EUSTRESS

 


Masih terasa olehku betapa dinginnya air sungai Pasir Keranji. Aku terpaksa harus menyeberanginya dengan sangat cepat jika aku tidak ingin kehilangan nyawaku. Itu sama saja artinya aku akan melihat ibu dan adikku semakin menderita.

Berkat rasa takut yang luar biasa dan tentunya kehendak Tuhan, aku bisa meraih tepian sungai dan lalu mengasingkan diri dari tempat itu. Aku terpaksa harus melalui sungai itu lantaran tidak ada jalan lain yang bisa kutempuh saat pulang sekolah. Aku tersesat dalam jalan yang aku pun tidak tahu. Barangkali ini yang namanya eustress,  seperti yang pernah aku baca di sebuah buku motivasi. Tingkat stress yang mampu menciptakan sesuatu yang lebih positif. Aku yang tadinya tidak pandai berenang, akhirnya mampu menyeberangi sungai dan selamat.

Aku melangkahkan kakiku sedikit ke arah kanan. Tepat di depan sebuah pohon yang di bawahnya aku pernah menimbun sesuatu.

“Ternyata masih ada!” Aku membuka tutupnya dan membaca tulisan tersebut.

Suatu hari

Kan kuraih cita

Kubuktikan pada dunia

Aku juga bisa

Harapan yang aku pendam lama sampai akhirnya kembali aku hampir mati di tengah laut. Seorang anak SMP tanpa keahlian renang, selama dua hari dua malam berusaha mencapai tepian karena kapal yang ditumpangi karam. Di luar pikiran.

Lama aku merenungi kejadian-kejadian yang membuatku hampir mati di air. Hal ini menyadarkanku bahwa ternyata aku punya potensi dibidang renang. Aku pun kembali ke sungai. Kali ini sengaja untuk berlatih renang.

Perlahan-lahan sambil menangkap beberapa ekor anak ikan yang lewat di pinggiran. Aku terus menghentak-hentakkan kakiku sementara tanganku terus menggapai-gapai permukaan. Seminggu berlatih, aku menjadi mahir. Hal ini sangat membantuku. Aku menjadi salah satu nelayan muda. Aku bertekad untuk dapat menangkap ikan sebanyak mungkin dan menjualnya. Uangnya tentu saja untuk kebutuhan sehari-hari.

“Sepulang sekolah nanti aku akan latihan renang lagi karena besok akan ada kompetisi renang tingkat provinsi.” Terdengar suara Meiling, anak seorang kaya yang satu sekolahan denganku.

Kompetisi renang? Membayangkannya saja sangat menyenangkan apalagi memenangkan kompetisinya.

Perkataan Meiling tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Poster para atlit renang lainnya kini menjadi pajangan indah di kamarku. Renang menjadi salah satu kegemaranku.

“Yah, biasa-biasa sajalah, Nak! Orang susah gak mungkin menang. Cukup dengan nilai akademik yang tidak mengecewakan saja sudah.” Kata Ibu ketika aku berkali-kali mengulang kata renang.

“Ibu harusnya mendukung aku bukan malah mematahkan semangatku.”

“Ibu bukan mematahkan semangat tapi yang nyata-nyata saja.” Ibu tetap menyangkal dibilang mematahkan semangatku.

*

Berawal dari lomba renang antar kelas yang diadakan sekolah dalam rangka seleksi renang untuk kompetisi antar sekolah se-Kabupaten. Alhamdulillah, awal yang baik langsung menjadi juara ketiga. Walau tidak dapat mewakili sekolah, setidaknya ini langkah yang baik bagiku.

Pekan olahraga pelajar menjadi targetku. Latihan keras dan stamina yang prima menghantarkanku lulus seleksi tim provinsi. Mendengar hal itu dan melihat kesungguhanku, Ibu memberiku izin untuk mengikuti latihan rutin dan meninggalkan sekolahku untuk sementara.

“Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik!” Batin dan semangatku semakin membara.

Perjalanan ini membawaku ke dunia baru yang membuatku semakin dewasa menyikapi hidup. Untuk meraih apa yang kita inginkan pun butuh pengorbanan. Latihan yang ku lakukan demi cita-citaku menghantarkanku pada kondisi dimana aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena banyak nilai pelajaranku yang hancur. Tapi, disetiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Kompetisi nasional yang pertama kali aku ikuti berhasil membawa pulang medali emas.

Ku persembahkan buat ibu dan adikku juga semua yang telah mendukungku. Kemudahan lain juga aku dapatkan. Beasiswa untuk sekolah di tempat yang lebih bagus sampai aku tamat SMA,  uang saku dan juga tropi.

“Selamat ya, Nak. Lanjutkan perjuangan!” Kata Pak Slamet, guru olahraga yang juga kepala sekolah di SMA lamaku.

Tak lama setelah guru-guru dan beberapa orang teman menyalamiku, seorang rival renang sejak SMP sampai SMA menghampiriku.

“Aku yakin ini tidak akan bertahan lama. Tunggu saja kehancuranmu.” Kalimat ancaman yang cukup membuatku khawatir. Setelah dipikir-pikir, tidak ada gunanya mendengar orang seperti dia. Justru akan semakin menjatuhkan rasa percaya diri jika diingat-ingat.

Nyatanya rivalku tetap tidak bisa melampaui prestasi renangku kini. Ia justru terperangkap pada permainan yang membuatnya malu sendiri.

Hari ini aku dinobatkan sebagai atlit renang termuda se-Asia Tenggara. Untukmu Indonesia tercinta. Rasa haru dan bahagia ketika melihat merah putih berkibar.

“Ya, pulang yuk, Nak!” Sudah sore. Nita juga sudah menyelesaikan karyanya.” Kata Ibu membuyarkan lamuananku.

“Ya, Kak! Ta juga sudah selesai. Ini lukisannya.” Nita menunjukkan sebuah lukisan indah tentang sungai Pasir Keranji. Besok Nita akan mengumpulkan karyanya dan semoga ia menang.

Aku memasukkan kertas tadi kembali ke dalam botol. Aku merapikan tumpukan pasir tempat aku menimbun botol tadi. Sementara botol itu aku lempar ke sungai sekuat tenaga.

“Semoga harapan ini bisa lebih luas seluas alam ciptaan Tuhan dan tidak menjadi harapan yang tertimbun saja.”

 

Pernah dimuat di Koran Cetak Harian Pagi Papua

15 Desember 2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah baca kan? Kasih komentar ya biar kedepannya makin baik lagi. Terima kasih.