Foto waktu nungguin kereta di stasiun pasar senin hendak menuju Jogja

Iseng-iseng aku buka file foto-foto perjalanan yang pernah aku lalui. Alhamdulillah, kesempatan demi kesempatan untuk mengunjungi tanah orang dapat terwujud dengan cara-cara yang tak terduga. Semuanya adalah kesyukuran maha agung dari sang maha berkehendak. 

Setiap perjalanan tentunya menghadirkan cerita dan hikmah tersendiri. Lalu, apa sesungguhnya yang ingin kau dapatkan dari sebuah perjalanan? Pendapat kita mungkin akan berbeda. Jika boleh aku berpendapat dan nantinya kemudian ada kesamaan, itu artinya ada orang lain selain diriku yang berperasaan sama. Baiklah, silahkan simak perasaanku berikut ini.

1. Liburan
Ini adalah alasan utama yang biasanya kulakukan jika melakukan suatu perjalanan. Dunia kerja dan kehidupan yang begitu menguras energi, membuatku membutuhkan energi baru untuk kembali beraktivitas normal sebagaimana biasanya. Suasana baru yang akan membuat hati dan pikiran menjadi lebih baik. Belum lagi jika di-list satu per satu permasalahan hidup yang kualami. Rasanya dedek lelah, Bang. Hahah. Perlu banget liburan.

Untuk yang ini, benar-benar harus menyiapkan budget khusus dan perhitungan yang matang agar perjalanannya menyenangkan dan memuaskan. Diperkirakan lama perjalanan dan tempat-tempat yang akan dikunjungi sesuai budget. Ini enaknya nabung jauh-jauh hari agar perjalanannya puas dan ketika mengeluarkan uangnya enakan. Apalagi kalau dalam jumlah yang besar.

2. Sekalian kerja
Mungkin ada banyak pekerja yang bakal setuju dengan hal ini. Kalau harus menunggu waktu libur, mungkin akan susah. Apalagi kalau harus menentukan jadwal kosong yang sama sekeluarga. Harus direncanakan matang-matang dan jauh hari. Nah, kalau sekalian kerja, kadangkala asyik dan cukup memuaskan. Seperti pengalaman aku selama mengabdi di pelosok Papua. Ini adalah perjalanan yang berbeda dan sulit untuk kulupakan. Dimana pekerjaan menjadi begitu ringan karena sangat menikmati. Bisa mengunjungi kampung-kampung di pelosok yang biasanya hanya bisa dilihat melalui layar televisi melalui program adventure atau kalau enggak ya karena ada kejadian mengerikan di daerah tersebut. Tentu saja ini harus pandai-pandai mencuri-curi waktu luangnya agar tugas utama dalam rangka kerja tetap berjalan dengan baik. Gak perlu budget khusus karena sekalian kerja. Sediakan budget secukupnya.

3. Pulang kampung
Nah, kalau yang ini biasanya kalau liburan atau lebaran tiba. Kalau yang gak punya kampung tentunya gak enak banget ya. Mana ada pulang kota. Heheh. Kalau aku biasanya pulang kampung ini kalau udah kepalang rindu berat sama rumah. Terutama mama dan papa. Yaudah, aku mah nekat aja ninggalin pekerjaan kalau kira-kira pekerjaannya bisa diatasi oleh orang lain. Suka keluar egoisnya pas di sini. Tapi kalau kampungnya jauh dari tempat kerja kan gak mungkin juga yak bisa kayak gini.

Pulang kampung sekalian refreshing. Kalau di dekat kampung kamu ada tempat wisatanya lebih enak lagi tuh. Uhh, bisa pulkam dan main-main. Cuci mata, cuci otak dan cuci hati. Heheh.

That’s all i think about what a reason someone to do a journey. Bagaimana menurut kamu? Sama gak? Aku lagi kangen nih melakukan perjalanan. Makanya aku bikin tulisan ini. Kalau kamu punya alasan lain, bantu aku tulis di komen ya biar tulisan ini bisa lebih lengkap dan aku bisa punya alasan lain mengapa aku harus melakukan sebuah perjalanan.

"Pliiiisss, Vita. Jangan mewek gitu dong."
Aku terus berusaha menyemangati diriku sendiri. Kadang kala sifat cengengku keluar. Manusiawilah ya. Wanita pula. Bukan mencari pembenaran. Ini hanyalah salah satu cara untuk merilekskan diriku sendiri.

