Ku lihat tanahmu subur
Ini bila ku bandingkan dengan di sini
Cahaya mentari memberikan harapan demi harapan baru
Padahal kebangsaan kita sama
Indonesia
Sejenak ku pikirkan tentang langkahku ini
Aku seperti mengagak-agak maju mundur
Aku sadar itu,
Tetap waspada pada jurang kesia-siaan
Ku ingat lagi amanah negeri,
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Lalu apalagi?
Tak ada yang harus ku khawatirkan
Karena peluang tidak akan pernah datang pada orang-orang yang tidak siap
Dan aku,
Ada pada fase itu
Ku bayangkan wajahmu
Menengadah pada merah-putih
Di hadapanmu aku berdiri
Tersenyum bangga padamu
Dan tak lama kemudian, kau katakan
“Terima kasih Ibu Guru”
Cukup, itu lebih dari cukup
Untukku yang seorang muda,
Yang tengah menunaikan janji mengabdi untuk bangsa

(Pekanbaru, 01 September 2013)


Mendengar kata Papua hari itu benar-benar membuat aku ragu untuk mengabdi disini. Apalagi lanny Jaya. Nama yang belum pernah ku kenal. Lagian tidak ada di peta Papua. Maklum, ini daerah pemekaran.
Banyak berita-berita di televisi menceritakan tentang kekejaman dan kekerasan yang ada di Papua. Hal itulah yang membuatku semakin takut untuk datang kemari. Tapi setibanya di Lanny Jaya, suasana hatiku tidak setakut waktu masih berada di Riau. Tentunya karena sambutan Pemerintah Kabupaten. Apalagi melihat antusias masyarakat terhadap guru. Waktu disodorkan film Di Timur Matahari, aku sudah bisa menerka bahwa daerah sasaranku memang daerah yang ada di film itu. Keadaan yang ada memang keadaan nyata. Aku harus siap dengan itu semua.
Perjalanan menuju Lanny Jaya cukup melelahkan. Tapi untungnya ada si kamera. Jadi bisa jeprat-jepret deh dimanapun. Kalau berangkat dari tempatku, tiga kali naik pesawat. Rutenya Bandara Sultan Syarif Qasim (Pekanbaru-Riau) menuju Soekarno Hatta (Jakarta) selama 1,5 jam. Berangkat jam 20.30 Wib dan tiba sekitar 21.30. persiapan turun dari pesawat hingga transit tidak memakan waktu yang lama. Langsung saja Karen hari sudah malam dan penerbangan lanjutan adalah penerbangan terakhir menuju Papua.
Waktu masuk ke dalam pesawat menuju Papua, suasana langsung berubah. Kalau sebelumnya pesawat tercium lebih alami, palingan juga bau keringat penumpang. Kalau di dalam pesawat menuju Papua, suasana lebih menyeramkan. Orang-orang yang ada di dalamnya kulitnya lebih gelap. Rambutnya agak-agak keriting. Baunya, bau apek alias seperti apa ya…pokoknya bau-bau orang timur gitu deh. Bahasanya lagi lebih keras.
Sempat aku merasa takut tapi berhubung sudha lelah, aku gak ambil pusing. Langsung tidur saja. Eh, pas terbangun untuk subuh sekitar jam 3, sudah agak terang. Baru beberapa jam rasanya duduk di dalam pesawat sudah pagi. Yah, namanya juga selisih waktunya 2 jam.  Jam 4 WIT sudah terang dan katanya sebentar lagi tiba di Bandara Sentani – Jayapura.
Bandara Sentani tidak begitu besar. Banyak orang ngantri ngambil bagasi.  Kami pun cepat-cepat mengambil bagasi karena pesawat lanjutan menuju Wamena tak lama lagi. Bagasi ke Wamena cuman bisa 15 kg. jadilah aku bongkar-bongkar barang di Sentani. Eh, pesawat ternyata di Lay. Malah katanya keberangkatan hari ini ditiadakan karena pilot sakit. Sempat bingung. Kalau capek, capek sekalian sampai tujuan. Akhirnya semua terlantar dan tiduran di lantai luar bandara. Orang-orang lalu lalang membeli tiket da nada juga yang protes karena keterlambatan penerbangan hari itu.
Entah bagaimana, akhirnya berangkat juga jam 15.00 WIT. Itu pun nunggu dan menunggu. Eh, pesawatnya kecil. Mana tidak ada nomor kursi. Berebutan gitu. Ini kali pertama naik pesawat amburadul sistemnya. Bodoh amat yang penting bisa duduk.
Secara umum, kita semua papua adalah daerah mayoritas Non muslim. Bagaimana aku yang seorang muslimah akan hidup disana? Itulah yang menjadi salah satu kekhawatiran terbesarku. Belum lagi jilbabku yang besar begini. Melihat orang dengan kulit sawo matang sepertiku saja mungkin sudah aneh.

