Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga anaknya. Apalagi anak perempuan. Pantang. Terlarang. Usia labil untuk menentukan arah masa depan. Begitu pula dengan persahabatan kami.
“Aku akan merantau, Kawan!”
Percakapan kami pagi itu terlampau berat. Masa depan memang bukanlah sesuatu yang pasti. Tapi adalah sesuatu yang hanya bisa direncanakan dengan sebaik mungkin dan kemudian menyerahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Aku membersihkan dedaunan kering yang jatuh dan jatuh lagi sekalipun aku sudah membersihkannya.
“Hashi!” Gadis kecil menyadarkanku bahwa ia sedari tadi ku abaikan karena mendengar curhat kawanku itu. Aku segera menujunya. Ku perbaiki masker di mulutnya. Kondisi alam masih kacau. Sudah dua minggu ini aktivitas di luar rumah banyak yang terganggu.
“Aku kasihan pada mamak dan ayah. Terlampau berat beban mereka jika aku masih disini. Anak perempuan satu-satunya, masih perawan. Di samping itu, aku ini sarjana dan masih menganggur.” Dia terdiam. Aku masih membersihkan cairan yang terus keluar dari hidung gadis kecil. “Aku harus merantau!”
Ku tatap lamat-lamat wajahnya yang tampak sedih. Jelas, aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Beban double. Dilema yang tengah melanda banyak sarjana hari ini. Susahnya mencari pekerjaan dan juga jodoh yang tak kunjung datang. Dia pergi meninggalkanku dengan uraian air mata.
“Mak, Kenapa Acik menangis?”  Gadis kecilku seakan ingin mengetahui.
*
Pada akhirnya dia meninggalkan kampung halamannya ini. Sebuah kota kecil yang tengah membangun kepercayaan diri untuk dapat berkembang dan bersaing dengan kota-kota kecil lainnya untuk mendapat perhatian pemerintah daerah tingkat I. Jika dia bertahan sebentar saja lagi, mungkin akan ada peluang baginya untuk mengaplikasikan ilmunya. Seperti anak-anak kampung ini.
“Itulah, Nak! Mamak tak tahu harus bagaimana terhadapnya. Kamu kan tahu kalau dia itu keras. Kamu sahabatnya sejak kecil.” Ku pandangi wajah mamak. Tentulah berjuta sedih ditinggal anak semata wayangnya. Dalam banyak hal, mungkin mamak akan memikirkan apa dikata orang. Anak semata wayang. Perawan. Sarjana. Penggangguran. Semua hal menjadi semakin diperjelas. Kabar apapun akan tersebar cepat seperti angin.
“Mamak tak menuntut apa-apa dari dia. Sebagai orang tua, adalah kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Anak tidak perlu repot ikut memikirkan tangung jawab orang tuanya. Cukup anak itu melakukan kewajibannya sebagai anak dan patuh kepada kedua orang tuanya. Tapi dia terlalu memikirkan lebih jauh.” Mamak menghela nafas. Kemudian membuang pandangan keluar.
Ayah, di luar sana tampak menyibukkan diri. Tubuhnya yang ringkih sudah cukup membuatku menangis dalam batin kala melihatnya. Lelaki bijaksana dan alim. Rambutnya sudah putih semua. Padahal jika dilihat dari usianya, masih belum terlalu tua. Namun, karena efek kerja keras semasa muda yang membuat tubuhnya sudah tak sewajar usianya.
Apalagi yang dilakukan orang tua itu di rumah selain memelihara lingkungan disamping kegiatan ibadah. Bukanlah harta dunia lagi yang dicari. Sederhana saja. Tetap berkumpul bersama keluarga kecilnya dan bahagia bersama sampai nanti bertemu surga.
“Kamu ngawur. Aku kan beda sama kamu. Lha, kamu wajar saja begitu. Orang tuaku sudah banyak menanggung derita ditambah biaya kuliahku yang banyak. Aku terlalu menyusahkan mereka. Lebih baik aku merantau dulu untuk beberapa tahun. Setelah modal terkumpul, aku akan kembali lagi ke kampung halamanku ini untuk membangun kampung ini. Pun, jika berkumpul bersama orang tua namun tak punya uang untuk apa?” Aku tersentak akan percakapan kami waktu itu. Dia memang keras. Itu karena perasaan bersalahnya yang berlebihan. Mungkin.
Gadis kecilku meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sepertinya ia mulai mengantuk. Ku usap-usap kepalanya. Ku belai wajahnya.