Pheuf. Kuulang-ulang istighfar dan bacaan tahmid, tahlil dan takbir. Berkali-kali. Masih mewek. Teruuus. Terus tambah zikir-zikirnya sampai hati plong.

Alhamdulillah.

_ _ _ _ _ _ _

Pernah denger kalimat begini, "seseorang itu diuji dengan kelemahannya." Ada yang diuji lewat agama, tahta, harta dan wanita. Macam-macam deh spesifikasi ujiannya. Nah, kalau aku, gak tau lah ya apakah aku berlebihan atau bagaimana. Aku merasa, ujian padaku seringkali terjadi dalam ukhuwah.

Ya, apa itu ukhuwah? Persaudaraan. Persahabat. Termasuk di dalamnya.

Sering aku menggerutu, kenapa ya dia kok gini sama aku. Padahal aku udah gitu sama dia. Knapa ya dia kok kayaknya gak seneng liat aku seneng. Ato kayaknya dia ngebet kali berkompetisi sama aku. Apa ini hanya perasaanku saja? Knapa ya dia kok seperti lupa sama sahabatnya sendiri. Ah, banyak lagi deh.

Kemungkinan-kemungkinan lainpun tercipta. Bisikan-bisikan setan pun mulai merasuki jiwa dan pada akhirnya kita saling menjauh. Dimana letak usia persahabatan selama ini? Sebegitu tak berartinyakah?

Sekarang, aku perlahan mencoba melupakan sifat ke'akuan' pada diriku. Tetap berusaha bersikap senormal dan sestabil mungkin dalam segala keadaan. Satu-satunya cara untuk 'mengutuki' keadaan ini secara halus adalah dengan membawanya ke diri sendiri diiringi zikir pada allah.

Allah. Lapangnyaaaaa (nulis ini sambil mewek),  jika segala sesuatunya dikembalikan kepadaNya.

"Mungkin kamu memang belum lulus, Vit. Masih berputar pada masalah-masalah ukhuwah."

Fine, aku tahu diri dan akan berusaha untuk terus memperbaiki diri.
"Tapi, rasanya kok..."
Ini nih yang salah. Rasa-rasanya kok ..., kalimat yang gak perlu dihadirkan kalau memang benar-benar bersahabat tanpa pamrih. Lillahita'ala. Insyaallah.

Udah ah, aku cuman mau nulis itu aja. Gak mau lebar kemana-kemana. Masalahnya cukup aku simpan di dalam hati sembari mencari solusi. Ntar solusinya baru aku tulis di sini mana tahu ada yang pernah mengalami hal yang sama denganku dan sedang membutuhkan solusi.

Keep calm down, sweety!

Air Molek, 29 Juli 2017, pukul 17:35

Lagi-lagi ukhuwah

by on Juli 29, 2017
"Pliiiisss, Vita. Jangan mewek gitu dong." Aku terus berusaha menyemangati diriku sendiri. Kadang kala sifat cengengku keluar. Ma...
Menutup hari hardiknas ini, sebenarnya tak ada semangatku untuk menuliskan sebuah tulisan apakah itu puisi pendek bahkan sebuah kalimat bermakna sekalipun. Hampir hilang nyaliku tersebab ggd. Membaca status dan komentar mereka di sosmed sudah cukup membuatku bersedih seakan aku mengalami apa yang mereka rasakan. Jika dibandingkan dengan diriku, aku masih harus banyak bersyukur. Tapi, bukan itu yang menjadi pembicaraan. Tentang kapan rilis ggd itu.

Refleksi besar yang kemudian harus dilakukan setelah hardiknas tahun ini. Baik bagi penyelenggara maupun peserta. Menata kembali semangat demi semangat pengabdiannya. Sebagaimana inginnya mendapatkan yang layak, maka lerjapun harua ditingkatkan. Itu ajalah. Banyak kali gejolak di kepalaku sampai malam ini. Terutama harapan-harapan dari orang tua dan keluarga besarku lainnya. Susah untuk aku ceritakan. Yang pasti, aku hanya berdoa semoga allah istiqomahkan aku dalam keimanan dan ketaatan karenanya nyatanya keadaan ini sangat-sangat melelahkan.

Malam resah. 2 Mei 2017. Pukul 23.51 Wib.

