“Mak,
De sedih tengok mak macam ni. Mencuci baju dan menyapu rumah orang,”
suara Dede terdengar pelan seketika mak yang sedang mengurut kaki menatapnya
heran. “Sedih juga tengok ayah kerja sampai petang. Kerja pada kapal
orang. Belum nak bayar sewa dan apalagi musim gelombang tiba. Jantung
rasa nak copot. Tak sesuai pengorbanan dengan duit yang didapat.”
Mendengar
kalimat anaknya, mak tertawa. Kemudian menanggapi santai, “Pandai pula kau
berkata macam tu. Mak tak masalah. Ayah kau apalagi. Yang penting kita
bertiga bisa selalu bersama. Dia sangat sayang sama kita.”
“De
nanti nak jadi kapten kapal keluar negeri ya, Mak. Biar mak dan ayah tak
payah kerja macam ni lagi.” Diputar-putarnya kakinya di lantai. Sesekali
membuang pandangan keluar. Tak jauh di depan sana, pompong antar pulau bolak
balik tiada henti. Mak hanya menggeleng.
*
Pagi
itu Dede dan mak sedang memungut udang di tepi laut. Udang yang didapat
biasanya direbus begitu saja. Lalu dimakan dengan sambal dan nasi hangat.
Pulangnya singgah sebentar melewati halaman rumah Makcik Leha. Dia orang baik
yang selalu membolehkan mak memetik daun pucuk ubi.
Belum
lagi jauh meninggalkan rumah Makcik Leha, seorang perempuan yang usianya
diperkirakan melebihi usia mak menghampiri dengan sinis.
“Kapanlah
kau nak bayar hutang yang sudah menumpuk ni?”
Itu
pertama kali Dede mengetahui keadaan mak. Selama ini, Dede tak pernah mendengar
mak ditagih hutang meskipun hidup mereka serba pas-pasan. Tapi nyatanya setelah
hari itu, semakin banyak kabar yang ia ketahui tentang mak. Suara-suara miring
tentang mak kerap kali didengarnya. Mak yang suka berhutang. Mak yang suka
meminta. Mak yang suka berbohong. Sungguh itu membuat ia tertekan. Malu. Sering
ia bertanya apakah ia memang harus menanggung beban sebagai seorang anak
miskin?
Sering
pula diamatinya penyebab mak melakukan hal tersebut. Tak lain karena mak memang
tak memiliki duit. Tapi keinginan mak untuk memberikan kehidupan yang layak
padanya sangat besar, sebagaimana orang tua lainnya. Mak ingin Dede bisa menyelesaikan
sekolah dasarnya dengan baik dan kemudian melanjutkan belajar di pondok
pesantren tahfiz. Mak ingin ia menjadi seorang penghapal quran.
“Tapi
kalau De bisa menjadi kapten kapal besar keluar negeri, kita bisa punya banyak
uang, Mak. Tidak hidup macam ni,” kata Dede suatu ketika. Mendengar
kalimat Dede yang lantang, mak menegang. “De…tak mau…terus diejek,” air mata Dede
meleleh. Semakin lama bulir hangat di ujung matanya itu mengalir semakin deras.
Mak menyandarkan tubuhnya ke dinding. Menarik nafas.
Tak
jarang Dede mengeluhkan ayahnya yang serabutan di laut. Kadang bawa kapal
sayur. Kadang bawa pompong sayur. Pergi ke pulau seberang sana sini. Penghasilannya
tak bisa begitu diharapkan. Kapal yang dibawanya disewa dari seorang pengusaha
di kampungnya. Setoran sewanya saja cukup besar. Daripada tak ada pekerjaaan,
makanya ayah mengambil pekerjaan itu. Susah mencari pekerjaan meski di kampung
sendiri. Apalagi memang tak punya harta warisan keluarga.
Pernah
Dede berkelahi dengan ayah. Ia mengatakan bahwa ayahnya lemah. Ayah tak seperti
ayah lainnya yang bisa memiliki banyak duit. Ayah kurang berjuang. Tak
seharusnya seorang lelaki itu menyerah dengan keadaan. Seorang lelaki harus
punya banyak cara untuk bisa membahagiakan keluarganya. Tak malah membuat mak
nya ikut berpikir keras dan menderita. Entah darimana kalimat-kalimat tajam itu
ia dapatkan. Saat itu pula tangan ayah mendarat di pipinya. Selama ini tak
pernah ayah begitu.
Mak
yang melihat keadaan tersebut berusaha menarik Dede. Ia masih menggeram.
