Ayah, Energi Ketegarannya Seorang Lelaki

 


Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan. (Hal 6)

 

Itulah yang dialami Rudi. Pada usia yang masih remaja, ia harus menghadapi banyak pengalaman hidup. Yang awalnya sangat susah diterima oleh rasa dan logika. Bagaimana tidak? Semua keindahan hidup dan kasih sayang dari orang tersayangnya, ia dapatkan secara penuh. Namun kemudian satu per satu pergi. Ayahnya yang berprofesi sebagai peternak ayam mengalami kebangkrutan. Tak lama setelahnya, ibu meninggal dunia karena sakit. Tapi Rudi merasa masih punya kekuatan yaitu ayahnya. Namun berselang seminggu, rupanya ia harus pula ‘kehilangan’ ayah yang sangat dibanggakannya.

Tak ada lagi ayah yang dengan bangga ia ceritakan. Tak ada lagi ayah yang menjadikan hidupnya hidup. Tak ada lagi ayah yang selalu siap berbagi ilmu dengannya. Tak ada lagi ayah yang sesibuk apapun selalu berusaha meluangkan waktu untuk bermain bersama anaknya. Tak ada lagi ayah yang akan bersegera memeluknya ketika ia dalam ketakutan dan mengajarkannya untuk menjadi seorang pemberani. Meski fisiknya masih ada, bagi Rudi, ayah bukan lagi ayahnya. Tak ada lagi cinta yang terpancar dari ayah. Ayah sudah banyak berubah semenjak kepergian ibu.

Ayah tak kunjung selesai dengan perasaannya. Semakin hari semakin aneh.  Saking cintanya ayah kepada ibu, ayah terus berhalusinasi. Hal itu membuat Rudi khawatir dan takut.

“Hei, kenapa kayak dikejar hantu?”

“Ayahku, Pak! Ayahku ….”

“Kenapa dengan ayahmu?” Pak Sadli sudah mulai menangkap arti kepanikanku.

“Ayahku bicara sendiri!”

“Kita harus membawanya ke dokter jiwa secepatnya!”

(Hal 52-53)

Rudi tak bisa menerima kenyataan bahkan ketika ayahnya harus segera dibawa ke rumah sakit. Hingga akhirnya, Rudi bahkan Pak Sadli harus menjadi korban atas kegilaan ayahnya. Pak Sadli adalah guru sekaligus tetangga yang peduli pada Rudi. Ayah Pak Sadli yaitu Pak Ramli, meninggal dalam pelukan Rudi. Pak Ramli yang seorang pemabuk, sempat mengucapkan kata ‘Nak’ dan ‘terimakasih’ pada Rudi. Kata yang tak pernah ia dapatkan sebagai seorang anak. Yang konfliknya berhubungan erat dengan kehidupan Rudi dan orang tuanya. Kenyataan menyakitkan lainnya adalah bahwa menjenguk ke rumah sakit pun Rudi tidak diperbolehkan. Ia tak tahu kapan ayahnya bisa sembuh. Ia benar-benar kehilangan ayahnya.

Di kelas, Pak Sadli sering mengingatkan kisah nenek Mallomo yang bernama asli La Pagala sebagai contoh kejujuran hidup yang diselipkan sebagai nasihat dalam novel ini. Nenek Mallomo adalah seorang lelaki dan cendikiawan muslim yang sangat berpengaruh di Kerajaan Sidenreng Rappang. Ia adalah penasihat kerajaan yang dengannya semua urusan menjadi mudah.

Ketika Kerajaan Sidenreng Rappang dilanda kemarau panjang pada abad ketujuhbelas, nenek Mallomo dimintai pendapat. Ia mencium aroma ketidakjujuran yang nyatanya dilakukan oleh anaknya sendiri. Nenek Mallomo pun harus berbesar hati. Sang anak harus direlakan sebagai tumbal kemarau kutukan yang dialami kerajaan.

“Jika kalian ingin cerdas, jujurlah! Karena kejujuran adalah kecerdasan yang sudah mulai langka. Kejujuran bukan gunung batu. Kejujuran bisa diperbarui. Mulailah!” (Hal 32)

Jujur itu akan menyakitkan awalnya. Tapi lama kelamaan akan hilang pahitnya. Hal ini menjadi ingatan bagi Rudi kala ia melakukan kebohongan dalam sebuah lomba fotografi demi menyenangkan hatinya. Sebagai obat kehilangan dan menemukan sesuatu yang lain. Pak Sadli bangga pada sikap Rudi dan terus mendukungnya untuk kuat.

