Terlampau sibuk entah aku yang sok sibuk sampai-sampai tak ada postingan terbaru dalam beberapa waktu ini. Yah, gak tau juga ya. Biasalah, mau posting tulisan tapi tulisannya belum diketik. Kalau langsung diketik di halaman blog khawatir aku malah sibuk mencari informasi lain di internet.
Hari ini aku mau menceritakan tentang beberapa kisah yang kualami.
Allahuakbar! Acara Talkshow dan Nonton bareng Bersama Bunda Helvi Tiana Rosa di Pekanbaru pada tanggal 12-13 Maret 2016 di Pekanbaru berjalan dengan lancar. Alhamdulillah. Terlebih alhamdulillahnya lagi, aku bisa mengontrol emosi dengan baik saat itu. Biasalah, namanya juga kerja tim pasti ada gontok-gontokan dan gak enakan. Mau marah? Pernah. Tapi kuingat-ingat gak ada gunanya marah-marah. Mau nangis? Jelas, aku ini aslinya cengeng. But, i was be able to control all of my emotion. Alhamdulillah.
Kecurigaan itu sempat terjadi dari awal persiapann hingga hari H. Tapi, tetap positif thingking pada allah karena semua terjadi atas kehendak allah setelah manusia berusaha secara maksimal.
Sabtu pagi aku sudah di bandara Sultan Syarif Qasim (SSQ) buat menjemput bunda HTR. Sesak banget nih nafas karena beberapa hari sebelumnya stand bye dalam persiapan mulai dari mengantar tiket, membagi brosur hingga mencari dana. Alhasil, yah kejar-kejaran dengan waktu. Alhamdulillahnya, aku tetap sehat. Alhamdulillah terus ajah.
Dari bandara bingung mau ngantar kemana. Jadwal sudah ada tapi di lapangan harus berubah karena bunda HTR maunya yang santai-santai aja. Jadilah bawa beliau ke tempat sarapan soto di Paus. Nah, itu setelah bolak balik nelpon Mbak Sugi dan Bang Alam buat nyari tempat sarapan. Sekitar jam 8 begitu ternyata banyak tempat sarapan yang belum buka termasuk tempat sasaran. Soto Pak Imam. Jadinya dibawa ke tempat lain.
Sewaktu nungguin bunda HTR sarapan, aku bolak balik nanyain kondisi peserta di UIN sama Suci. Setelah itu acara di UIN. Sesampainya di UIN, ternyata giliranku buat nyampaikan kata sambutan. Shock, sesak nafas, kaki agak sakit-kebetulan sengaja pakai sepatu karet bertumit sedikit. Syukur, aku tetap bisa tersenyum. Meski ketika baru nyampai melihat kondisi ruangan sepi. Sementara ruangan begitu besar dan langsung harus memberikan kata sambutan. Aku harus bisa mengontrol diri agar yang lain tetap semangat.
Begitu bunda HTR masuk ruangan bersama para sastrawan, ya allah. Asli sebenarnya mau nangis but i still stand up in front of them. Aku masih memberikan kata sambutan. Kubiarkan sampai bunda HTR duduk baru sambutan kulanjutkan. Jujur, aku malu juga sebenarnya. Tapi kulihat wajahnya bunda HTR tersenyum. Cukup. Itu sudah cukup memberikan semangat manakala aku tak sanggup menatap mata-mata lain yang berharap lebih lewat acara ini.
Selesai sambutan, ada telepon dari Bu Luluk tentang persiapan acara makan malam. Bu Luluk tuh nanyanya agenda makan malam duluan. Sementara, agenda yang lebih dekat sebentar lagi adalah roadshow di Abdurrab. Susaaaah....intinya susah banget berurusan. DI telpon lagi sibuk, si sms belum jawab. Waktu terus berjalan.
Apa ya, aku mau bilang. Semua-semuanya aku harus berpikir dan bertindak cepat. Buku bunda HTR mana belum dibuka. Aku kudu nanyain harga jual lalu membukanya dan memastikan yang jaga bener-bener jaga tuh buku.
Ada yang nyetor uang juga buat agenda upgrading dan diskusi malam internal FLP. Aku pegang uang acara juga. Meski pesertanya sedikit, aku tetap positif thingking bahwa allah punya maksud dan tujuan tersendiri. Agar hambanya lebih mendekatkan diri kepadaNya.
Aku juga turut malu sebenarnya karena mendesak bunda HTR buat cepat-cepat udahan dengan fansnya buat foto-foto dan tandatangan karena jam sudah melewati jadwal yang disusun. Harus berangkat menuju agenda selanjutnya. Roadshow di Abdurrab.
