Hari itu memang bukanlah hari yang ku persiapkan sebagai hari istimewa. Meski banyak orang bilang, hari yang ku hadapi ini adalah hari spesial dimana dihadapi sekali seumur hidup. Untuk menyambut hari spesial, tentunya harus dengan persiapan yang spesial juga. Maksudnya tentu penampilan spesial. Tapi bagiku jujur biasa saja.
            Tidak seperti kebanyakan orang lainnya yang sibuk memberikan bunga tanda selamat dan bahagia kepada orang lain yang juga mengalami hari bahagia itu. Juga tidak seperti kebanyakan orang yang menerima banyak bunga sebagai ungkapan turut bahagia.  Yah, semua serba biasa saja.
            Hari terakhir rangkaian hari spesial ini, aku lagi-lagi hadir dengan santai dan hadir diakhir waktu. Sekedar untuk berfoto bersama teman-teman di hari wisuda. Yang beda hari terakhir ini adalah aku mendapatkan banyak bunga. Yah, banyak bunga dari orang-orang sekitarku. Bunga itu memang ku peroleh dari orang dekatku. Namun ada juga yang ku dapatkan dari orang yang jauh dariku, orang yang tidak akrab denganku.
            Setelah ku kumpulkan bunga-bunga itu, ternyata banyak juga. Melihat warna-warni indahnya membuat hatiku sungguh bahagia. Aku baru merasakan arti setangkai bunga ini hingga akhirnya menitikkan air mata. Memang ini bunga yang sudah tak asing ku lihat. Tapi karena hari dan momennya yang mungkin tepat membuat bunga-bunga ini menjadi spesial. Ada rasa bahagia luar biasa manakala diberikan bunga ini dan mendapatkan ucapan selamat dan sukses. Aku baru menyadari lebih jauh tentang keterikatan hati.
            Memang tidak harus senantiasa bersama. Juga tidak karena pertemuan yang sudah lama. Benar kata Kahlil Gibran, rasa yang ku rasakan kini adalah karena akar perasaan yang dalam. Keterikatan dalam ukhuwah islamiyah yang kemudian melahirkan cinta yang dahsyat kepada orang-orang yang saling mencintai karena Allah SWT. Luar biasa setangkai bunga dapat meluluhkan hatiku yang keukeh untuk berpagar. Agak lebay memang tapi itulah maksudku. Artikan sendiri. Thanks to setangkai bunga

ARTI SETANGKAI BUNGA

by on Oktober 11, 2012
            Hari itu memang bukanlah hari yang ku persiapkan sebagai hari istimewa. Meski banyak orang bilang, hari yang ku hadapi ini...
Kau tahu, Cinta?
Sejak kau katakan kau menyukai mawar segar,
Aku berusaha untuk menyukai mawar juga
Kau tahu, ternyata merawatnya tak segampang yang ku perkirakan
Kau tahu, cinta?
Sejak kau katakan kau menyukai embun,
Aku senantiasa menanti embun agar aku tahu rasanya sejuknya embun
Dan kau tahu cinta?
Sejak kau katakan kau begitu tentram mendengar nyanyian burung ketika keluar dari sangkarnya,
Aku pun terus mengikuti perkembangan nyanyiannya
Ternyata kau benar, cinta!
Semua yang kau sukai kini aku pun menyukainya
Istimewanya lagi,
Aku dapat menghadirkannya sekaligus agar kau dapat merasakannya dalam waktu yang bersamaan
Memandangi mawar-mawar segar yang ditetesi embun
seiring nyanyian syahdu burung-burung
sungguh menentramkan, cinta!
berharap kita dapat menghirup nafas kehidupan bersama-sama
karena pagi ini untukmu, cinta!

PAGI UNTUKMU CINTA

by on September 23, 2012
Kau tahu, Cinta? Sejak kau katakan kau menyukai mawar segar, Aku berusaha untuk menyukai mawar juga Kau tahu, ternyata merawatnya t...

Di perbatasan senja aku mulai bingung
Benar tidaknya hadirku
Selama ini bumi kering kerontang
Masyarakatnya cukup menderita
Banyak makhluk yang mulai kepanasan
Sementara itu masih saja ada yang mendurhakai alam

Itulah ciri-ciri kufur nikmat
Begini salah begitu salah

Coba sejenak rasakan kehadiran rahmat dengan syukur
Tanpa peluh dan kesah
Maka akan kau dengar
Nyanyian hujan yang syahdu
Makhluk langit akan menari-nari
Makhluk bumi pun akan bahagia

NYANYIAN HUJAN

by on September 15, 2012
Di perbatasan senja aku mulai bingung Benar tidaknya hadirku Selama ini bumi kering kerontang Masyarakatnya cukup menderita ...
Biarkan angin yang mengatakan pada malam
Betapa galau dan resahnya hati ini