Pemilihan Rudi sebagai tokoh utamanya membuat penekanan tersendiri bahwa penulis memiliki perhatian khusus terhadap dunia remaja lelaki. Sebagaimana novel Sajak Rindu (2017) dan Sabda Luka (2018) yang juga tokoh utamanya remaja lelaki. Remaja lelaki yang menanggung rindu pada ayahnya. Dimana ia membutuhkan sosok ayah sebagai energi dalam ketegarannya menghadapi hidup. Dimana rindu terhadap ayah selalu ada meski ia tak bisa menyatakannya lewat kata-kata.

Hadirnya guru sebagai tokoh pendamping utama dalam novelnya ini semakin memperindah alur cerita akan peran guru dalam kehidupan siswanya. Jelas ini karena sentuhan penulis yang juga berprofesi sebagai guru ini begitu melekat. Ketika orang tua tak lagi bisa menjadi penopang utama bagi seorang anak, gurulah yang seharusnya hadir. Guru, digugu dan ditiru – kebaikan serta semangat juangnya.

Guru yang seorang lelaki dan juga mengalami pergolakan batin pada ayahnya, menjadi semacam penguat bagi Rudi bahwa lelaki harus kuat serta tegar.

“Saya bukan laki-laki yang berpantang menangis. Kalau kamu mendapati mataku basah dan terus terbendung di kelopaknya tanpa bisa menitik, itu karena porsi air mata untuk kasih sayang ayah memang hanya setitik. Air mataku lebih menderas saat saya harus menyesali mengapa dulu saya harus membenci ayah. Ya, saya pernah membencinya.” (Hal 61)

Semarah apapun pada ayah,  jangan pernah membencinya. Jika tidak, sesal kemudian tak dapat mengembalikan masa. Cara terbaik untuk menerima kenyataan ayah yang tak seperti harapan adalah dengan tidak mengusirnya dari pikiran serta tidak mengurung diri dari kenangan.

Novel remaja yang berlatar kampung bernama Allakkuang ini juga membawa kita menikmati mengenang masa kecil bersama orang tua. Menjelajahi pesona Sulawesi Selatan  yang boleh dicatat. Mulai dari perbukitan dan pegunungannya yang indah, bau busuk peternakan ayam sebagai usaha masyarakat, batu nisan dan cobekan hasil olahan batu gunung, Lapangan Monumen Andi Cammi, Masjid Agung, Masjid Terapung Amirul Mukminin, Cotto Makassar,  Pantai Losari dan lainnya. Bagi perantau Bugis, ini tentu momen merindukan.

              Ada satu hal menarik lainnya yang diselipkan penulis di novel ini meski sedikit. Yaitu sains dan kreativitas yang diajarkan ketika pramuka. Ilmu tentang membuat tali dari pelepah pisang. Pelepah pisang yang mengering direndam air beberapa menit agar tak mudah putus. Setelah itu dicarik kecil menjadi tiga utas. Salah satu ujungnya kemudian diikat untuk menyatukan tiga carikan pelepah itu. Selanjutnya, ketiga utas tali itu disilang seperti akan mengepang. Terakhir tali dipelintir di paha. (hal 143)

Secara keseluruhan, novel ini patut diacungi jempol dan tak heran jika menjadi juara pertama pada kompetisi menulis novel remaja tahun 2019 oleh Penerbit Indiva ini. Kehadiran ayah hari ini yang juga menjadi fenomena khusus. Ayah tidak hanya sekedar fisik, tapi ia adalah hati dan juga jiwa. Ayah hadirnya tak sekedar menjadi pelengkap bagi ibu. Meski dalam agama islam, porsi penyebutan ayah jauh lebih sedikit daripada ibu. Tapi selayaknya lah ayah harus menjadi ayah sesungguhnya. Bakti seorang anak kepada ayah tak berbeda dengan baktinya kepada ibu. Tanpa ayah dan ibu, tak kan ada seorang anak.

Gambar sampul novel remaja ini juga unik. Seorang remaja lelaki yang tengah memejamkan mata dengan poni terulur hingga ke bawah mata. Seakan mencerminkan masalah demi masalah yang dihadapinya. Namun, kepala tetap tegar ke atas itu menggambarkan bahwa ia harus tetap kuat.

Salah, masalah dan masa lalu milik semua orang. Sementara masa depan harus terus diperjuangkan. Itu yang dilakukan Rudi di akhir novel ini. Ia menyerahkan seluruh keadaan pada Tuhan. Ia meninggalkan kampung halaman dan melanjutkan pendidikan. Ia harus terus hidup. Demi ayah.