Papua euy

by on Desember 16, 2013
Mendengar kata Papua hari itu benar-benar membuat aku ragu untuk mengabdi disini. Apalagi lanny Jaya. Nama yang belum pernah ku kenal. ...


“Selamat pagi!”
“Selamat Pagi, anak-anak Poga semangat!”
Yang ku rindukan akhirnya bisa bertemu kembali. Anak-anak Poga yang lucu, kadang menyebalkan dan yang jelas sangat ku sayangi.
Awal datang kesini aku sempat khawatir karena banyak sekali perbedaan yang mencolok antara budaya disini dengan budayaku sehari-hari. Terlebih bahasa yang tak ku mengerti. Tapi saat ku ketahui kondisi disini, aku bersemangat untuk menjadi seorang guru yang bisa diteladani dan memberikan inspirasi untuk masyarakat sekitar terutama anak-anak didik. Berharap target yang direncanakan bisa selesai dalam deadline yang diberikan. Anak-anak Poga bisa baca.
“Seperti biasa, Set.” Aku memanggil seorang anakku. Dia pun maju ke depan kelas dan langsung mengajak teman-temannya untuk berdoa. Set sekarang sudah lebih percaya diri. Waktu pertama kali aku masuk di kelas, memanggil satu per satu anak. Mereka semua malu-malu dan enggan mengeluarkan suara. Termasuk ketika Set sudah diangkat menjadi ketua kelas. Hampir sebulan aku mengajarinya cara memimpin kawan-kawan untuk berdoa. Tapi Alhamdulillah, hari ini Set sudah lebih percaya diri.
Walau kepercayaan yang berbeda, aku tetap berusaha mengajarkan pada anak-anak untuk berdoa sebelum dan sesudah belajar. Biasanya aku akan mengajak anak-anak untuk bernyanyi sebelum belajar. Pada hakikatnya, meskipun mereka terbiasa dengan kehidupan kerasnya, mereka tetap anak-anak kecil, anak kelas dua sekolah dasar. Mereka akan senang bila bernyanyi. Lagu favorit mereka ternyata lagu umum.
Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan
Siapa rajin ke sekolah cari ilmu sampai dapat
Sungguh senang
Amat senang
Bangun-bangun pagi ke sekolah
Kalau biasa kita bilang bangun pagi-pagi ke sekolah, mereka bilang bangun-bangun pagi ke sekolah. Pernah ku perbaiki kata-katanya namun mereka kembali lagi ke kata yang biasa mereka ucapkan. Tak mengapalah. Yang penting semangat ke sekolah tak berkurang. Setelah itu mereka akan menyayikan lagu-lagu gereja. Ku batasi hanya satu saja, dan waktu pulang tiba juga begitu. Terbukti anak-anak ini punya suara yang bagus.
Setelah menyanyi aku akan bertanya kepada anak-anak,
“Sekarang bisa belajar?”
“Bisa…” Mereka akan teriak kencang. “Belajar….”
Kalau sudah begitu rasanya indah. Pagi yang cerah dimulai dengan semangat yang luar biasa. Aku pun memulai rencana demi rencana pembelajaran hari ini. Akhir tahun ini mereka harus sudah bisa baca lancar semua. Ini adalah awal yang bagus setelah kelas yang tadinya ramai dipisah menjadi dua kelas. Kalau begini, mudah-mudahan aku bisa memperhatikan satu per satu anak-anak dengan baik.
Tadinya aku cukup kewalahan mengatasi sekitar tujuh puluh anak kelas dua dalam satu kelas.