Luar biasanya, Pak Bambang, Bu Julina dan Rifda selalu stand bye buat membawa bunda HTR mulai dari makan siang sampai acara di Abdurrab. Kupikir sampai Abdurrab tinggal mula acara aja karena jam setengah dua sudah harus di sana. Ternyata apa? Kosong. Ruangan acara bahkan belum dibuka. Aku juga harus menagih uang dari anak-anak buat nobar esoknya. Mana sebagian lagi belum dibayar Bu Susi lagi. Uh, keringat dingin. Enggak. Rasa-rasa panas sekujur tubuh. Harus kuat. Allah yang bantu.
Hampir satu jam, bunda HTR dan Mbak Sugi dititipkan di ruangan rektor. Sementara itu, Kak Dian kucar kacir cari masa. Aku sibuk ngurus uang yang harus ditagih. Kayak ngemis lho. Maaf. Aku ngerasa kayak aku yang minta-minta. Ga papa. Dalam hati aku menyenangkan diri sendiri untuk fokus pada kerja ikhlas agar allah bayar dengan surgaNYa.
Meski masih sedikit, acara berjalan lancar sampai satu per satu terus berdatanga. Acara sangat-sangat molor. Jangankan bunda HTR, aku pribadi membenci acara yang molor. Teringat kata-kata bunda HTR yang sempat membuat dadaku sesak. Beliau mengatakan bahwa beliau intinya lelah. Agenda makan malam dengan Bu Susi aku minta alihkan ke hotel saja. Berhubung tak ada jawaban akhirnya aku anggap batal. Menyusul, sms dari Bu Luluk bilang kalau makan malamnya dibatalkan. Ya sudahlah. Bunda HTR juga harus istirahat.
Setelah dari Roadshow, sebelum balik hotel masih ada jadwal buat siaran di Robbani. Aku percayakan perjalanan ini kepada Ani, Afifah dan kawan-kawan. Aku harus mengurus hotel dan memastikan ruangan buat acara malam. Kali ini bunda hTR harus nyaman.
Aku melaju menuju hotel Zaira. Alhamdulillah tidak ada masalah. Aku pastikan semuanya yang ada di kamarnya dalam keadaan baik. Aku pun kembali ke kamark untuk menghitung uang acara dan lain-lain. Malamnya sungguh menyenangkan karena ada penyegaran dalam upgrading yang memang puncak yang ditunggu-tunggu anggota FLP.
Besoknya, nobar di XXI Cinema. Pagi lagi aku sudah ke rumah Della buat menjemputnya karena ia bertugas sebagai supir pribadi gratisan pagi ini. Bunda HTR mengirimkan Wa kepadaku dan bilang bahwa beliau sakit perut. Jadi aku belikan beliau nasi uduk. Kami pun kelaparan dan akhirnya makna nasi uduk juga. Cuman bedanya, kami makan di bawah dan bunda HTR makan di dalam kamar.
Aku mikir, kayaknya kami durhaka deh. Bunda HTR dibiarkan sendir tanpa ada pendamping. Sementara hendak berjalan, bunda nungguin kami rupanya di dalam kafe. Maaf bunda. Maaf banget atas ketidaknyamanan bersama kami. Akhirnya kami cus ke bioskop. Apa yang terjadi?
Banyak penonton yang belum datang. Tiket sih sudah terjual habis. Tapi orangnya nih entah dimana. Masa Abdurrab banyak yang belum datang. Film sudah harus mulai. Aku benci dengan salah seorang petugas di bioskop itu. Ga ramah dan ga enak banget pelayanannya. Paling ga yang baik-baik dikit gitu ngomongnya.
Film pun mulai. Kami pun masuk. Setiap lima menit sekali aku melongok ke belakang memperhatikan penonton. Ga ramai seperti nobar hari itu yang sampe ke bawah-bawah. Yang penting Sekda kota dan para sastrawan sudah datang dan menonton film baik ini.
Selesai film kan masih pada sibuk foto-foto tuh. Kali ini aku ga mau mendesak bunda buat cepat-cepat karena agenda selanjutnya juga belum jelas. Yang ngajak makan siang dimana dan bagaimana sistemnya. Akhirnya, bunda ngajak nongki-nongki canchi. Untung Della pandai banget dan tau banget Pekanbaru. Pikiranku maish kacau jadi dia yang atur semuanya.
Kami nongkrong deh dan menikmati minuman di Tsurabi Enhaii Sudirman. Bunda yang bayar. Makash bundaaaa....Selesainya kami langsung antar bunda ke satu rumah makan untuk bertemu tokoh. Sementara bunda bareng ketua FLP, aku dan Della mutar nyari makan siang dan bertemu dengan mereka di bandara.
Tugas kami selanjutnya adalah mengeluarkan semua barang-barang bunda. Minta tandatangan di buku dan foto-foto cantik karena belum sempat banyak foto sewaktu acara. Panitia kan gitu ya. Belakangan. Jam 3 bunda masuk ruang tunggu dan kamipun cipika cipiki. Say good bye to bunda. Daaahhh bundaaaa....maafkan kami belum bisa melayani dengan baik. Safe flight n see you in the next time.