Hardiknas 2017

by on Mei 02, 2017
Menutup hari hardiknas ini, sebenarnya tak ada semangatku untuk menuliskan sebuah tulisan apakah itu puisi pendek bahkan sebuah kalimat ber...
Ahaiii...agak lebay n berlebihan kali yak. Tapi jujur, siang ini aku merasa bersyukur bertemu si abang baju biru dan helm biru yang menyelamatkan gadis batak yang manis asal air molek ini (mau muntah, uekuek. Hahah)

Masyaallah teriknya mentari siang ini. Panasnya membakar tubuh. Jalanan berdebu. Air mana air. Butuh air nih tenggorokan. Tapi aku sadar sedang puasa. Apapun keadaannya, niat puasa harus tetap lanjut. Toh, panasnya mentari tak hanya membakar tubuhku tapi juga membakar semangatku😁

Balik ke abang2 baju biru. Ceritanya aku habis pulang dari pesantren. Lewat jalan biasanya. Di daerah kubang. Nah, tiba2 aja nih motor aneh. Pas di tikungan motor mendadak oleng dan aku pun terjatuh bersama motornya. Untung sadar cepat, motor gak sempat lama menimpa kakiku. Kalo gak, gak kebayang deh. Mau nangis dibuatnya. Dasar single sikit2 nangis, sikit2 sedihan. Heheh.

Pas berdiri berasa deh tuh sakitnya. Nih motor masih belum mau nyala. Kirain bensinnya habis. Pas dicek, bensin masih ada. Apa yang salah ya? Motor gak bisa digerakkan. Didorong2 pun gak bisa. Mungkin ia lelah tlah berjuang selama hampir sembilan tahun bersamaku.

Ini nih adegan seru seperti di sinetron2. Efek banyak nonton ftv gini nih (niatnya bukan hanya nonton, tapi belajar mikirin cara bikin skenario ftv n film). Seorang malaikat penyelamat datang menyelamatkanku yang mulai lelah. Tepatnya sih menyelematkan motorku.

Dicek2nya tuh motor. Ia menduga ada yang salah dengan ban depan. Panas makin menjadi2. Kami pun menyingkir dari jalan. Kami mencari bengkel terdekat. Jadilah si abang ini mendorong motorku di jalan berpasir beberapa meter ke depan. Alhamdulillah. Ada yang bantuin. Aku sebenarnya malu jatuh tadi. Ditambah lagi mungkin jika aku harus mendorong motor menuju bengkel. Berlipat2 maluku di siang bolong nan menyengat ini. Sementara orang2 lain di pinggir jalan hanya memperhatikanku dan tak bergegas keluar dari tempat berteduhnya. Kecuali si abang ini.

Sesampainya di bengkel, disampaikannya kepada tukang bengkel itu masalah motorku. Tukang bengkel itu sedang menangani motor yang lain. Berhubung tuh abang ngomong2 ke tukang bengkel, jadilah motorku mendapat perhatian duluan. Makasih, makasih banget ya Bang.

Aku gak kenal sama abang ini. Usianya kayaknya sekitar 2-3 tahun di ataskulah. Aku cuman bilang makasih. Setelah si tukang bengkel bergegas menangani motorku, ia pun pamit. Sekali lagi, melalui tulisan ini aku ngucapin makasih. Mana tau aja baca. Mana tau aja berteman di sosmed. Hahaha.

Buru2 nih tulisan aku selesaikan sementara aku masih di bengkel nunggu motorku diotak atik sama si abang bengkel ini. Heran deh, kayaknya hampir tiap bulan sejak tahun ini aku selalu ke bengkel. Entah apa pasal. Padahal mainnya cuman di daerah kota. Entah motornya yang udah tua kali ya sembilan tahun ini. Entah emang aku harus ke bengkel biar banyak ide nulisnya atau mungkin bertemu jodoh. Eeeh...dasar! Jangan baper. Ini aku santai aja kok. Gak baper2 gimana gitu tadi. Udah lewat mah baper2 itu. That's all. Thanks for abang baju biru dan abang tukang bengkel. Alhamdulillah yaaa. Aku masih setia nungguin di bengkel nih.

