Hampir dua puluh tiga tahun usiaku kini. Berarti sudah selama itu aku diberi kehidupan oleh Allah. Kehidupan yang aku artikan tidak sesederhana kata hidup. Yah, kehidupan maknanya jauh lebih luas dari sekedar kata hidup.
Sepanjang kehidupan yang aku jalani, aku tidak ingat berapa kali aku bersyukur atas kehidupan ini dan berapa kali aku lupa dari mengingati kehidupan yang aku punya. Jelasnya, aku sendiri tak tahu apakah aku ini termasuk ke dalam kategori orang yang menghisab dirinya sendiri sebelum hari penghisaban.
Apalah yang aku katakan ini!
Intinya, aku baru menyadari bahwa hidupku sudah cukup tua di dunia ini. Tapi entah sudah berapa persen aku mengisinya dengan kebaikan. Entahlah! Yang jelas, mulai hari ini aku berkomitmen untuk senantiasa menghitung setiap amal yang ku lakukan. Apakah itu baik ataukah buruk. Sebagai bentuk kesiapanku menuju akhirat.
Ku mulai dengan kata ‘Hijrah’. Masih ingat di memori otakku bagaimana prosesku untuk hijrah. Bisa dikatakan, aku termasuk orang yang berhijrah dengan proses yang perlahan tapi kontinu. Tidak langsung berubah drastis atau langsung menolak. Mungkin ini yang dinamakan fitrah kebaikan dalam diri manusia.
Jika dulu Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Hari ini hijrah tidaklagi dimaknai sebagai masa perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Tapi adalah sebuah proses perubahan ke arah yang lebih baik. Bagi siswa, yang tadinya malas belajar, kini menjadi lebih rajin belajar. Seorang anak yang tadinya masih sering melawan orang tua, kini menjadi anak yang lebih penurut dan santun. Bagi orang tua yang tadinya sangat keras dalam mendidik anak, mungkin bisa jadi kini mendidik dengan lebih lembut. Bagi seorang pemimpin, yang tadinya masih bertindak tidak adil kepada bawahannya, kini bisa menjadi pemimpin yang lebih adil dan bijaksana. Yah, semua perubahan yang dilakukan adalah perubahan ke arah yang lebih baik, ke arah yang lebih positif.
Seorang Charles Robert mengatakan, anda hari ini adalah anda yang sama dengan lima tahun mendatang kecuali dua hal, orang-orang di sekeliling anda dan buku-buku yang anda baca. Jika anda ingin menjadi orang yang baik, cari lingkungan yang baik pula dan banyak membaca tentang peluang-peluang menjadi orang baik. Dengan membaca, terkadang anda bisa mengukur sejauh mana anda telah berkontribusi dalam kebaikan. Ingat guru-guru kita selalu bilang, membacalah! Karena membaca adalah jendela dunia. Sekalipun kau adalah orang yang tidak sempat mengecap bangku pendidikan, tapi jika kau rajin membaca maka kau akan menjadi orang yang jauh lebih hebat daripada orang berpendidikan. Apalagi gelar kependidikannya didapat dari proses yang tidak baik. Validnya, Rasulullah SAW dalam sabdanya mengatakan :
’Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.’’
Artinya apa? Jika kamu hendak sukses di dunia dan akhirat tentunya harus menunjukkan perubahan yang signifikan dari masa ke masa hidupmu. Proses kebaikan yang berkelanjutan dalam kehidupanmu.
Ada makna yang jauh lebih tersirat dari sekedar pemaknaan kehidupan pribadi saja. Sayyid Quthb pernah mengatakan, Jika hidup hanya untuk diri sendiri, maka kehidupan itu akan tampak pendek. Tapi jika hidup untuk orang lain, maka hidup akan lebih panjang”.
Proses hijrah ini tentunya juga diiringi dengan hijrahnya diri tidak sekedar menjadi baik. Tapi juga bermanfaat untuk ummat. Maka dengan demikian, kehidupan ini akan lebih bermakna. Apalagi jika dilakukan dengan senang hati. Orang yang melakukannya dengan senang hati adalah orang-orang yang tahu betul bahwa kehidupannya di dunia ini hanyalah titipan dari allah.