#latepost
#kmgpthemovie
#flpriau
#semangat


maha besar allah yang maha pengasih dan penyayang. tiada yang tahu apa yang akan allah lakukan dan berikan pada kita hambanya. namun, hari ini aku semakin dan semakin yakin lagi bahwa allah itu sungguh maha baik.

karena sudah kesorean dan masuk waktu magrib, aku harus berhenti dan shalat di salah satu masjid di pinggir jalan. seusainya shalat aku langsung pulang ke rumah. sampai di rumah aku hendak melihat handphone. tapi handphoneku tak ada. aku sedikit panik namun kutenangkan diriku. jika masih rezekiku, maka handphone itu akan balik. jika tidak balik mungkin infakku tadi masih sedikit.

dengan tenang coba kuhubungi nomer handphoneku menggunakan nomer paket internet. nyambung. seorang lelaki mengangkat.
“hallo...,”
“iya, hallo...”
“ini siapa?” tanyaku
“ini handphonenya tadi jatuh kak di masjid.”
“masjid mana?”
“masjid al-fitrah”
aku langsung keingatan bahwa tadi aku mengeluarkan dompet untuk mengambil infak ke masjid. apakah karena itu handphoneku jatuh? atau jatuh dari jaketku? aku lupa. alhamdulillah masih rezekiku.
“oh, iya. bisa saya ambil?”
“bisa, Kak. tadi seorang ibu yang menemukan dan memberikannya.”
“kalau saya ambilnnya besok bisa?”
“bisa.”
“dengan siapa ya?”
“ambil ke masjid aja langsung, Kak. saya di masjid.”

syukurlah. kau tahu? aku merasa allah sangat baik padaku. tadi itu aku hanya infak sebesar dua ribu rupiah saja dan itu pun hanya satu kotak. lihat kerja allah! allah langsung balas kebaikan kecil yang kulakukan dengan tetap mengizinkan handphone itu kembali padaku. allahuakbar!    


Pekanbaru, 29 feb 2016



Rezeki gak akan kemana

by on Maret 04, 2016
maha besar allah yang maha pengasih dan penyayang. tiada yang tahu apa yang akan allah lakukan dan berikan pada kita hambanya. namun, har...