Beberapa waktu belakangan ini, aku sering ditemukan dengan status dan keadaan dimana para sahabat-sahabatku yang tadinya adalah seorang wanita karir, memutuskan untuk meninggalkan karirnya dan menjadi full time mother. What a great! Sebuah keputusan yang tentunya tidak mudah. Namun, kutahu apa yang kalian lakukan adalah keputusan terbaik dan tentunya membuat kalian bahagia. Karenanyalah, tulisan ini hadir sebagai hadiah untuk kalian. 

Karir vs Keluarga
Kamu biasa bekerja, bergerak, dan gesit. Dan kini harus meninggalkan dunia asyik semasa lajangmu. Bersedia meninggalkan karir yang sedang menanjak, meninggalkan penghasilan yang sangat menggiurkan, meninggalkan teman-teman yang asyik diajak untuk ngumpul-ngumpul, meninggalkan duniamu yang berwarna demi menjadi full time mother, full time wife. Bukan hanya mengurangi tapi berhenti total. Kegiatanmu sekarang hanya mengurus anak, suami dan rumah tangga kalian.

Tentunya perubahan yang begitu drastis membuatmu kadang kala merasa sepi dan jenuh. Kuyakin, itu hanya awalnya saja. Kamu belum terbiasa untuk berlama di dalam rumah. Seiring bertambahnya waktu, kehadiran si kecil dan kesibukan bersama suami, kamu mulai legowo dengan duniamu sebelumnya. Bahkan sekarang, kamu merasa bahagia dan tenang telah mengambil keputusan yang benar. Keputusan yang bagi sebagian perempuan tentunya tidak dapat dilakukan. Bukan karena mereka tidak mau, tapi karena ada beberapa keadaan yang membuatnya tak bisa sepertimu. Dan, ada juga yang memang tidak mau.

Kamu adalah perempuan hebat yang cepat menyesuaikan dengan segala kondisi. Kamu adalah perempuan tepat yang telah dipilih oleh suami-suami kalian. Kamu adalah ibu dari anak-anak hebat yang akan menguasai masa depan. Yah, kamu ibu yang telah rela meninggalkan karirmu demi keluarga.

Menjadikan Harimu Berwarna Seperti Dulu 
Harusnya aku tak pantas berbicara seperti ini apalagi terkesan mengguruimu yang sudah berumah tangga. Sementara aku masih dalam usaha dan doa agar kelak bisa merasakan hal yang sama seperti yang kalian rasakan. Menjadi seorang istri dan ibu. Tapi sudah kubilang diawal. Ini adalah hadiah dan penghargaanku untuk kalian, Sob. Semoga berkenan dan bisa menjadi hiburan manakala kalian merasa rindu akan dunia kalian yang dulu ketika masih lajang.

Beberapa orang teman bercerita bahwa hari-harinya kini terkesan membosankan. Dari pagi ketemu pagi dia masih begitu-begitu saja. Memasak, menyuci, menyapu, mengurusi suami, mengurusi anak. Itu-itu saja deh. Rasa-rasanya dia berada di dalam dunia yang sempit. Aku terpaku mendengarnya. Benarkah begitu? Belum lagi tentang fisik yang mulai tidak terurus dan kumal. Jika benar, itu akan membuat banyak lajang yang biasa bebas takut terkekang. Padahal menurutku tidak begitu adanya jika kamu bisa membuat sesuatu yang berbeda. Yah, sesuatu yang sudah diatur secara terencana seperti masa mudamu dulu yang penuh dengan mimpi-mimpi. Mengapa tidak seorang ibu rumah tangga memiliki mimpi yang tinggi bukan?

Contohnya, memiliki anak yang hafiz dan hafizah, memiliki anak yang memiliki segudang prestasi dalam bidang akademik dan non akademik. Memiliki anak yang bijak dan bertanggungjawab, memiliki anak yang berani tampil dengan percaya diri di depan publik. Atau dari segi kamunya. Kamu kan bisa menulis di sela-sela kesibukanmu seperti beberapa orang penulis yang memiliki banyak karyanya. Kamu bisa search di google nama-namanya atau berselancar di facebook. Atau ada juga beberapa teman yang memutuskan untuk berjualan online dengan fokus utama tetap tidak mengesampingkan keluarga. Ada yang fokus belajar menambah soft skill sebagai ibu yang baik. 