“Berikan yang terbaik untuk anakmu ini. Jangan terlalu dimanja, tapi juga jangan terlalu keras. Sebagai orang tua, kewajiban kitalah untuk menafkahi hidupnya hingga dia lepas tanggungan dari kita.” Mamak memberikan petuah padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Jika suatu hari nanti kita tak bertemu lagi, tolong jaga sahabatmu! Kalian adalah anak mamak dan ayah yang paling berharga. Jaga baik juga cucu mamak ini ya!” Kata perempuan tua itu sambil tersenyum.
*
Air Molek, 14 September 2015
Untuk Anak Mamak Tersayang
Sayangku, kau anak mamak dan ayah satu-satunya. Jika banyakpun harta yang kita miliki melebihi sepetak tanah dan sebuah gubuk kecil ini harus digadaikan untuk menebusmu, maka kami tak kan pernah ingkar janji kami pada Tuhan. Merawat kau, menjaga kau dan membesarkan kau. Sebaik-baik pengasuhan.
Mamak dan ayah tahu, bahwa kau adalah anak yang baik. Oleh karena itu, kau tak ingin lebih memberatkan beban mamak dan ayahmu ini. Namun, tidaklah seperti apa yang kamu pikirkan sesungguhnya. Keberadaan kau di samping mamak dan ayah adalah lebih baik daripada kau harus pergi merantau.
Perantauan itu keras, Nak. Mamak dan ayah tak kuasa dan tak tahan jika kau harus sakit dan menderita dalam perjuangan. Maaf, jika kami justru membebani pikiranmu. Tak mengapa bagi kami dengan apapun keadaanmu. Begitupun pasangan hidup. Kau sudah tahu bahwa bahkan mamak sendiri adalah gadis yang menikah dalam usia yang tak lagi muda dengan ayahmu. Bahkan mamak jauh lebih tua dari ayahmu. Namun, tentang rezki, jodoh dan juga maut tlah tercatat dalam lauh mahfuz. Tak perlu kau khawatir dan menanggapi omongan orang.
Mamak tlah banyak tinggalkan cerita. Nanti kau tanyakan saja sendiri. Kau harus lebih dewasa ya, Nak! Sepeninggal mamak dan ayah, kau akan jauh lebih dewasa. Berbuatlah yang terbaik. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu! Mamak dan ayah slalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Adapun peninggalan mamak dan ayah hanyalah seperti yang kau ketahui sejak dulu. Gubuk ini dan juga sepetak tanah yang slalu subur. Bisa kau tanami sayur-mayur untuk makanmu sehari-hari.
Salam sayang mamak dan ayah.
            Surat yang mamak dan ayah titipkan padaku waktu itu, tlah dibaca olehnya di tanah perantauan sana. Sederhana. Untung saja, pernah suatu ketika ia mengirimi gadis kecilku sebuah hadiah ulang tahun. Katanya itu adalah hadiah kecil yang ia persiapkan untuk kami. Sementara itu, untuk mamak dan ayahnya sendiri belum sempat ia belikan karena uangnya belum cukup. Nanti, sedikit lagi saja uangnya akan terkumpul. Ia pun akan memberitahuku bahwa paketnya akan sampai ke rumahku.
Setelah itu, aku mempunyai tugas untuk mengantarkannya kepada mamak dan ayah. Memberitahu mereka dan meyakinkan mereka bahwa dia tak pernah lupa pada mereka. Dia hanya butuh waktu sebentar saja untuk merantau. Seperti katanya, mengumpulkan modal. Kemudian kembali ke kampung halaman.
Ini sudah tiga tahun dia pergi. Juga tahun pertama sepeninggalan mamak dan ayah. Rumah mereka tetap saja sejuk dan bersih sekalipun udara luar tetap tidak bersahabat. Bulan-bulan ini musim kemarau. Dimana-mana kau tak kan menjumpai langit biru. Tanah-tanah kering. Dedaunan runtuh. Air kering. Batuk, pilek dan sesak nafas menimpa banyak warga. Penerbangan beberapa hari yang lalu sempat ditutup. Namun, hari ini sepertinya terpaksa harus dibuka. Nyatanya di ada di hadapanku kini.
“Mengapa kau sembunyikan kabar ini dariku? Mengapa tidak segera saja kau kabarkan padaku waktu itu? Apa maksudmu?” Dia berteriak sejadi-jadinya. Ada aliran deras di ujung pelupuk matanya. Seperti waktu itu juga. Waktu dia hendak meninggalkan kampung halamannya ini. Seperti waktu itu dia keras untuk merantau mencari peruntungan di tanah orang.
            “Jangan pernah kau sesali. Takkan pernah daun kering yang jatuh lalu terurai kembali menjadi daun segar di ranting pohonnya. Lihatlah mereka! Agar kau bisa merasakan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.” Dia pun kini hanya tertunduk di atas gundukan tanah mamak dan ayah.
 
