Kita adalah waktu yang sangat panjang. Bukan berbilang ratus atau puluhan hari. Lebih dari itu. Bila boleh kutotalkan, lima belas tahun rupanya. Kalau boleh kukalikan lagi, seratus delapan puluh bulan tepatnya. Kalau boleh detil lagi, kurang lebih enam puluh lima ribu tujuh ratusan hari pernah kita lewati. Mulai dari zaman hp monopohonik sampai era smartphone begini, rasanya tak ada kendala dalam sarana komunikasi yang harus kita hadapi. Tapi nyatanya, tidak begitu. Komunikasi itu ternyata bukan soal sarana, tapi soal rasa.
Yah, kenapa harus rasa?
Aku bingung harus memulai dari mana. Takut ini hanya pe’rasa’anku saja. Ingin dimengerti, ingin dimiliki, ingin slalu dibersamai, ingin disukai dan diingini lainnya. Ah, kadang aku pun tak mengerti. Jika saja kubawa slalu Tuhan dalam setiap keinginanku itu, mungkin tidak akan jadi begini. Memberi dan berharap kembali, mendapat sesuatu atas imbalan pemberian.
Perhatian balas perhatian, kasih sayang balas kasih sayang. Cinta balas cinta dan semangat balas semangat. Seperti rumus hukum aksi reaksi. Memaksanya harus mengerti. Nyatanya bertepuk sebelah tangan.
Sahabat, kuingin kau mengerti. Kuingin kau sadari. Sebatas ‘impas’ sajalah sudah cukup. Tapi yang ada aku kelelahan karena terlalu jauh berharap. Hingga kini, bagimu semuanya biasa saja. Sementara itu, aku senantiasa mengelu-elukan rasa yang ada diantara kita. Persahabatan. Yah, persahabatan yang indah sebagaimana yang kita baca dalam serial lima sekawan.
Suatu ketika, pada puncaknya. Aku masih mencoba menerka pe’rasa’anku itu. Benarkah kita adalah sahabat? Rupanya, kita hanya teman. Maaf jika nanti kau membaca tulisanku ini, kau merasa aku sangat keterlaluan. Tapi begitulah pikir dan rasaku. Aku tak mau berlebihan menyiksa diri.
Kini, kita semua sudah bisa menenangkan diri masing-masing. Terlebih aku yang terlalu banyak menuntut. Sekarang aku sudah mulai memahami, bahwa memberi itu tak harap kembali. Ketika kau tlah memilih untuk memberi, maka saat itu juga kau harus ikhlas menerima setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Yah, kenapa harus rasa?
Aku bingung harus memulai dari mana. Takut ini hanya pe’rasa’anku saja. Ingin dimengerti, ingin dimiliki, ingin slalu dibersamai, ingin disukai dan diingini lainnya. Ah, kadang aku pun tak mengerti. Jika saja kubawa slalu Tuhan dalam setiap keinginanku itu, mungkin tidak akan jadi begini. Memberi dan berharap kembali, mendapat sesuatu atas imbalan pemberian.
Perhatian balas perhatian, kasih sayang balas kasih sayang. Cinta balas cinta dan semangat balas semangat. Seperti rumus hukum aksi reaksi. Memaksanya harus mengerti. Nyatanya bertepuk sebelah tangan.
Sahabat, kuingin kau mengerti. Kuingin kau sadari. Sebatas ‘impas’ sajalah sudah cukup. Tapi yang ada aku kelelahan karena terlalu jauh berharap. Hingga kini, bagimu semuanya biasa saja. Sementara itu, aku senantiasa mengelu-elukan rasa yang ada diantara kita. Persahabatan. Yah, persahabatan yang indah sebagaimana yang kita baca dalam serial lima sekawan.
Suatu ketika, pada puncaknya. Aku masih mencoba menerka pe’rasa’anku itu. Benarkah kita adalah sahabat? Rupanya, kita hanya teman. Maaf jika nanti kau membaca tulisanku ini, kau merasa aku sangat keterlaluan. Tapi begitulah pikir dan rasaku. Aku tak mau berlebihan menyiksa diri.
Kini, kita semua sudah bisa menenangkan diri masing-masing. Terlebih aku yang terlalu banyak menuntut. Sekarang aku sudah mulai memahami, bahwa memberi itu tak harap kembali. Ketika kau tlah memilih untuk memberi, maka saat itu juga kau harus ikhlas menerima setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Memberi Tak Harap Kembali
by
kavitasiregar
on
Januari 02, 2017
Kita adalah waktu yang sangat panjang. Bukan berbilang ratus atau puluhan hari. Lebih dari itu. Bila boleh kutotalkan, lima belas tahun rupa...