Terlihat ayah menyesal dan mengucapkan istighfar. Ia duduk di luar rumah. Mak
menangis. Dede bilang ke mak bahwa mak tak akan menangis lagi jika ia menjadi kapten
kapal raksasa ke luar negeri. Mereka tak akan melarat. Tak hanya membawa kapal
sayur seperti ayah. Karena itu ia harus sekolah kapal.
Sejak
saat itu, Dede tak hiraukan ayahnya lagi. Ia hanya mengingati mak. Tiap kali
memandang wajah letih mak, ia semakin giat belajar. Berfokus agar nilai-nilainya
bagus dan nanti bisa dapat beasiswa masuk sekolah perkapalan. Punya posisi
bagus seperti ayah temannya. Mondar mandir keluar masuk Singapura, Malaysia,
Thailand, Phillipina, Taiwan dan negara Asia lainnya. Lalu pulang ke rumah
sembari membawa banyak makanan, jajanan dan juga mengajak keluarganya pergi liburan.
Dede sungguh iri.
“Tak
payah iri ke orang-orang yang nak kejar-kejar duit banyak. Tak dibawa
mati. Lebih baik iri pada orang yang hapalan quran nya banyak. Kepada mereka
yang ibadahnya bagus. Kepada mereka yang dermawan,” mak terus tak sependapat dengan keinginan
Dede.
Dede
sudah berjanji pada mak untuk menjadi anak yang baik. Ia juga pelan-pelan
berusaha menjaga salat sejak kecil dan membaca al-quran dengan baik. Tak akan
jadi masalah jika ia tetap kerja kapal. Bukankah itu namanya seimbang dunia
akhirat? Pikirannya menjadi semakin dewasa sejak berkelahi dengan ayah. Sejak
saat itu pula, hubungannya dengan ayah semakin dingin. Sementara ayah masih
tetap seperti biasa. Memperlakukannya dengan baik.
“Bu
Ratna…cepat keluar!” tiba-tiba terdengar suara teriakan hebat dari luar. Dede
yang masih tiduran terkejut. Seharusnya sepagi ini bukan waktu yang tepat untuk
berteriak-teriak di rumah orang.
Dede
mengintip dari celah dinding rumahnya. Seorang perempuan yang usianya
sepantaran usia mak nya. Namun penampilannya jauh lebih baik. Ia masih menunggu
di luar rumah sambil menopangkan tangannya di pinggang. Dede mencari mak nya ke
seisi rumah. Tak ada. Apa mak pergi kerja lebih pagi? Hanya ayah saja yang
masih terlentang dan membuat Dede kesal. Yang harus keluar sepagi ini
seharusnya ayah. Bukan mak. Ia terus mengomel dalam hati.
Dari
celah jendela itu pula, dikejauhan Dede melihat mak berjalan menuju rumah.
Perempuan yang mencari mak nya tadi segera menghampiri mak. Sesekali didengarnya
perempuan itu berteriak memaki. Mak hanya menunduk. Mak memberikan beberapa
lembar uang kepadanya. Kemudian perempuan itu berlalu. Mak pun pergi lagi entah
kemana.
Keadaan
makin payah. Itu membuat Dede tiba-tiba tak bersemangat pergi ke sekolah. Ingin
rasanya ia ikut mak bekerja hari itu. Tapi ia tak dapat buat apapun.
Dibersihkannya seluruh isi rumah yang berdebu. Berharap nanti mak pulang bisa
lebih senang. Sebuah kotak jatuh dari atas lemari ketika ia membetulkan posisi
pintu lemari yang tak lagi baik. Dibersihkannya kotak unik tersebut. Lalu
diletakkannya kembali ke tempat asal tanpa memperdulikannya.
Ayah
tergesa-gesa keluar dari kamar. Meneguk segelas air putih, mengisi botol air
nya dan membawa beberapa perlengkapan seperti handuk, baju ganti, sarung dan
peci. Ayah memberikan pujian kepada nya karena ia adalah anak lelaki yang
rajin. Dielusnya lembut rambut kusam Dede. Setelahnya, ayah mengucapkan salam.
Merasa
bersalah karena tak sekolah, Dede membuka buku pelajaran seharian. Ia mengutuki
dirinya sendiri mengapa tak pergi ke sekolah. Sementara perjuangan menjadi
kapten kapal dan punya duit banyak masih panjang.
Menjelang
sore, mak pulang dengan keadaan menyedihkan. Memar di wajahnya. Dede panik. Mak
hanya bilang kalau mak tadi tak sengaja terjatuh dan tersungkur. Tapi ia bisa
membedakan mana memar karena tersungkur dan mana memar karena dipukul.
Diobatinya memar pada wajah mak.