            Dan menghentikan gerakan tangannya, kemudian berpikir sejenak. Sesekali ia menundukkan kepalanya. Tak lama kembali meluruskan kepalanya. Berulang kali ia lakukan. Ada hal yang tengah mengganjal pikirannya. Kemudian Dan mengalihkan pandangannya ke sudut kamarnya.
            Di kamar berukuran 2 x 3 meter itulah biasanya Dan bercengkerama dengan tumpukan gelas dan botol bekas air mineral yang ia kumpulkan dengan cara memungut di jalanan atau di beberapa warung di pinggir jalan, atau utamanya dari sampah kegiatan mahasiswa. Gelas dan botol bekas tersebut selanjutnya ia daur ulang menjadi beberapa produk yang bisa dipakai dan menarik seperti lampion, tempat tissue, tudung saji, bunga dan lain-lain. Hasil yang Dan peroleh dari daur ulang itu lah yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, beberapa hasil digunakan untuk membiayai kuliahnya saat ini.
            Tapi tidak dengan kali ini. Dan sedang tidak ingin mengerjakan itu semua. Pikirannya suntuk. Tugas akhir skripsinya masih menggantung lantaran dosennya sedang tidak ada di dalam negeri. Sementara itu, Dan harus segera menyelesaikannya, mengusahakan untuk ikut ujian sarjana paling lambat akhir bulan ini. Jika akhir bulan ini Dan tidak bisa ikut ujian, maka ia harus memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang kuliah semester ini. Padahal harapan hati tak hanya itu, berkumpul bersama ayah dan ibu di bulan Ramadhan tahun ini adalah hal yang telah dihayal-hayalkannya seminggu belakangan.
            Ada buliran hangat yang ternyata telah mengalir di ujung mata pemuda sederhana itu.       Tangannya terus menengadah mengharap belas kasih sang maha pengasih. Tak seperti yang tampak dari luar, seorang lelaki bisa juga rapuh dan menangis tatkala menghadap sang pencipta dan merasakan keriduan yang mendalam pada kedua orang tua.
            “Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?” kata Dan dalam hati.
“Aku merindukan kalian. Ya Rabb lindungilah mereka, berikan kesehatan kepada mereka dan berikan kesempatan padaku agar tahun ini bisa bertemu dengan Ayah dan Ibu.”
*
            Bulan telah dijemput pagi dan matahari menyinari kamar Dan. Ia bersiap-siap untuk berangkat dari kostnya. Tujuan utamanya adalah mengantarkan pesanan daur ulang ke toko Wak Aji yang seharusnya dia antar tiga hari yang lalu. Setelah itu rencananya akan ke kampus untuk mengintai keberadaan pembimbingnya.
            Baru saja Dan mengunci pintu kostnya dari luar, sebuah panggilan masuk yang berasal dari rumah.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumussalam, Nak.” Terdengar suara parau ibu. Hal itu membuat Dan mulai cemas.
            “Sehat, Buk?” tanya Dan sebenarnya tak ingin berbasa-basi.
            “Yah, seperti yang Dan dengar. Suara ibu memang sedikir serak karena beberapa malam ini menjaga Bapak.”
            “Memangnya ada apa dengan Bapak, Buk?”
            Ibunya diam beberapa saat. Seperti hendak berkata tapi terbata.
            “Buk!”
            “Bapakmu kemarin panas tinggi dan sudah dua hari ini tidak bisa bergerak.” Penjelasan singkat ibu sudah bisa Dan tangkap. Bapak terkena stroke dan ibu beberapa malam ini pastilah menangis.
            “Sekarang bagaimana kondisi Bapak, Buk?”
            “Sudah dibawa pulang tapi yah begitu lah. Bapakmu hanya terbaring di atas tempat tidur. Ibu tidak bisa kemana-mana.” Kalimat ibu yang barusan pun dapat Dan pahami bahwa ibu tidak dapat berjualan keliling desa atau di pasar karena mengurusi bapak.
            “Kak Rati dan suaminya dimana, Buk?”
            “Kakakmu sekarang sedang berusaha mencari kerja. Katanya ada lowongan jaga toko pakaian.”
            “Mas Adit, Buk?
            “Kakakmu kan belum jadi menikah lantaran bapak keburu sakit sebelum hari pernikahannya. Jadi, Nak Adit pun mengundur pernikahan mereka. Kakakmu yang memintanya dengan alasan agar dapat merawat Bapak.”