Energiku habis dan pelajaran tak maksimal. Akhirnya diambil kesepakatan kelompok bahwa kelas memang harus dipisah. Toh, sekarang kepala sekolah dan istrinya sudah menetap disini. Guru kelas akan terpenuhi.
Kalau mengingat sebelumnya, kasihan sekali nasib anak-anak disini. Sekolah tak berjalan. Guru hanya kepala sekolah saja. Anak ramai. Tidak tertangani. Belum lagi kepala sekolah yang sekali turun ke Wamena bisa sampai satu-dua bulan. Otomatis anak-anak akan libur dan libur terus. Kapan mereka akan belajar. Miinimal bisa baca saja. Sejak hari pertama kami datang, itulah hari pertama semester baru yang sudah berjalan tiga bulan. Anak-anak sama sekali tidak mengenal huruf. Baik kelas rendah maupun kelas tinggi.
B-a dibaca Ba
T-u dibaca Tu
Bacanya Batu
Sekarang anak-anak sudah bisa membaca kata dengan empat huruf. Ada juga beberapa yang sudah bisa membaca kata dengan huruf lebih dari lima. Ada juga yang mulai lancer membaca kalimat. Senangnya. Ibarat buah, kita beli bibitnya, kita persiapkan tanah, pupuk dan wadahnya, kemudian kita tanam, setiap hari disiram, dirawat dengan baik hingga berbunga dan berbuah. Lantas buahnya ranum dan kita bisa menikmatinya. Apalagi kalau buahnya banyak,bisa berbagi dengan tetangga. Hm…itulah yang aku rasakan. Beberapa anak lagi yang harus ku pastikan bisa mengeja dan membaca kata. Setelah semua target baca tercapai, barulah beranjak ke menghitung dan ilmu-ilmu lainnya.
“Ibu guru, anak-anak main ini.”
Set mengadu padaku. Palingan aku bilang ‘Baca’. Dulu, waktu kelas ramai, emosiku mudah sekali terpancing. Hampir tiap detik memukuli anak. Sebenarnya tak tega. Tapi taka da hukuman yang lebh pantas dari pada memukul. Dan sudah menjadi kebiasaan disini, malah guru-guru dipersilahkan untuk memukul anak bila melawan.
Sebenarnya memang sangat tidak baik. Tapi aku sendiri juga bingung harus melakukan apa pada mereka. Setelah kelas dipisah, aku mulai berpikir jernih dan sistematis. Anak-anak tak boleh sering ku pukul. Aku harus memerlakukan mereka sebagaimana anak kecil lainnya di kotaku. Mereka juga anak-anak. Hanya sekali bila diperlukan dan sangat keterlaluan aku akan memukul mereka.
Mereka belajar baca padaku.
Aku juga belajar banyak dari mereka. Belajar kerja keras membantu orang tua sejak kecil, belajar semangat dari kekurangan hidup, tentunya belajar bahasa pada mereka. Paling enggak ada bahasa daerah ini yang bisa ku pegang walau hanya beberapa kalimat. Sekarang aku sering mengatakan kepada mereka, “An Poga mendeng sayang eginakera (Aku sayang anak-anak Poga). Mereka pun tersenyum-senyum lantas mengatakan “Pas.” Dasar anak-anak Poga.
C-U…Cu
C-I…Ci
Susi
Aku langsung teriak. Ulang….
Anak-anak langsung mengulanginya. Ingus yang tadinya Hampir jatuh, ditarik masuk kembali.
Ampun. Aku mulai emosi jika sudah berulang kali dieja dan dibenarkan hurufnya masih juga tidak bisa mengikuti apa yang ku katakan. Ini namanya anak ngeyel.
Masalah disini begitu, susah membedakan huruf c-s-t dan j-y. bahkan orang-orang tua dan orang-orang yang sekolah pun masih susah. Mungkin sudah terbiasa dan tidak biasa untuk diperbaiki.
t-u-l-i-s
Sulis