 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga anaknya. Apalagi anak perempuan. Pantang. Terlarang. Usia labil untuk menentukan arah masa depan. Begitu pula dengan persahabatan kami.
“Aku akan merantau, Kawan!”
Percakapan kami pagi itu terlampau berat. Masa depan memang bukanlah sesuatu yang pasti. Tapi adalah sesuatu yang hanya bisa direncanakan dengan sebaik mungkin dan kemudian menyerahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Aku membersihkan dedaunan kering yang jatuh dan jatuh lagi sekalipun aku sudah membersihkannya.
“Hashi!” Gadis kecil menyadarkanku bahwa ia sedari tadi ku abaikan karena mendengar curhat kawanku itu. Aku segera menujunya. Ku perbaiki masker di mulutnya. Kondisi alam masih kacau. Sudah dua minggu ini aktivitas di luar rumah banyak yang terganggu.
“Aku kasihan pada mamak dan ayah. Terlampau berat beban mereka jika aku masih disini. Anak perempuan satu-satunya, masih perawan. Di samping itu, aku ini sarjana dan masih menganggur.” Dia terdiam. Aku masih membersihkan cairan yang terus keluar dari hidung gadis kecil. “Aku harus merantau!”
Ku tatap lamat-lamat wajahnya yang tampak sedih. Jelas, aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Beban double. Dilema yang tengah melanda banyak sarjana hari ini. Susahnya mencari pekerjaan dan juga jodoh yang tak kunjung datang. Dia pergi meninggalkanku dengan uraian air mata.
“Mak, Kenapa Acik menangis?”  Gadis kecilku seakan ingin mengetahui.
*
Pada akhirnya dia meninggalkan kampung halamannya ini. Sebuah kota kecil yang tengah membangun kepercayaan diri untuk dapat berkembang dan bersaing dengan kota-kota kecil lainnya untuk mendapat perhatian pemerintah daerah tingkat I. Jika dia bertahan sebentar saja lagi, mungkin akan ada peluang baginya untuk mengaplikasikan ilmunya. Seperti anak-anak kampung ini.
“Itulah, Nak! Mamak tak tahu harus bagaimana terhadapnya. Kamu kan tahu kalau dia itu keras. Kamu sahabatnya sejak kecil.” Ku pandangi wajah mamak. Tentulah berjuta sedih ditinggal anak semata wayangnya. Dalam banyak hal, mungkin mamak akan memikirkan apa dikata orang. Anak semata wayang. Perawan. Sarjana. Penggangguran. Semua hal menjadi semakin diperjelas. Kabar apapun akan tersebar cepat seperti angin.
“Mamak tak menuntut apa-apa dari dia. Sebagai orang tua, adalah kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Anak tidak perlu repot ikut memikirkan tangung jawab orang tuanya. Cukup anak itu melakukan kewajibannya sebagai anak dan patuh kepada kedua orang tuanya. Tapi dia terlalu memikirkan lebih jauh.” Mamak menghela nafas. Kemudian membuang pandangan keluar.
Ayah, di luar sana tampak menyibukkan diri. Tubuhnya yang ringkih sudah cukup membuatku menangis dalam batin kala melihatnya. Lelaki bijaksana dan alim. Rambutnya sudah putih semua. Padahal jika dilihat dari usianya, masih belum terlalu tua. Namun, karena efek kerja keras semasa muda yang membuat tubuhnya sudah tak sewajar usianya.
Apalagi yang dilakukan orang tua itu di rumah selain memelihara lingkungan disamping kegiatan ibadah. Bukanlah harta dunia lagi yang dicari. Sederhana saja. Tetap berkumpul bersama keluarga kecilnya dan bahagia bersama sampai nanti bertemu surga.
“Kamu ngawur. Aku kan beda sama kamu. Lha, kamu wajar saja begitu. Orang tuaku sudah banyak menanggung derita ditambah biaya kuliahku yang banyak. Aku terlalu menyusahkan mereka. Lebih baik aku merantau dulu untuk beberapa tahun. Setelah modal terkumpul, aku akan kembali lagi ke kampung halamanku ini untuk membangun kampung ini. Pun, jika berkumpul bersama orang tua namun tak punya uang untuk apa?” Aku tersentak akan percakapan kami waktu itu. Dia memang keras. Itu karena perasaan bersalahnya yang berlebihan. Mungkin.
Gadis kecilku meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sepertinya ia mulai mengantuk. Ku usap-usap kepalanya. Ku belai wajahnya.
