KETIKA TIADA IBU DI SISI


Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul tiga sore. Anak-anak yang berencana datang ke rumah sore ini belum juga muncul. Biasanya dari jauh suara mereka sudah terdengar. Paling sebentar lagi mereka akan tiba. Gumamku dalam hati.
Benar. Suara sebuah motor berhenti. Aku mengintip dari jendela. “Anak ini.” Kataku dalam hati. Lalu kubukakan pintu. Ia tersenyum sumringah.
“Jasmin, kamu kan masih sakit.” Ucapku ketika dia turun dari motor. “Pak, saya sudah katakan pada Jasmin bahwa ia tak perlu datang sore ini. Ia bisa istirahat di rumah.” Kataku kepada bapaknya Jasmin.
“Iya, Bu. Saya juga sudah katakan. Tapi katanya ia mau ke sini sore ini. Belajar kan, Bu?”
Aku mengangguk. Beberapa detik kemudian ayah Jasmin sudah tak tampak lagi jejaknya. Aku mempersilakan Jasmin untuk masuk ke dalam rumahku.
Sore ini, seperti biasanya aku mengajak anak-anak untuk bersenang-senang bersama buku. Kadang kala kami bercerita, menulis cerita, menggambar, berpuisi, melakukan percobaan dan apa saja yang bisa membuat kami senang. Hitung-hitung berakhir pekan bersama tanpa perlu khawatir salah dan ada penilaian. Tentunya tanpa biaya.
Jasmin asyik memilah-milah buku. Pelan-pelan kutanya alasan mengapa ia tetap datang sore ini. Kulihat dagu bagian bawahnya masih merah. Tadi di sekolah ia jatuh pingsan. Tersungkur. Dagu bagian bawahnya dan beberapa bagian di tangannya terluka. Dagunya dibiarkan terbuka sehingga warna merah darah yang belum kering masih terlihat jelas.
“Lebih asyik di sini, Bu. Bisa baca-baca buku. Bertemu dengan teman-teman. Kalau di rumah capek, Bu.” Jawabnya polos.
“Kok capek? Memang ngapain?”
Ia pun bercerita bahwa di rumah ia harus melakukan banyak pekerjaan. Menyapu, membersihkan sekeliling rumah, mencuci piring, memasak, dan lain-lain. Aku terenyuh.
“Kamu melakukan itu semua?”
“Iyalah, Bu. Siapa lagi yang akan melakukannya?” katanya santai
Mendadak bulir-bulir hangat di ujung kedua mataku hendak keluar. Tapi kutahan. Aku tak boleh terlihat rapuh di hadapannya yang berusaha tegar. Aku juga tak boleh bersedih dan merasa kasihan kepadanya yang tak ingin dikasihani. Ia hanya butuh dikuatkan.
Terbayang olehku, dalam usia yang masih kecil begini, ia harus melakukan banyak hal. Ia harus bersahabat dengan keadaan keluarganya. Kubandingkan dengan aku dulu. Waktu kukecil, aku tak merasa terbebani dengan keadaan keluargaku. Aku menikmati waktu bermain dan belajarku sepulang sekolah hingga senja menjemput. Aku tak kekurangan satu apapun. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Ibu dan ayah selalu ada setiap kubutuhkan. Bahkan, ibuku adalah energi yang tak pernah habis. Ialah cahaya yang tak pernah redup.
Masih terngiang percakapan kami tadi pagi ketika ia jatuh. Ia belum makan bahkan sejak malam. Ia juga tak memegang uang ketika ayahnya sedang bertugas di luar. Kupikir, tak ada maksud apapun dari sang ayah terhadap kedua anaknya. Kusaksikan tiap hari, ayahnya begitu perhatian. Mengantar dan jemput ke sekolah. Juga mengantarkan makanan dan uang jajan untuk Jasmin dan adiknya.
Tapi itulah, bak kata orang tuaku. “Patah kaki sebelah jika tak ada ibu di sampingmu.” Aku nangis bila mengingat kalimat itu. Terbayang ibuku di rumah dan betapa aku masih sering kesal terhadap hal-hal yang kami tak bisa sepakat.
Kita sebagai anak, mungkin pernah merasa kesal terhadap ibu kita. Tapi, kesal yang kita alami mulai sekarang hendaknya perlu diminimalisir. Kita tak pernah tahu kapan waktu kita bersama orang tua akan berakhir. Manusiawi jika ingin marah dan merasa ada hal-hal yang bertolak belakang dengan diri kita. Mengalahlah! Bersabarlah! Kita adalah seorang anak. Bahkan sebesar ini, aku tak sanggup bila dihadapkan pada keadaan anak tersebut.
Ini juga kelak menjadi pelajaran bagikku. Jika suatu hari allah titipkan amanah menjadi seorang ibu. Betapa, ibu punya peranan penting yang tak dapat digantikan oleh siapapun. Tak juga oleh ayahnya meski tercukupi segala kebutuhan. Tak juga asisten rumah tangga bahkan keluarga.
“Ibu meninggal dunia karena sakit, Bu. Sekitar tiga tahun yang lalu.”
Hatiku tersayat. Mataku basah. Tapi ia masih tegar menceritakan hal itu semua kepadaku. Tanpa airmata.


Ruang rindu, 17 November 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.