Perjuanganku menjadi seorang guru muda di sm3t di Papua tepatnya kabupaten Lanny Jaya. Lebih tepatnya lagi di kampung Gipura, distrik Poga. Perjuangan menjadi guru di daerah terpencil demi masa depan yang lebih cerah. Masa kontrak ini hanya satu tahun dan setelah itu kami akan kembali ke tempat asal kami masing-masing untuk kembali kuliah profesi.
Sungguh aku sudah terpaut hati pada anak-anak poga ini. Aku sayang mereka. Aku baru tahu betapa berartinya seorang guru disini. Mungkin kalau di kampungku aku takkan merasakan pentingnya menjadi seorang guru untuk masa depan bangsa ini. Mereka datang ke sekolah dari segala arah. Entah dari balik gunung yang mana. Yang pasti mereka datang dari banyak kampung. Sekitar lebih dari delapan kampung. Mereka belum bisa baca, tulis dan hitung. Kami ajar mereka hal itu. Mereka bawa sayur dan kayu bakar untuk kami. Cukuplah gunung-gunung dan kabut sekitar menjadi saksi perjuangan kami.
Aku berjuang untuk mengajar mereka dan mereka berjuang untuk belajar ke sekolah

Mengabdi di Poga

by on Desember 04, 2013
Perjuanganku menjadi seorang guru muda di sm3t di Papua tepatnya kabupaten Lanny Jaya. Lebih tepatnya lagi di kampung Gipura, distrik Poga...



Yah, beginilah Poga, seperti bagian Lanny Jaya lainnya. Tiada kata tidak dingin. Wajar saja Lanny Jaya mendapat julukan Swiss-nya Indonesia. Poga adalah salah satu daerah di kabupaten Lanny Jaya yang sebenarnya secara tata kota sangat tidak rapi. Jauh dari pusat ibu kota yaitu Tiom. Poga diapit empat kabupaten yaitu Lanny Jaya, Memberamo tengah, Jayawijaya dan Tolikara. Hanya butuh sabar untuk bisa menjalani kehidupan disini. Itulah yang tengah ku lakukan. Berusaha untuk sabar dalam menghadapi hari demi hari yang masih lama berakhirnya dan tetap berusaha semangat dalam menjalankan tugas Negara ini. Tugas mulia menjadi seorang guru di daerah terpencil Negara kesatuan Republik Indonesia.
Tadi pagi bingung mau mengajar dari mana. Akhirnya ku putuskan untuk menggulang perbaikan huruf b, d, p. tapi ku awali dengan sesuatu yang agak beda agar anak-anak tidak bosan. Setiap hari hanya belajar membaca saja. Ku tunjukkan pada mereka sebuah peta papua. Ku ceritakan sedikit tentang papua dan Indonesia. Juga ku dengarkan lagu dari sabang sampai merauke. Sembari mereka mencari nama daerah yang ku sebut. Ini menjadi salah satu parameter apakah mereka sudah benar bisa membaca dengan baik apakah tidak.  Beberapa anak bisa mencari daerah yang ku ucapkan. Tapi yang lainnya masih menunjuk sembarangan.
Tiba-tiba sebuah helikopter lewat di atas langit poga yang cerah. Padahal tadi malam habis diguyur hujan lebat dan dinginnya? Jangan tanya betapa dinginnya hingga pagi tadi. Bahkan kami berpikiran sekolah pagi ini akan libur karena cuaca basah dan dingin. Kenyataannya memang begitu. Hanya beberapa anak pagi hingga jam sembilan satu per satu datang terlambat.
Kembali ke cerita pesawat. Dari pada mereka tidak konsen mendengar ceritaku, lebih baik ku ajak mereka melihat helikopter dari dalam kelas sembari mengajak mereka berteriak, “Pesawat….anak-anak Poga disini.” Mereka begitu bersemangat. Setelah helikopter lewat, aku kembali bercerita sedikit tentang Papua dan Indonesia.
Tak lupa ku masukkan motivasi untuk rajin belajar agar menjadi orang sukses. Mereka terdiam dan mungkin tengah berpikir. Setelah itu baru ku lanjutkan belajar membaca.

Poga

by on Desember 04, 2013
Yah, beginilah Poga, seperti bagian Lanny Jaya lainnya. Tiada kata tidak dingin. Wajar saja Lanny Jaya mendapat julukan Swis...