Ada juga yang menampung anak-anak homeless untuk tinggal bersama keluarganya secara kegiatan sehari-harinya pun hanya mengurusi anak-anak. Ini semua mimpi-mimpi yang bisa diwujudkan mendekati seratus persen jika kamu menjadi full time mother (gak ada sumbernya sih, ini keyakinanku saja karena full time mother lebih banyak waktu bersama anak dan keluarga). Dan segudang kegiatan lain yang tentunya kamu sendiri pasti sudah tahu dong. Tiap hari buktinya bisa buka sosial media, mengecek keadaan dan perkembangan di luar. So, tinggal di dunia yang serba digital seperti sekarang ini gak bakal membuat kamu sepi dan terkekang. Kecuali yah, kamu tinggal di daerah pedalaman yang memang sepi lalu semua akses sangat susah. Aku belum bisa kasih solusi apa-apa untuk hal itu. 

Namun, jika berkenan sedikit berbagi. Sekalipun tinggal di daerah pelosok, kamu tetap bisa membuat harimu berwarna. Pelajarilah lingkungan sekitar atau istilah kerennya contekstual learning. Hoaa, begitulah kira-kira. Insyaallah akan ada jalan jika kamu mau sedikit saja keluar dari zona nyamanmu.

Untuk Kalian Yang Masih Bekerja
Aku bukan siapa-siapa yang ketika menulis ini aku menyadari bahwa aku sendiripun entah sanggup entah enggak mengambil keputusan seperti perempuan-perempuan hebat tadi. Juga tidak bisa memastikan apakah aku akan tetap berkarir atau menjadi full time mother kelak. Sama seperti kalian dulu yang ketika memutuskan sesuatu belum begitu mengetahui dan belum begitu yakin apakah keputusanmu itu benar atau tidak. Yang jelas, ketika mengambil keputusan, bismillah saja dan hanya mengharap ridho allah semata. Mudah-mudahan allah berikan kelapangan pada setiap keputusan dan urusan. Ini juga semata-mata sebagai pengingat bagi diriku sendiri.

Bagi kamu yang masih bekerja, ingatlah slalu batasan-batasan yang harus kamu taati. Jangan sampai pekerjaan membuatmu lalai terhadap keluarga.
1. Peranmu sesungguhnya adalah sebagai seorang ibu dan istri. Segala sesuatu harus seizin suami. Ridho suami adalah ridho allah. Kalau suami izinkan kamu untuk bekerja, silahkan kerja sesuai porsinya. Jika suamimu tidak ridho, jangan paksakan.
2. Jika kamu terpaksa harus bekerja karena tuntutan ekonomi, maka bekerjalah sesuai kebutuhan. Yang terpenting jangan sampai melalaikan keluarga.
3. Jika kamu masih tetap bekerja karena hal-hal lain di luar masalah ekonomi, itu keputusanmu. Saranku, sering-seringlah berdiskusi dengan pasanganmu dan tetap prioritaskan keluargamu.
4. Bagi para suami yang menginginkan istrinya tunak di rumah sebagai istri dan ibu, ketika kau memintanya untuk berhenti dari pekerjaannya, bertanggaungjawablah secara penuh. Jangan sampai hatinya terluka dan membayangkan keadaan ‘seandainya-seandainya.’ Jika sebaik-baik perempuan adalah istri yang sholehah, yang taat pada suaminya, maka sebaik-baik lelaki adalah yang membahagiakan istrinya. (Ini teori pengamatan penulis. Heheh) Jangan sampai gara-gara ekonomi dan kesibukan rumah tangga, ribut sealam raya dan lupa pada kebaikan-kebaikan lainnya. Lupa pada cita-cita rumah tangga yang kalian komitmen ingin bentuk diawal-awal pernikahan.

Mohon maaf banget jika tulisan ini kurang berkenan di hati kamu. Aku hanya berusaha untuk menyampaikan pendapatku yang mungkin bisa sedikit menghiburmu bahwasanya di luar sana, ada banyak orang yang sangat respect dan acungin semua jempolnya atas keputusanmu. Salah satunya adalah aku. Meski tak terlalu banyak tahu tentang dirimu, tapi aku cukup tahu bahwa keputusanmu itu adalah hebat. So, keep positif thingking to Allah. Mari sama-sama terus memompa diri untuk menjadi lebih baik. With our love for you. Your friend, Vita.



Rupanya ini yang namanya cinta. Bila tak melakukannya, tak menyentuhnya, tak mengingatinya, aku rindu. Ada kegersangan dan kegelisahan di dalam hati. Ia perlu dipupuk, disirami dan dijaga tumbuh kembangnya. 