Oleh karena kehidupan di dunia ini adalah titipan, selayaknyalah orang yang dititipi ini menjaga titipan dengan baik sampai yang mempunyai menjemput titipannya kembali.. Alangkah lebih baiknya, titipan ini mengalami progress kebaikan yang besar hingga nanti di akhirat, yang dititipi dapat mempertanggngjawabkannya.
Menjaga titipan dengan baik melalui proses hijrah juga merupakan suatu bentuk rasa syukur atas nikmat kehidupan pribadi yang dirasakan. Bertepatan dengan momentum tahun baru hijriah 1434 ini, marilah kita sama-sama mengevaluasi kinerja kita atas titipan-titipan allah di muka bumi selama setahun kemarin. Ada yang baik, mari kita tingkatkan. Ada yang buruk, beristigfharlah dan bertaubatlah. Sesungguhnya pintu taubat senantiasa terbuka bagi siapa saja yang hendak bertaubat. Selanjutnya berkomitmen untuk menjadi lebih baik lagi. Wawlahualam. (14 nov 2012, 1 Muharram 1434 H)

HIJRAH HARI INI

by on November 15, 2012
Hampir dua puluh tiga tahun usiaku kini. Berarti sudah selama itu aku diberi kehidupan oleh Allah. Kehidupan yang aku artikan tidak sesede...
Aku tidak ingin berandai-andai
tentang keberadaan para pahlawan,
yang memperjuangkan kemerdekaan
Aku juga tidak ingin berkata-kata banyak,
tentang mereka yang kini disebut-sebut sebagai pahlawan
Dan aku juga tidak ingin dikenang sebagai pahlawan,
sementara perjuangan yang ku lakukan belum selesai,
belum dirasakan oleh sesiapapun disekitarku

Aku hanyalah segumpal daging yang kini berbentuk,
yang diberi nafas oleh sang pencipta
yang di dalam jiwaku bersemayam nadi-nadi perjuangan
Sehingga wajar bila aku bernafsu turut andil mengabadikan waktuku ,
menjadi bagian dalam mengisi kemerdekaan

Tapi perjuanganku tidak akan berarti apa-apa
Jika aku hanya berjuang sendiri untuk mencapai hasil yang optimal
Aku butuh kalian, kawan!
Untuk berjuang bersama Membangun peradaban yang kita impikan
Aku butuh kalian, kawan!
Untuk membangkitkan semangat dan motivasi kawan-kawan kita yang lainnya,
bergabung bersama kita
Satu gerakan untuk negeri pertiwi
Satu tujuan pasti INDONESIA Berjaya!

MARI BERJUANG!

by on November 10, 2012
Aku tidak ingin berandai-andai tentang keberadaan para pahlawan, yang memperjuangkan kemerdekaan Aku juga tidak ingin berkata-kata banyak...

Aku pernah membaca sebuah buku yang berjudul ‘membaca ombak’ karya Pak Chaidir. Di salah satu tulisannya bercerita tentang suatu daerah kaya yang kini miskin yaitu Dabo Singkep. Aku ingin bercerita sedikit tentang Singkep sebelum akhirnya aku mengalihkan ceritaku.
Singkep dulunya masih bergabung dengan Riau. Namun karena pemekaran daerah dan akhirnya terpisah, kepulauan Riau yang termasuk didalamnya Dabo Singkep, adalah sebuah daerah yang kaya akan penambangan timahnya. Mamaku sering bercerita tentang tanah kelahirannya itu, bagaimana kehidupan disana waktu dulu. Kakek yang seorang tentara, memensiunkan dirinya waktu muda dan kemudian bekerja di perusahaan timah. Hasil yang didapat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut bisa dibilang sangat memuaskan. Kehidupan yang berlimpah pun dirasakan mama. Kemudian kakek membuka banyak kebun yang akhirnya menambah penghasilan.
Kini daerah itu sepi, kawan! Tidak hanya dari cerita Pak Chaidir dan juga mama, tapi aku menyaksikannya sendiri. Sejak kecil hingga kini aku masih sering ‘pulang kampung’ ke Singkep. Pertama tiba di pelabuhan, kami hendak mencari kendaraan yang akan mengangkut kami menuju Paya Luas. Susah sekali menunggu angkutan umum. Disamping itu, rumah-rumah penduduk di pinggir jalan banyak yang sepi karena ditinggal pemiliknya setelah perusahaan timah tidak berfungsi. Coba kalian lihat jika nanti kalian berkunjung kesana, bangunan-bangunan yang ada hanya bangunan-bangunan tua dan bisa dibilang tidak ada pembangunan seperti kota-kota lainnya di Riau. Tentunya ini merupakan efek dari masa lalu dimana pemerintah yang kurang memperhatikan daerahnya.