Mak
baru akan meluruskan kaki, seorang perempuan didampingi dua orang lelaki
berwajah gelap terus mengetuk pintu rumah. Melihat wajah mereka, seakan hendak
menerkam orang. Dede ketakutan. Ia berlindung di belakang tubuh mak nya.
“Kau
kan yang curi gelangku? Aku tengok dengan mata kepala sendiri. Tapi cepat dan
pandai kau menghilang. Mana kau letak gelang tu?” ibu tertangkap basah
dengan foto yang ditunjukkan oleh perempuan itu.
“Aku…terpaksa,”
jawab mak. “Sudah kujual…” mak mengaku. Dede terkejut mendengar pengakuan mak.
Mak menjual gelang curian? Duit itu kah yang mak gunakan untuk pergi beli obat
ayah minggu lalu? Dede lemah menyaksikan
mak dipukuli oleh orang-orang itu. Orang-orang itu juga mengancam akan
memenjarakan mak jika mak tak mengembalikan gelangnya dalam dua hari kedepan.
Azan
magrib berkumandang. Senja yang datang seakan memberi kabar bahwa gelap memang
untuknya. Bukan cahaya bulan bintang apalagi mentari.
Seusai
magrib, Pak Hasan, imam surau datang ke rumah. Ia bertanya mengapa magrib ini
Dede tak ke surau. Tak hanya itu. Kabar lain yang lebih menyesakkan terpaksa ia
dengar.
“Ombak
hari ini membuat kapal yang dibawanya tenggelam. Sebentar lagi jenazahnya akan
dibawa ke sini oleh orang-orang pelabuhan.”
Bisakah
sekali saja Tuhan beri kebahagiaan kepada mak? Bisakah Tuhan sekali saja tolong
De tak berprasangka buruk terhadapMu? Batin
Dede menggigil. Sekalipun ia marah sama ayah, ia tahu mak tetap ingatkan ia tak
boleh jahat kepada ayah. Mak slalu bilang ayah yang sayangkan mereka. Mak tetap
bela ayah. Mak tak rela ia buruk-burukkan ayah. Mak tak ingin ia pergi melaut.
Kapal besar kah, kecil kah. Mak tak pernah setuju.
Mak
pingsan. Buruknya lagi, tak bisa berdiri entah sampai kapan. Mak stroke.
Bicaranya tak jelas. Mulut dan kepalanya susah digerakkan. Hanya sesekali terdengar
kata, “Quran…kotak….”
Sekarang
Dede tak lagi berharap keinginannya menjadi seorang kapten kapal bisa terwujud.
Yang ia harapkan saat ini adalah mak bisa sehat kembali dan mereka hidup bahagia.
Ia juga berharap kelak bisa mewujudkan keinginan mak nya agar menjadi seorang
penghapal al-quran. Ia janji akan selalu berada di dekat mak.
“Fa
inna ma’al – ‘usri yusroo…” suara Dede tertahan.
Mak
menangis. Lalu berkata, “Ko…tak….”
Dede
memastikan benar kata yang diucap mak nya itu adalah kotak. Ia bertanya-tanya
tentang kotak yang disebut mak nya itu. Ia langsung mengingat posisi kotak yang
sempat jatuh ketika membersihkan rumah.
Diambilnya
kotak itu. Ia masih bertanya-tanya, apakah gerangan benda yang disebut-sebut
oleh mak nya itu.
Dibukanya
perlahan. Beberapa lembar foto lama dan lembaran surat. Diamatinya satu per
satu foto yang ada. Mak memang cantik sejak muda. Foto itu memperlihatkan mak bahagia
memeluk seorang lelaki berseragam kapten di sebuah kapal mewah berlatar
belakang Singa muntah dan itu bukan ayahnya. Ada pula foto mak bersama lelaki
yang sama di depan Menara Kembar sembari menggendong seorang bayi kecil. Tertanda
17 Agustus 2010 dan tertulis nama Ade Riski Pratama.
“De?”
Dibacanya
surat demi surat yang ada. Penuh dengan kalimat-kalimat cinta dan sayang.
Betapa lelaki itu pandai menghibur hati mak. Setelah itu, tak ada lagi
kalimat-kalimat menyenangkan. Yang ada hanyalah pertengkaran. Di surat terakhir
yang dibacanya, ia tertegun. Terimakasih sudah menjadi istri yang baik.
Kulepas kau seutuhnya dan jangan cari aku lagi.
Pikiran
Dede pun melayang bersama kenangan mak.
Dilihatnya
mak yang sedang terbaring itu terus menangis.
Tanjungbatu,
17 Juni 2022
Terbit di Majalah Tamadun Kantor Bahasa Kepri Edisi 6 Tahun 2022