Pulau Kundur, Kepulauan Riau, 2021


Judul buku        : Ayah, Aku Rindu

Penulis               : S.Gegge Mappangewa

Penerbit            : PT.Indiva Media Kreasi

Halaman           : 192 hal

Harga                 : Rp. 45.000


35 komentar:

  1. Cerita nya penuh hikmah. Jujur belum pernah baca buku nya. Tapi resensi dari Kavita Siregar amat detail jadi langsung paham alur cerita nya...
    Good job
    Semangat ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah membaca. Hayok, baca bukunya :)

      Hapus
  2. Terharu membacanya. Penasaran untuk membaca novelnya. Tetap semangat!

    BalasHapus
  3. Jadi kepo deh sama novelnya.
    Bicara tentang ayah selalu memancing emosi dan perasaan.


    Resensinya chiamix sekalii... tidak spoiler tapi menarik. Bikin jadi pengen belinovelnya juga.

    Kak pinjam dong. Eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayok, Ca. Sini kupinjami. Harus baca beneran ni. Atau sini tak bantu belikan :)

      Hapus
  4. Resensi yang menarik minat untuk membaca buku ini apalagi ketika anak rantau dilanda homesick. Sosok ayah selalu jdi sumber kekuatan bagi seorang anak untuk bisa berdiri tegar menghadapi kerasnya hidup. Ketika ayah tak lagi menjadi seperti yang diharapkan, membayangkan berada di posisi Rudi saja membuat hati berkecambuk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneeer...aku ngulang baca sampai tiga kali ini novel. Soalnya kayak yakin gak yakin gitu beneran anak remaja macam dia harus mengalami hidup lebih payah dari kita orang dewasa? Aku gak sanggup mungkin jadi dia di usianya itu.

      Hapus
  5. Ceritanya sangat edukatif penuh dengan hikmah.sangat menyentuh hati membacanya.mantap semoga sukses ya Kavita siregar.

    BalasHapus
  6. Luar biasa resensi dari Kavita Siregar alur ceritanya sangat baik, pembaca jadi paham mengenai isi cerita perjuangan seorang anak muda dalam menghadapi ujian hidup. Keren, sukses ya

    BalasHapus
  7. Bicara tentang ayah siapa pula hatinya yang tak tergugah. Luar biasa, ditunggu kelanjutan cerita dalam versi Novel atau semacamnya. Semangat ibu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih ya sudah mampir :)
      Insyaallah mudah-mudahan bisa lanjut ke cerita berikutnya.

      Hapus
  8. Sedikit bisa membayangkan kisah Rudi dari sepenggalan resensi ini. Membuat tertarik untuk membaca novelnya.
    Tetap semangat 💪💪💪

    BalasHapus
  9. Jika bercerita tentang ayah semua pasti akan tergugah. Entah itu tentang hal yang indah atau pengorbanan yang tak mudah. Alur ceritanya membuat pembaca mulai tergoda untuk membacanya. Sukses dan semangat terus untuk meresensi buku² lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Nita. Cerita tentang ayah ini sesuatu banget. Apalagi bagi anak pertama ya:)

      Hapus
  10. Udah banyak pun komentarnya wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mana komentar darimu terhadap isi ini, Mbak?

      Hapus
  11. Cerita yg luar biasa. Ditambah dgn resensi seorang penulis handal,semakin apik dan menarik jadinya..

    BalasHapus
  12. Mantaap ceritanya.
    Semangaaat Kavita
    Lanjutkan.��

    BalasHapus
  13. Cerita yang mengaduk emosi dan perasaan. Resensinya bagus, detail dan cermat, pembaca seolah merasakan apa yang dialami oleh Rudi. Bravo adinda Vita... ��

    BalasHapus
  14. Uwuuu... 🥺 Ceritanya pasti akan mengaduk-aduk emosi bagi yang membaca..

    BalasHapus
  15. Baca resensi ni bikin pingin baca novelnya,. Nanti boleh la ya pinjam ��

    BalasHapus
  16. Baca resensi ini jadi ingat abah. Dulu, kalau abah sudah terpuruk dan merasa lemah beliau tidak pernah gengsi menangis depan kami sambil berkata "kalau saja dulu aku bukan anak yatim dan memikirkan nasib adik-adikku. Mungkin, sekarang aku juga sudah bisa sukses seperti semua sepupu-sepupuku. Tapi aku hanyalah anak yatim yang diusia remaja sudah harus bekerja agar bisa bertahan hidup" 😭😭

    BalasHapus
  17. Masyaallah kerreeeen. Aku mau bukunya dong

    BalasHapus

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.