Singkep ‘Gratisan’ saja. Seperti itulah ibaratnya. Ketika jayanya, tambang timah melimpah, kehidupan serba glamor dan masing-masing sibuk dengan kekayaannya. Untuk bisa tiba di Singkep sangat mudah, Jakarta-Singkep bisa terjangkau dalam waktu dekat. Tapi itu dulu, kini justru kebalikannya. Orang-orang yang dulu betah tinggal disana, kini semuanya pergi tanpa meninggalkan kemajuan sedikitpun di Singkep. Seenaknya mengambil hasil tambang disana tanpa ada imbalan untuk daerah.
Aku ingin menyinggung pemerintah di Riau. Aku tidak ingin Riau ini mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Singkep. Alasan mengapa aku katakan demikian? Kita lihat saja di Riau banyak perusahaan-perusahaan yang mengelola hasil bumi Riau. Label luar mengatakan milik Riau, tapi coba telusuri! Banyak dari perusahaan-perusahaan itu yang kepemilikannya diambil alih oleh pihak asing. Khawatirnya ketika hasil bumi Riau sudah tidak ada lagi, Riau ini ditinggal begitu saja tanpa ada hasil nyata yang menyentuh seluruh aspek masyarakat.  
Kalian tentunya tahu bahwa Riau kaya akan minyaknya. Tidak asing lagi kalimat ‘di atas minyak dan di bawah minyak’. Yah, memang begitulah nyatanya. Daerah penghasil minyak terbesar di Riau sebut saja Duri, Minas dan Siak. Meski banyaknya penghasil minyak, tetap saja masyarakat Riau sendiri kesusahan untuk mendapatkan minyak. Antrian panjang di SPBU menjadi pemandangan yang tidak asing. Harga yang tinggi juga membuat masyarakat bingung sementara pendapatan masyarakat masih banyak yang rendah. Untuk membeli minyak tanah juga lumayan susah, harganya juga mahal. Padahal, Duri menghasilkan minyak 600.000 barrel per hari. Bila saja pembagiannya sesuai dengan yang telah ditetapkan sejak otonomi daerah, Riau memperoleh 15% bagi hasil, maka tidak terlalu senjang mengingat Riau penghasil minyak terbesar.
Minyak juga merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sama halnya dengan timah. Jika habis pada waktunya dan tidak ada upaya penyelamatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, maka dapat dipastikan nasib Duri, Minas dan Siak tidak jauh beda dengan Singkep. Apakah kita tega meninggalkan daerah kita dalam keadaan seperti ini? Bagaimana nasib anak cucu yang tidak tahu menahu tentang hal ini?
Ketika berbicara tentang Riau, sebenanrnya banyak hal yang ingin diceritakan. Riau Ibukotanya Pekanbaru, kota bertuah. Bukan hanya mengkritisi yang akibatnya menjatuhkan daerah sendiri tapi adalah bagaimana kemudian semua orang sadar bahwa hidup hari ini bukanlah hanya untuk kehidupan hari ini. Masih ada esok, esok dan esoknya lagi yang mungkin memang kita tidak ada lagi. Yang terpenting dari hidup hari ini adalah menjadi gambaran kehidupan hari esok. Mengkritik adalah bagian dari kehidupan hari ini dalam rangka memperbaiki langkah selanjutnya yang masih kurang benar untuk hari esok yang lebih baik.
Saat ini, di kepala saya yang ada hanyalah kritikan terhadap daerah sendiri  melihat kondisi nyata yang terjadi. Dan dari keseluruhan permasalahan yang terjadi di Riau, sebenarnya hampir terjadi di daerah-daerah lainnya hanya saja persentasenya yang mungkin berbeda. Sepeti cerita saya tentang timah dan minyak tadi. Ini cerita lain tentang Riau.