“Berikan yang terbaik untuk anakmu ini. Jangan terlalu dimanja, tapi juga jangan terlalu keras. Sebagai orang tua, kewajiban kitalah untuk menafkahi hidupnya hingga dia lepas tanggungan dari kita.” Mamak memberikan petuah padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Jika suatu hari nanti kita tak bertemu lagi, tolong jaga sahabatmu! Kalian adalah anak mamak dan ayah yang paling berharga. Jaga baik juga cucu mamak ini ya!” Kata perempuan tua itu sambil tersenyum.
*
Air Molek, 14 September 2015
Untuk Anak Mamak Tersayang
Sayangku, kau anak mamak dan ayah satu-satunya. Jika banyakpun harta yang kita miliki melebihi sepetak tanah dan sebuah gubuk kecil ini harus digadaikan untuk menebusmu, maka kami tak kan pernah ingkar janji kami pada Tuhan. Merawat kau, menjaga kau dan membesarkan kau. Sebaik-baik pengasuhan.
Mamak dan ayah tahu, bahwa kau adalah anak yang baik. Oleh karena itu, kau tak ingin lebih memberatkan beban mamak dan ayahmu ini. Namun, tidaklah seperti apa yang kamu pikirkan sesungguhnya. Keberadaan kau di samping mamak dan ayah adalah lebih baik daripada kau harus pergi merantau.
Perantauan itu keras, Nak. Mamak dan ayah tak kuasa dan tak tahan jika kau harus sakit dan menderita dalam perjuangan. Maaf, jika kami justru membebani pikiranmu. Tak mengapa bagi kami dengan apapun keadaanmu. Begitupun pasangan hidup. Kau sudah tahu bahwa bahkan mamak sendiri adalah gadis yang menikah dalam usia yang tak lagi muda dengan ayahmu. Bahkan mamak jauh lebih tua dari ayahmu. Namun, tentang rezki, jodoh dan juga maut tlah tercatat dalam lauh mahfuz. Tak perlu kau khawatir dan menanggapi omongan orang.
Mamak tlah banyak tinggalkan cerita. Nanti kau tanyakan saja sendiri. Kau harus lebih dewasa ya, Nak! Sepeninggal mamak dan ayah, kau akan jauh lebih dewasa. Berbuatlah yang terbaik. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu! Mamak dan ayah slalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Adapun peninggalan mamak dan ayah hanyalah seperti yang kau ketahui sejak dulu. Gubuk ini dan juga sepetak tanah yang slalu subur. Bisa kau tanami sayur-mayur untuk makanmu sehari-hari.
Salam sayang mamak dan ayah.
            Surat yang mamak dan ayah titipkan padaku waktu itu, tlah dibaca olehnya di tanah perantauan sana. Sederhana. Untung saja, pernah suatu ketika ia mengirimi gadis kecilku sebuah hadiah ulang tahun. Katanya itu adalah hadiah kecil yang ia persiapkan untuk kami. Sementara itu, untuk mamak dan ayahnya sendiri belum sempat ia belikan karena uangnya belum cukup. Nanti, sedikit lagi saja uangnya akan terkumpul. Ia pun akan memberitahuku bahwa paketnya akan sampai ke rumahku.
Setelah itu, aku mempunyai tugas untuk mengantarkannya kepada mamak dan ayah. Memberitahu mereka dan meyakinkan mereka bahwa dia tak pernah lupa pada mereka. Dia hanya butuh waktu sebentar saja untuk merantau. Seperti katanya, mengumpulkan modal. Kemudian kembali ke kampung halaman.
Ini sudah tiga tahun dia pergi. Juga tahun pertama sepeninggalan mamak dan ayah. Rumah mereka tetap saja sejuk dan bersih sekalipun udara luar tetap tidak bersahabat. Bulan-bulan ini musim kemarau. Dimana-mana kau tak kan menjumpai langit biru. Tanah-tanah kering. Dedaunan runtuh. Air kering. Batuk, pilek dan sesak nafas menimpa banyak warga. Penerbangan beberapa hari yang lalu sempat ditutup. Namun, hari ini sepertinya terpaksa harus dibuka. Nyatanya di ada di hadapanku kini.
“Mengapa kau sembunyikan kabar ini dariku? Mengapa tidak segera saja kau kabarkan padaku waktu itu? Apa maksudmu?” Dia berteriak sejadi-jadinya. Ada aliran deras di ujung pelupuk matanya. Seperti waktu itu juga. Waktu dia hendak meninggalkan kampung halamannya ini. Seperti waktu itu dia keras untuk merantau mencari peruntungan di tanah orang.
            “Jangan pernah kau sesali. Takkan pernah daun kering yang jatuh lalu terurai kembali menjadi daun segar di ranting pohonnya. Lihatlah mereka! Agar kau bisa merasakan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.” Dia pun kini hanya tertunduk di atas gundukan tanah mamak dan ayah.
 