Dimuat di Xpressi Riau Pos, 07 Febuari 2016

UNTUK SEORANG TEMAN

by on Februari 29, 2016
 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua h...


Pagi tadi hujan deras turun di bumi lancang kuning. Alhamdulillah, meski gak shalat dan bangun kesiangan, disambut hujan itu rasanya sesuatu. Rahmat allah luar biasa ya. Rencananya pergi ke Kampar bareng Rika karena ada agenda motivasi akbar. Sempat ragu, namun luruskan niat kembali dalam rangka saling menasehati dalam kebaikan. Awalnya mau berangkat jam 06.00 wib namun diundur jam 07.10 wib. Itu pun akhirnya molor. Jam 07.30 wib akhirnya resmi berangkat.

Sesampainya di tempat tujuan, masih sepi. Kamilah penghuni pertama masjid itu disamping orang yang menyampaikan pengumuman. Kami pun menunggu. Lama sekali. Satu per satu orang berdatangan. Kebanyakan adalah ibu-ibu. Padahal ya katanya siswa dan mahasiswa di sekitaran kampung itu. But, begitulah dakwah. Harus sabar. Aku coba lapangkan dada dengan menarik nafas. Berpikir positif dan sesekali bercerita dengan Siska dan Yulisa yang juga ikut dalam tim. Sementara Rika mempersiapkan penampilan.

Rika memintaku untuk membacakan profilnya. Sudah lama aku tak tampil dalam dunia training dan motivasi ini. Agak sedikit takut dan grogi. Lalu kemudian aku berpikir positif. Aku kan seorang guru dan biasanya juga tampil di depan kelas. Spesialnya, aku gak mau jadi guru kayak yang lainnya. Sesekali aku improve ala training dan memberikan ice breaking. Anak-anak jadi senang. Bismillah. Kuterima tawaran Rika dan aku pun maju saat waktunya diberikan kepada kami.

Alhamdulillah ya, tak sedikit pun aku grogi. Lancar. Tenang. Cuman kebiasaan bicara cepatku masih ketara. Ini nih akibat malas ikut kelas public speaking dan olah vokal. Teringat zaman sebelum berangkat ke Papua. Pagi2 ahad udah ngumpul di Mtq buat latihan pernafasan dan suara. Kangen. Paling enggak ini awal yang baru baru buat kembali ke dunia training dan motivasi. Satu lagi, berpikirlah yang positif maka energi positif pula yang akan diberikan. Alhamdulillah banyak-banyak.