            Telepon dari ibu semakin menggerakkan hati Dan untuk segera menyelesaikan studinya dan kembali ke kampung halaman. Setidaknya, kehadiran Dan disana memberikan semangat hidup buat bapak dan biarlah Dan yang kerja. Wajah bapak membayangi hari-hari demi hari Dan.
*
            Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Meski molor dari target rencana. Bulan ramadhan ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Dan untuk segera menyelesaikan semua urusannya di kota ini. Bismillah….
            “Bagaimana keuntungan yang diperoleh masyarakat dari penerapan pengolahan sampah menjadi bahan daur ulang sebagai produk yang menarik?” seorang penguji bertanya pada Dan.
            Dan mencoba menjawabnya dengan lugas dan santai karena sehari-harinya ia sudah sangat akrab dengan yang namanya sampah terutama sampah plastik dari jenis gelas dan botol bekas. Disamping menyampaikan keunggulan dari produk daur ulang yang menarik tersebut, Dan juga menjelaskan keunggulan dari sifat-sifat yang dimiliki dari bahan daur ulang tersebut.
            Ada sedikit pertentangan antara dosen penguji karena Dan salah mengucapkan nama latin dari sampah yang digunakannya dan sifat kimianya. Tapi tak lama karena tertutupi dengan hasil yang menarik dan menjual yang ia bawa. Patokan harganya saja kini bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
            “Setidaknya ini sebagai salah satu usaha kecil pribadi yang harapannya dapat menambah pemasukan keluarga dan yang terpenting adalah barang-barang yang tidak mudah terurai yang apabila dibakar akan menyebabkan banyak kerugian, kini bisa disulap menjadi berbagai macam hiasan sesuai dengan keinginan kita dan tetap memperhatikan sifat-sifat dari benda tersebut.”
            Sidang yang luar biasa istimewa baginya. Allah membukakan pintu kebahagiaan bagi hambanya yang sabar. Para dosen memberikan selamat kepada Dan atas prestasinya sebagai mahasiswa biasa yang luar biasa. Produk baru yang dibuatnya itu ia hadiahkan kepada dosen-dosennya.
            Pasca yudisium, Dan langsung menuju ke kampung halamannya. Ia tidak peduli dengan prosesi wisudanya. Yang terpenting ia telah resmi menjadi sarjana.
*
            “Dan, kamu sudah pulang, Nak?” haru biru suasana rumah. Tidak seperti dulu yang ketika Dan baru pulang dari sekolah saja bapak sudah menyambutnya dengan bangga. Bapak akan menepuk bahunya dan kemudian memeluk erat dirinya. Hari ini tidak. Jangankan untuk menepuk bahu atau memeluk dirinya, menggerakkan jari-jarinya saja seperti tampak berat sekali.
            Belum lagi kalau lebaran tiba, sewaktu kecil bapak datang membawa sebuah senapan untuk Dan. Dan dengan bangga menggunakannya dan bermain tembak-tembakan dengan bapak. Terkadang bapak akan menggendong Dan jika Dan tengah lelah berjalan atau sekedar numpang memancing di empang tetangga.
Dan mengenggam erat tangan bapaknya. Begitupun tangan ibunya. Dia cium tangan kedua orang tuanya.
“Bagaimana kuliahmu, Nak? tanya ibu.
“Alhamdulillah Buk, Pak, Dan kini sudah sarjana. Ini buktinya. Dan menunjukkan sebuah sertifikat sarjananya.” Dan menunjukkan dengan bangga. Tapi bapak dan ibu hanya menanggapinya datar.
“Apa rencanamu selanjutnya? Apakah nanti kamu akan kembali ke kota?” seperti ada gurat ketakutan akan kehilangan Dan.
“Insyaallah Dan akan coba melamar kerja di kecamatan Buk, Pak. Disamping itu, Dan tetap akan melanjutkan usaha daur ulang yang selama ini banyak membantu Dan.
“Alhamdulillah. Itu doa ibu dan bapak setiap teringat kamu, Nak. Kembalinya kamu ke desa ini akan membawa perubahan dan kemajuan bagi semua.” Nampak keceriaan di wajah ibu dan bapak. Semoga bapak cepat sembuh.
“Ramadhan, apakah kamu masih ingat dengan mbak Suzi anaknya Pak Anto?” tanya ibu dengan wajah yang membuat Dan curiga.
“Dia sudah menikah dengan seorang karyawan di PT.SAWIT DODOS dan juga sudah melahirkan. Anaknya dinamakan RAMADHAN, biar sepintar dan serajin kamu. Tentunya semulia bulan yang mulia ini.

DAN YA RAMADHAN

by on September 13, 2012
Biarkan angin yang mengatakan pada malam Betapa galau dan resahnya hati ini             Dan menghentikan gerakan tangannya, kemudia...