Saya bahagia dilahirkan dan tinggal di Riau. Jika pun saya disuruh memilih untuk tinggal dimana, saya akan memilih untuk tinggal di Riau. Riau punya banyak kenangan dalam kehidupan saya dan juga memiliki begitu banyak keragaman yang mewarnai hari demi hari. Indahnya bila bersama.
Riau punya banyak hutan sehingga daerahnya pun cukup hijau. Nyaman berada di daerah yang hijau. Banyaknya hutan tentunya berguna sebagaimana kita sering dengar hutan paru-parunya dunia. Banyaknya hutan di Riau berarti Riau menjadi paru-paru dunia dalam menyuplai oksigen. Sebaliknya, jika hutan sudah tidak ada, tentu berkurangnya penyuplai oksigen. Kita semua sadar akan hal itu terutama bagi mereka yang berpendidikan jauh lebih mengerti secara ilmiahnya.
Tapi kemudian saya sedih ketika melihat sebuah video yang ditayangkan oleh sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, ternyata hutan di Riau kini tidak banyak  lagi. Isu-isu tentang kepemilikan hutan dan kerusakannya tidak jelas kini ujungnya. Dilihat dari awalnya secara dekat, yah kita akan terpana melihat hijaunya hutan Riau. Tapi semakin jauh, semakin tinggi, video itu menggambarkan betapa tandusnya Riau kini. Banyaknya pembakaran dan pembukaan lahan yang tidak resmi semakin memperburuk keadaan. Pihak-pihak tertentu sibuk meraup keuntungan sendiri tanpa bisa membedakan mana yang boleh dibuka untuk lahan baru mana yang tidak boleh. Anehnya lagi, banyak pejabat negeri ini yang ternyata terlibat di dalamnya. Makin aneh lagi, sudah ketahuan tapi masih bisa berkilah dan dilindungi. Puncak anehnya, mereka yang jelas-jelas sudah terlibat, tidak diproses, kini justru kembali muncul dengan percaya diri mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Ternyata cukup ada pula yang memilihnya. Apa maksud semua ini? Yang salah lagi punya duit itu yang dibela.
Belum lagi efek dari pembakaran dan pembukaan hutan tersebut. Asap dimana-mana. Jarak pandang semakin berkurang. Tidak dipungkiri salah satu penyebab kecelakaan adalah karena berkurangnya jarak pandang. Mau  mengurangi angka kecelakaan dengan cara tidak bepergian dari rumah? Bagaimana hendak mencari makan? Efek kepada kesehatan juga, semakin banyak asap yang terhirup semakin merusak paru-paru. Ujung-ujungnya banyak merugikan orang disekitar. Toh, lagi yang untung tidak membantu apa-apa jika terjadi kerugian seperti itu.
Hutan hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. Apakah itu juga akan terjadi? Kalaulah sudah gersang, masih ada yang bertahan? Khawatirnya akan sama kejadian dengan Singkep atau daerah ini jika sudah kehabisan minyak tadi. Maju dan baiknya suatu daerah tergantung pada siapa masyarakatnya. Masyarakat dalam hal ini termasuklah di dalamnya pengambil keputusan.
Riau itu negeri yang religi, Kawan! Adat bersandi syara. Syara bersandi agama, agama bersandi kitabullah. Itu semboyan kita, Kawan! Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan kembali kepada kitabullah. Mana ada di dalam kitabullah diajarkan untuk berbohong, mendzalimi saudara, atau mengambil yang bukan haknya. Itulah anehnya, entah kenapa semakin berpendidikan semakin saja pintar untuk berbuat curang.
Seperti belajar kimia, semakin mengetahui manfaat dan bahaya bahan-bahan kimia, harusnya kita semakin bisa berinovasi bagaimana menciptakan bahan-bahan herbal yang tidak kalah saing dengan bahan kimia dan bukanlah untuk menciptakan bom yang kemudian membuat rusuh dunia. Semakin berpendidikan, hendaknya semakin cerdas, apalagi tugas seorang pemimpin atau pengambil kebijakan yang sangat berat. Sudah berat di dunia. Berat pula di akhirat.
Ups, malah ngelantur ke pelajaran ya? Tapi tak apalah, karena ini juga merupakan pelajaran buat kita bersama sebagai masyarakat Riau. Yang katanya itu tadi, semboyan Riau yang sudah sangat bagus.