Film ini adalah film yang jujur, alami dan berani dalam menunjukkan indahnya islam. Kenapa? Yah, karena ada banyak adegan yang bukan hanya sekedar adegan film semata. Ialah adegan dimana begitulah seharusnya seorang muslim terhadap keislamannya.
Jantungku degdegan manakala masuk ke dalam bioskop. Antara khawatir dan harap-harap cemas. Akankah film ini memiliki ‘ruh’ yang sama dengan novelnya? Akankah film ini benar-benar menunjukkan idealisme sebagaimana ingin penulisnya? Ternyata air mata ini tetap mengalir dari satu adegan ke adegan lainnya. Sekalipun menonton hingga dua kali.
Diawali dengan kisah kedekatan lahir batin antara seorang kakak dengan adiknya. Mas Gagah namanya. Seorang kakak yang sangat bersahabat. Seorang kakak yang sangat diidolakan. Tidak hanya bagi adiknya tapi juga bagi keluarga dan teman-temannya. Tampan, pintar, baik, terkenal, punya banyak teman, dan segala hal baik lainnya ada di dalam diri Mas Gagah. Betapa beruntungnya Gita punya kakak seperti Mas Gagah.
Bagi Gita, tiada waktu yang dilewati tanpa Mas Gagah. Ketika Mas Gagah hendak pergi ke Ternate untuk melakukan penelitian, saat itulah Gita sempat takut dan protes kenapa harus ke Ternate. Ada apa dengan Ternate. Tapi Mas Gagah tetap pergi. Beberapa waktu kemudian, Mas Gagah kembali ke Jakarta dengan tampilan yang berbeda. Suasana berubah. Mas Gagah sekarang menggunakan baju koko dan anehnya ada rambut hitam di bagian dagunya. Apa-apaan ini?
Gita merasa Mas Gagah sangat berubah sejak kembali dari Ternate. Tak ada lagi kebiasaan-kebiasaan yang biasa mereka lakukan. Mas Gagah lebih banyak diam. Lalu membaca buku. Di perjalanan saja Mas Gagah malahan mengaji. Gita menambah kecepatan mobilnya lalu mengerem sembarangan. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk protes kepada Mas Gagah. Tapi Mas Gagah malah mengatakan bahwa itulah yang benar. Kemudian Mas Gagah mengganti dengan nasyid. Gita benar-benar emosi dan tak ingin diantar dan dijemput sekolah oleh Mas Gagah lagi.
Keputusannya sudah bulat. Gita ke sekolah dan pulang juga menggunakan bus. Di bus, Gita dibuat kesal lagi dengan kehadiran Yudi. Lelaki yang berani-beraninya ceramah di dalam bus. Apa-apa yang disampaikan Yudi mirip dengan yang disampaikan Mas Gagah. Isinya ceramah melulu. Pergi bertemu Yudi. Pulang bertemu Yudi. Apa Yudi itu mata-mata yang dikirim Mas Gagah untuk mengawasi Gita? Semuanya membuat Gita semakin kesal. Belum lagi di sekolah. Tika, sahabatnya Gita mengubah tampilannya menjadi lebih baik. Tika kini menggunakan jilbab. Gita heran kenapa belakangan ini Gita dihadapkan dengan orang-orang yang aneh.
Kemarahan Gita pun memuncak saat Mas Gagah memberitahu bahwa uang tabungan mereka yang rencananya akan digunakan untuk backpakeran justru digunakan untuk membangun rumah cinta dan membantu masyarakat setempat. Bersama dengan teman pengajiannya dan digawangi oleh mantan preman yang tobat di dalam film ini, Mas Gagah membuat sebuah perubahan ke arah lebih baik. Mamanya Mas Gagah pun diajak untuk melihat langsung apa yang belakangan ini dilakukan oleh anaknya.
Sementara Gita semakin tidak mengerti dengan keadaan. Ketika pulang ke rumah pun mamanya bicara hidayah. Hatinya masih keras. Di film ini, perasaan penonton seperti diaduk-aduk, turut kesal dan merasakan kehilangan sosok kakak yang dulunya sangat diidolakan. Di sisi lain, penonton justru akan dibuat salut terhadap keteguhan hati Mas Gagah dalam berhijrah. Mas Gagah sesungguhnya tak pernah berubah. Ia tetap Mas Gagah yang seperti dulu. Menyayangi adiknya dengan tulus. Selalu dapat diandalkan. Hanya saja, kini Mas Gagah memegang satu prinsip yang membuatnya semakin mantap. Islam. Kepribadiannya lebih terarah karena islam.