Kok gak ada hubungannya dengan judul tulisan?
Ada. Nanti kamu kan menemukannya sendiri. Seiring tulisan ini selesai dibaca.


Beberapa hari belakangan ini aku merasa sibuk tak menentu. Ini menyebabkan waktu untuk membaca dan menulisku berkurang. Aku gelisah sepanjang waktu sampai-sampai mau makan dan tidur pun tak tenang. Padahal yah aku sudah ngantuk berat. Tapi tetap gak bisa tidur. Kubawa untuk berzikir sampai akhirnya terlelap sendiri. Kubawa tilawah al-qur’an. Adem. Tapi masih ada yang kurang.

Kuingat-ingat sudah berapa hari aku tak membaca buku sampai tuntas dan menulis sebuah tulisan. Akhirnya dengan pemaksaan, kubuka laptop khusus untuk menulis. Bukan halaman kosong yang kubuka, juga bukan halaman melanjutkan tulisanku yang tertunda. Tapi sebuah tulisan yang sudah lama berada di dalam laptop ini. Dari Teh Pipiet Senja. Begini isinya.

Katakan Cinta Dengan Aksara

Kalau kamu hanya berpegang pada teori-teori kepenulisan, tanpa mempraktekkannya langsung, kemungkinan sekali untuk menjadi seorang penulis hanya akan berakhir; mimpi ‘kali ye!

Apa saja yang harus dipersiapkan oleh kita untuk menjadi seorang penulis? Betapa sering mendapatkan pertanyaan seperti ini. Padahal, jawabannya sederhana saja; mulailah menulis, menulis dan menulis. Tiga M!


Fahri Asiza, penulis senior yang mengaku mampu menulis novel hanya dalam tempo 3 (baca tiga!) hari, bilang begini; “Menulis, menulis, menulis dan biarkan kata-kata mengalir, mengalir dan mengaliiiir!”

Seorang peserta bernada mencak-mencak, mengajukan protes di acara seminar PSJ, UI. Menulis, menuliiiiis… Mengalir, mengaliir! 


Yah, itu kan dikatakan sama Teh Pipiet dan para penulis yang emang sudah jadi. 


Tapi bagi kami kalimat itu bikin tambah gak ngerti aja. Apanya yang harus ditulis?  Trus, apanya yang bisa ngalir?

Wo, woo, woooi! Jangan mencak-mencak dulu atuh, Sodara! Kalau kita ingin menulis tentu sudah punya gambaran, sesuatu yang hendak kita tuliskan. Tak mungkin kita hanya berjam-jam duduk di depan komputer. Ngeblank terus otak dan perasaan kita, tak tahu apa yang mau dituliskan. 


Kalau memang demikian yang terjadi, sepertinya Anda harus segera banguuuun!
Buka mata lebar-lebar, serap situasi sekitar, tunjukkan empati yang tinggi terhadap fenomena di sekeliling Anda. 


Sebab bila Anda digariskan untuk menjadi seorang penulis, inilah yang terjadi; ada sesuatu yang telah hadir di benak, perasaan dan jiwa kita.  Sesuatu itu biasanya telah begitu ngurek-ngurek, berputar-putar di benak kita. Sehingga kita merasa akan sakit kepala apabila tidak segera menuangkannya ke dalam tulisan. Sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah. 


 Obsesi!
Inilah awal-mula atau modal paling utama untuk menjadi seorang penulis; dorongan dari dalam!

Begitu banyak ide berseliweran di otak. Bagaimana cara menuangkan ide-ide itu ke dalam tulisan?


Mari, kita lihat contoh; Umpamanya kita mau menulis tentang anak kecil yang mengidap penyakit bawaan thalassaemia. Jelas kan; kita sudah tahu apa yang akan kita tulis. Bagaimana perasaan si tokoh penyandang thalassaemia itu? Anak kecil juga punya perasaan dan pikiran. Ayo, tuliskan asal-muasal, kondisi keluarga, bersaudara, orang tua, kaum kerabat si tokoh.