Menyinggung sedikit tentang kalimat tadi lagi. Dalam keseharian sering terlupakan tentang adat. Tapi coba lihat ketika ada perayaan hari  besar atau apalah namanya, pasti menggunakan adat. Yah, Riau tentunya sebagaimana adat melayu. Mulai dari yang kecil sampai yang besar, mulai dari penyambutan hingga perayaan. Ngakunya saja orang Riau. Tidak terbukti dalam keseharian yang mencerminkan orang Riau yang sopan dan bersandikan kitabullah. Harusnya konsisten sebagai orang Riau.
Wajar saja jika masyarakat kini sibuk melakukan demonstrasi menuntut pejabat kota dan provinsi untuk turun. Nyatanya kebijakan yang diambil banyak yang tidak menyentuh kehidupan masyarakat. Kalau sudah begini, tidak hanya Hutan tapi menjadi Harta hilang, raga kesakitan, kota tak bertuan. (Termasuk salah satu tulisan yang diikutsertakan dalam antologi bersama Pipiet Senja)


Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki memerhatikanku aneh atau mengata-ngatainku seenaknya.
Tapi kali ini aku benar-benar sudah tak berdaya. Badanku rebah dan tak mampu berdiri lagi. Aku tenggelam dalam duka.
*
“Ada apa denganku?” kucoba membuka mata perlahan. Samar-samar kulihat Makmuk, sapaan akrab di keluargaku untuk kakak tertua dari Bunda. Memang juga karena badannya yang besar tinggi dan rada gemuk.
Makmuk membelai rambutku. Dia mengelap wajahku dengan sapu tangan yang telah dibasahi air terlebih dahulu. Barangkali wajahku terlalu kusam.
“Ayah, Mak!” Ai sayang Ayah, Mak!” Ujarku dengan nada memaksa diri. Aku berusaha berdiri tapi ditahan.
“Ai, kamu jangan lasak dulu ya. Makmuk sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu kita baru bisa pergi.” Kata Sam yang sedari tadi juga berdiri di sampingku. Sam adalah tunanganku. Tapi kedepan aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah kami.
“Aku mau bertemu Ayah. Sekarang!” Teriakku. Makmuk dan Sam justru meninggalkanku seorang diri. Mereka seakan tahu bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pandanganku menembus kaca-kaca yang selama ini tempat aku sering menanti hujan. Memandangi pepohonan rimbun di seberang jalan. Ada sebuah tambak ikan yang di sana ada sebuah kolam ikan dengan berbagi jenis ikan.
Biasanya aku dan Ayah sering memberi mereka makan. Tak lama kemudian Sam juga datang dan tak mau kalah membawa makanan ikan lebih banyak. Namun sayang, sudah dua minggu ini tak pernah lagi ada cerita tentang aku, Ayah dan Sam karena suasana telah berubah. Makin lama, pandanganku jauh merambati ruang dan waktu yang tak pernah aku inginkan. Di kepalaku hanya ada kalimat seandainya, seandainya dan seandainya …
*
Dalam siarannya malam itu, Sam sengaja menyapaku melewati gelombang udara. Entah berapa jauh jarak tempuhnya, yang pasti kecepatan udara adalah lebih cepat daripada terbangnya burung untuk menyampaikan pesan.
Sam memang pandai menyanjung siapapun lewat kata-katanya yang beraliran romantisme. Tapi tak seperti Kahlil Gibran yang sangat menyanjung cinta sekalipun kekasihnya telah lama tiada, katanya setia.
Buat seseorang yang sedang mendengar siaran ini
Special, kau selalu di hatiku
Meski sampai akhir hayatku
Tiada yang bisa mengisi hati ini
Just wanna you
Hope you will marry me
Gila ya! Kali ini Sam tak tanggung-tanggung mengatakan hal itu di depan umum. Tak bisakah menunggu sejenak. Bersabar sampai waktunya tiba. Baru dua minggu, dan baru saja aku berusaha bangkit mneghapus duka. Bahkan Sam tidak sanggup. Kalimat itu adalah desakan bagiku. Bukan baru sekali Sam mengatakannya dalam minggu ini.
Aku muak!
*
Pagi ini aku melompat secara diam-diam lewat jendela kamarku. Sebuah pot bunga berukuran sedang pecah tersenggol olehku. Tapi aman. Tak seorangpun yang menyadari.
