CINTA PADA FLP
Seperti layaknya pada manusia. Semakin sering bertemu dan berinteraksi, semakin kita mengenal pribadinya. Begitupun di FLP. Semakin sering bersama, datang ke diskusi-diskusi karyanya, ngobrol-ngobrol tentang keislaman dan keorganisasian, aku semakin tahu kemana arah organisasi ini. 

Bersyukur. Itu yang aku rasakan sampai saat ini. Beruntung komunitas kepenulisan pertama yang kukenal itu adalah FLP. Di dalamnya, aku belajar banyak tentang kepenulisan, keislaman dan keorganisasian. Hal itu yang kemudian membuatku jatuh cinta pada FLP.

Sebagaimana yang kita baca di dalam ayat suci al-qur’an dan sejarah-sejarah keislaman bahwa setiap apa yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Begitupun dengan pilihan kita untuk bergabung di suatu komunitas atau organisasi. Apa yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya.

Apa yang kita tulis? Apa yang kita lakukan? Apa yang kita perbincangkan? Semuanya dicatat oleh malaikat yang senantiasa berada di sisi kita. Tak hanya sampai di situ. Apakah yang kita tulis, apakah yang kita lakukan dan bincangkan itu memberikan manfaat kebaikan? Atau justru membawa orang lain ke arah negatif? Kita memiliki sumbangsih di dalamnya. Jadilah aku semakin yakin bahwa FLP insyaallah akan membawa kita ke arah kebaikan dan manfaat.

Kalau begitu, aku gak usahlah menulis. Kayaknya susah kali harus menulis yang baik-baik. Bagaimana kalau menuliskan tokoh yang antagonis.
Enggak gitu juga. Karya-karya yang dimaksud adalah karya yang memberikan pesan positif dan tidak mengumbar hal-hal yang tak pantas untuk diumbar. Nah, untuk lebih jelasnya yang ini akan ditulis pada pembahasan tersendiri ya. Jangan lupa untuk ikutin terus tulisanku. Yang jelas, kita harus tetap menuliskan kebaikan. Sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Biar ilmu-ilmu kita, pengalaman dan cerita-cerita kita gak hilang begitu saja. Tentunya dengan maksud agar orang lain mendapatkan hikmah dari tulisan kita.

PERAN FLP
Jika dulu para pendahulu kita tidak menuliskan ilmu-ilmunya, maka saat ini kita tidak akan mendapatkan pengetahuan itu. Tidak akan ada buku-buku sejarah keislaman dan kitab-kitab yang menjadi bacaan wajib kita. Tidak pula kita mengenal siapa-siapa orang yang telah berjuang demi agama dan bangsa ini dan bagaimana mereka menghadapi segala macam cobaan dan tantangan lalu mengubahnya menjadi sebuah peluang.

FLP kiranya memiliki peran sama seperti para pendahulu. Bahkan harus lebih karena tantangan hari ini lebih hebat dari sebelumnya. Dunianya sudah dunia digital. Informasi cepat sekali beredar. Karena itu peran kita menyebarkan kebaikan lewat tulisan setidaknya dapat mempengaruhi ketidakbenaran dalam informasi yang diterima. Jika dakwah itu ada banyak gayanya, FLP dengan visi dan misinya siap mewarnai dunia literasi dengan gayanya sendiri. 

Selamat milad FLP ke-20. Terus berbakti, berkarya dan berarti di muka bumi.

JATUH CINTA PADA FLP

by on Februari 23, 2017
Dari kemarin pengen banget bikin tulisan sempena milad FLP. Ngalor-ngidul pikiran dan jasadnya. Terbuka lagi begitu selesai membaca tul...