Ia tidak lagi menjadi model. Ia tidak lagi berteman dengan teman-teman yang membawanya kepada hedonis. Ia lebih memilih mengaji dan kegiatan sosial. Terlepas itu semua, Mas Gagah tetap bertutur kata sopan dan santun. (Meleleh air mataku menuliskan kalimat ini).
Terasa sekali perjuangan hijrahnya Mas Gagah, indahnya islam dan kebaikan-kebaikan islam. Aku teringat pada adikku. Aku teringat pada diriku yang belum bisa menjadi kakak yang baik dan memiliki sifat-sifat baik seperti Mas Gagah dan menjadi contoh bagi adiknya.
Satu kalimat sederhana namun sangat menyesak di dalam jiwa.
Kalau kita tidak bisa menerima satu kebaikan yang belum kita pahami,
maka cukuplah kita untuk menghargainya.
Mengalir lagi air mata ini. Kadang-kadang, kita bukannya tak tahu. Tahu. Tapi terlalu bersikeras terhadap diri sendiri mempertahankan emosi sesaat.
Pada adegan tentang Palestina. Luar biasa. Santai tapi tegas. Semua orang harusnya sekarang buka mata dan buka hati terhadap Palestina yang tanpa hitung-hitungan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kita makan empat sehat lima sempurna setiap hari sambil ketawa haha hihi dan nonton tv bersama keluarga. Sementara Palestina?
Oh...Palestina. Ini film Islami bahkan film Indonesia pertama yang kutonton dan dengan mantap memberikan dukungan terhadap Palestina. Bahkan, sebagian dari keuntungan tiket yang didapat akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak di timur dan Palestina. Tersayat hati ini mendengar Palestina.
Satu hal menarik lagi dari film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama yaitu Ketika Mas Gagah Pergi karya Bunda Helvi –Salah satu pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) pada tahun 1997 ini adalah karakter aktor dan aktrisnya yang harus sama dengan karakter yang diciptakan dalam novelnya. Wajar jika penggarapannya memakan waktu yang lama dan banyak production house yang menawarkan kerja sama, namun akhirnya dipilih crowd funding untuk tetap mempertahankan idelalisme penulisnya.
Mas Gagah yang diperankan oleh Hamas Syahid dan Gita yang diperankan oleh Aquino Umar berhasil membawa penonton pada keadaan sebenarnya. Hamas Syahid pas banget jadi Mas Gagah dan Aquino Umar pun dapat banget feelnya jadi Gita. Cocok deh pemerannya. Tokoh Yudi pun mantap diperankan oleh Masaji. Terimakasih untuk akting kerennya sekalipun kalian katanya adalah pendatang baru namun tak ada keraguan akan akting kalian. Banyak artis dan aktor lainnya yang turut serta di dalam film ini. Ada Wulan Guritno, Mathias Muchus, Ali Syakieb, Sule dan lain-lain.
Masyaallah, inilah dakwah islam yang sesungguhnya. Tidak pernah memaksa, tidak pernah menggurui, tidak pernah berlaku keras dan semua yang diajarkan hanyalah kasih sayang. Berhijrahlah menjadi lebih baik! Lalu lihatlah betapa indahnya islam dan betapa maha agungnya alalh sang pencipta dalam membuat skenario hidup manusia.
Salut untuk film ini yang sudah mengobrak-abrik hati aku dan menyadarkanku terus akan keindahan islam. Lalu gelisah manakala membaca profil pribadi aktor dan aktrisnya di internet. Masyaallah, aku juga pasti bisa seperti mereka. Menghapal al-qur’an, menjadi muslimah yang smart, menjadi wirausahwan muda dan hal-hal baik lainnya yang patut ditiru. Sebagaimana ciri pribadi muslim yang dicintai allah. Insyaallah setelah ini aku akan berusaha menjadi kakak yang lebih baik lagi bagi adik semata wayangku dan juga tentunya pribadi yang lebih islami secara keseluruhan. Selamat dan jayalah film islami Indonesia.
Kamu belum nonton? Nonton lagi yuk bareng aku.
Gak sabaran juga nih nunggu kelanjutan filmnya.
#Nonton filmnya, baca novelnya. KMGPthemovie, 