Debu kota sepagi ini menghantarkanku menuju sebuah tempat yang hampir tiap hari kusambangi hingga malam. Rasanya tak ingin berpisah. Delapan belas tangkai mawar merah yang masih segar sengaja kubeli untuk kuberikan pada Ayah. Aku membeli mawar sebanyak itu karena Ayah menyukai angka delapan belas. Tanggal pernikahan Ayah dan Bunda sekaligus tanggal perpisahan mereka. Delapan belas mei mereka menikah dan setahun lebih satu bulan aku pun lahir. Tepatnya delapan belas juni. Beberapa menit setelah itu bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Sebenarnya aku kembar dan saudara kembarku pun ikut Bunda. Itu sebabnya mengapa aku menjadi anak emas Ayah dan alhasil aku pun sangat dekat dan manja pada Ayah meski sebentar lagi aku akan menikah.
Wangi-wangi bunga kenanga semerbak menyambutku sejak langkah pertama tiba di tempat itu. Suasana masih sama. Hening. Hanya cicit burung yang mencari makan sesekali mengiringi langkahku.
Aku tiba di depannya. Gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau serta nisan kayu yang mulai berlumut karena dua hari belakangan tak kubersihkan.
“Ayah, maaf aku baru menjenguk Ayah. Kemarin aku sakit dan Makmuk juga Sam tak mengizinkanku untuk menjengukmu.” Aku menancapkan bunga-bunga yang kubawa tadi. Ayah pasti senang. Batinku.
Aku mengelus-elus nisan Ayahku dan sesekali menyentuh tanah.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Ayah!” Kupeluk erat nisan Ayahku.
Di rumah Makmuk dan Sam heboh kehilanganku. Mereka mencari ke seluruh sudut rumah dan halaman. Berharap baramgkali aku masih berada di sekitar itu. Tapi Sam tahu bahwa aku pasti lari ke makam Ayah. Dan kali ini pun aku siap dengan segala resiko yang akan aku hadapi.
Secepat kilat Sam menghampiriku. Dia menemukanku pada posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku tengah berdansa sambil berkata : “Aku mencintaimu Ayah!”
Tepak….
Sebuah tamparan di pipi kananku.
Tepak….
Juga menyusul di pipi kiriku. Tapi aku berusaha menahan rasa sakit di tubuhku. Aku masih sabar dengan sikap kasarnya.
Sam makin agresif. Sebuah tali tambang coba ia ikatkan di tanganku. Kali ini aku tidak terima dia memperlakukanku seperti binatang. Aku mengamuk. Aku berontak dan kucabut nisan Ayah. Kupukulkan ke tubuhnya, ke kepalanya. Dia masih berdiri.
“Jangan bertindak bodoh, Ai! Aku ini tunanganmu, calon suamimu. Ayahmu sudah meninggal. Lupakan saja dia.” Teriak Sam sesuka hatinya.
Aku terus memukulnya tapi ia kebal.
“Kamu gila Ai!”
Aku berlari menjauh. Sam terus mengejarku.
“Hentikan kegilaanmu, Ai. Tak ada gunanya mengingat Ayahmu lagi. Hari pernikahan kita semakin dekat.” Tambah Sam.
Kata-katanya semakin membuatku geram. Kupecahkan botol air di makam Ayah dan kutancapkan ke perutnya saat Sam menangkap kembali tubuhku.
“Maaf Sam. Tidak terpikir olehku akan pernikahan kita melihat keegoisanmu.”
Darah segar mengalir dari perut Sam. Tak sedikitpun aku merasa kasihan padanya.
“Aku mencintaimu, Ai!” Kalimat terakhir yang Sam ucapkan. Dan aku tersadar atas apa yang telah aku lakukan.
Aku rebah di hadapan jasad Sam yang membiru.
Bukanlah cinta ketika orang yang dicintai tersakiti. Dan bukanlah cinta jika terlalu mencintai tanpa kesadaran diri.

BUKANLAH CINTA

by on Oktober 15, 2012
Aku masih berdiri di bawah derasnya hujan. Tanganku tak bersedia melepas pelukannya yang masih hangat kurasakan. Tak peduli lalu lalang...