Dimuat di Xpressi Riau Pos, 07 Febuari 2016

UNTUK SEORANG TEMAN

by on Februari 29, 2016
 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua h...


Pagi tadi hujan deras turun di bumi lancang kuning. Alhamdulillah, meski gak shalat dan bangun kesiangan, disambut hujan itu rasanya sesuatu. Rahmat allah luar biasa ya. Rencananya pergi ke Kampar bareng Rika karena ada agenda motivasi akbar. Sempat ragu, namun luruskan niat kembali dalam rangka saling menasehati dalam kebaikan. Awalnya mau berangkat jam 06.00 wib namun diundur jam 07.10 wib. Itu pun akhirnya molor. Jam 07.30 wib akhirnya resmi berangkat.

Sesampainya di tempat tujuan, masih sepi. Kamilah penghuni pertama masjid itu disamping orang yang menyampaikan pengumuman. Kami pun menunggu. Lama sekali. Satu per satu orang berdatangan. Kebanyakan adalah ibu-ibu. Padahal ya katanya siswa dan mahasiswa di sekitaran kampung itu. But, begitulah dakwah. Harus sabar. Aku coba lapangkan dada dengan menarik nafas. Berpikir positif dan sesekali bercerita dengan Siska dan Yulisa yang juga ikut dalam tim. Sementara Rika mempersiapkan penampilan.

Rika memintaku untuk membacakan profilnya. Sudah lama aku tak tampil dalam dunia training dan motivasi ini. Agak sedikit takut dan grogi. Lalu kemudian aku berpikir positif. Aku kan seorang guru dan biasanya juga tampil di depan kelas. Spesialnya, aku gak mau jadi guru kayak yang lainnya. Sesekali aku improve ala training dan memberikan ice breaking. Anak-anak jadi senang. Bismillah. Kuterima tawaran Rika dan aku pun maju saat waktunya diberikan kepada kami.

Alhamdulillah ya, tak sedikit pun aku grogi. Lancar. Tenang. Cuman kebiasaan bicara cepatku masih ketara. Ini nih akibat malas ikut kelas public speaking dan olah vokal. Teringat zaman sebelum berangkat ke Papua. Pagi2 ahad udah ngumpul di Mtq buat latihan pernafasan dan suara. Kangen. Paling enggak ini awal yang baru baru buat kembali ke dunia training dan motivasi. Satu lagi, berpikirlah yang positif maka energi positif pula yang akan diberikan. Alhamdulillah banyak-banyak.