More info :
http://www.kmgpthemovie.com
http://flp.or.id

Kavita Siregar
Penulis adalah anggota FLP Wilayah Riau


Aku (yang pegang tiket, jilbab biru) bareng teman-teman FLP Pekanbaru



Hari masih pagi lagi, adikku menelpon. Dia mengatakan bahwa tadi malam dia tidur cepat. Seusainya tes persiapan di salah satu lembaga toefl di Pekanbaru, ia diguyur hujan ketika hendak pulang hingga akhirnya memutuskan pulang hujan-hujanan.

Lalu aku pun tak sabar menanyak hasilnya. Dia mengatakan bahwa baru saja mendapat sms dari lembaga tersebut yang mengatakan skornya hanya 407. Itu artinya dia belum lulus. Aku baru bangun tidur. Antara bingung dan harus tetap semangat memotivasinya karena ini adalah baru awal. Tes sesungguhnya akan dilaksanakan pada hari sabtu esok. Syarat lulus adalah 450 dan dia harus mendapat skor minimal 550 karena hendak mengejar beasiswa S2 dari lpdp.

“Gapapa, kan tes sesungguhnya hari sabtu. Belajar lagi ya, dek! Tetap semangat!”

Tak ingin panjang lebar. Namun harus selalu berada di sisinya untuk menyemangati. Aku pun cerita sana sini tentang teman-temanku yang bisa lulus hanya satu kali ujian tanpa les. Well, banyakin shalat malam, dhuha, tilawah dan ibadah lainnya, dek. Hanya itu pesanku lagi. Kembalikan pada allah karena telah terbukti pada keadaan yang aku hadapi saat UTN.

Karena puasa dan tidak ada aktifitas lain, aku bingung dan malas ngapa-ngapain. Aku hanya memikirkan bagaimana caranya agar adikku tetap semangat dan tetap optimis dalam meraih cita. Aku terlalu khawatir padanya.

Akhirnya aku pulang ke rumah. Tak terlalu khawatir mukanya bakal berubah karena di telepon terakhir tadi, pembicaraan kami tidak memanas lantas berkelahi. Aku semakin lebih mengalah sekarang. Tak ada untungnya juga membantah dia yang super duper keras kepala.

Dia memintaku masak karena dia udah beli bahan masakan tadi. Sekalian, berhubung aku sedang puasa dan tidak ada lauk untuk makan malam. Sementara aku memasak, ia berpikiran untuk mengemasi kamar satu yang sebelumnya kamar dia dan sempat menjadi gudang dan jalan lewat. Waktu itu aku sudah memintanya agar membersihkan kamar yang kami pakai bersama karena sebentar lagi aku akan keluar dari asrama dan kembali lagi ke rumah. Alhasil, ia pun sibuk membersihkan rumah.

Yah, di sini terkadang aku merasa iba mengapa yang ia cita-citakan belum juga terwujud. Melihat dia sangat detail dalam urusan rumah. Gak ada tandingannya dalam hal urusan tata menata rumah, barang-barang bagus dan murah serta penampilan yang oke punya.

“Sekalian semuanya dibersihkan ya, dek. Aku gak bisa. Kan tahu jangankan membersihkan, kena debunya dikit aja aku bakal flu dan kamu bakal merepet karena bersinku yang tak berhenti.”

Dia pun manut. Dia membersihkan kamarku, kamarnya dan merapikan ruang tamu yang sempat berserakan karena perpindahan. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menghargai satu sama lain. Aku menyayangimu karena allah, adikku. Dalam doaku selalu kupinta yang terbaik bagi hidupmu. Insyaallah akan indah pada waktunya jika allah tlah berkehendak atas apa yang kau inginkan dan itu baik menurut allah.

Tolong doakan adikku juga ya dalam doamu, teman. Jazakumullah khairan katsir.

Kamar bahagia, 2016