Bagaimana pandangan teman-teman si anak terhadap kondisinya? Apa mereka menaruh iba, simpati? Ataukah sebaliknya mengejek, meminggirkannya dari pergaulan? Bahkan menganggap penyakit tersebut sebagai kutukan? Bagaimana si anak sempat merasa putus asa, bahkan nyaris bunuh diri dengan minum obat penenang sebanyak-banyaknya. Atau sebaliknya dia justeru berjuang keras untuk bisa berdamai dengan takdir thalassaemianya. Bangkit dari perasaan tak berdayanya… Lihatlah, cukup banyak bahannya bukan?


Nah, dari bahan yang terkumpul di atas itu pun sudah akan mengalirkan ribuan kata, membentuk kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf sejumlah dialog dan narasi. Apalagi kalau kita kemas dengan mengeksplorasi rasa bahasa, melalui kalimat-kalimat yang komunikatif. Sehingga para pembaca bisa merasakan, bagaimana kepedihan, tingkah laku dan duka derita tokoh yang kita bangun untuk tulisan tersebut.


Demikianlah yang aku lakukan ketika menulis novel Tembang Lara (Gema Insani Press, 2003). Tokoh sentralnya seorang penyandang thalassaemia. Konon, karena aku terlibat jauh di dalam novel ini, sepertinya tokoh itu menjadi hidup dan nyata. Banyak bikin ibu-ibu menangis pilu. Tembang Lara pun telah cetak ulang, mengucurkan royalti ke rekeningku dengan lancar. Insya Allah!


Menulis…, ayoook! Usahlah dari yang njelimet-njelimet dulu. Menulislah dari hal-hal sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.


Tapi kan susah kalau langsung menulis cerita pendek? 
Oke… Bagaimana kalau dicoba dengan surat pembaca?
Percaya tidak, sepucuk surat pembaca yang mengetengahkan tentang keluhan kita; komplain terhadap braypet-nya PLN, PDAM, pelayanan Askes, rumah sakit, transportasi atau temuan korupsi di sekitar kita umpamanya… Pengaruhnya sungguh luar biasa!


Aku pun mengawalinya dari surat pembaca di harian daerah; Pikiran Rakyat (Bandung). Beberapa kali surat pembaca dimuat di harian bergengsi Kota Kembang, nama Pipiet Senja langsung terdongkrak. Isinya mulai dari sentilan terhadap acakadut-nya pengaturan lalu-lintas, keluhan tak tersedia gedung kesenian sampai dugaan memanipulasi tanah-tanah wakaf di Desa Margaluyu…


Mungkin dengan pertimbangan itu pula, jika kemudian para redaksi memuat cerpen-cerpenku di majalah dan korannya. Walohualam. Terakhir surat pembacaku dimuat di harian nasional, Kompas dan Republika. Isinya tentang Warning terhadap keamanan di atas kereta Bandung-Jakarta. 


Sebuah koper berisi pakaian lebaran, terutama dua bundel naskah novel (masih diketik si Denok, belum difotokopi!) dua lusin buku anak-anak yang sedianya akan ditawarkan ke pihak Diknas provinsi Jabar dan rapor si Butet. Raib dalam sekejap, disambar copet di stasiun Jatinegara.


Salah satu berkahnya dari surat pembaca ini, seorang produser tertarik dengan karya-karyaku. Novel Adzimattinur akhirnya mereka beli, konon untuk disinetronkan. Bayangkan, gara-gara sepucuk surat pembaca, Sodara! Apatah pula kalau cerpen, cerbung, novel yang dibukukan, kemudian diedarkan ke pelosok Nusantara, kalau mujur sampai juga ke mancanegara? Itu baru pengaruh di masa kini, sebab buku akan lama umurnya, lebih lama dari umur penulisnya sendiri. Boleh jadi buku kita laris di pasaran, dicetak ulang, cetak ulang! Di sini ingin kutitip pesan untuk para penulis pemula, demikian pula untuk diriku sendiri. Menulislah yang bermanfaat, jangan sampai tulisan kita menyesatkan ummat. 


Ingatlah, menulis sebuah amanah Allah. Kelak di akhirat tulisan-tulisan kita akan minta tanggung jawab!
***

Tertohok aku membacanya. Baguslah kalau ternyata aku menjadikan titel penulis sebagai sebuah obsesi agar lebih semangat lagi berkarya. Tulisan ini aku copas dari bahan ringkasan diskusi Teh Pipiet Senja tahun 2010 di Medan. Masih sangat berguna. Sesekali tak ada masalah untuk membuka kembali materi-materi tulisan yang dulu sudah pernah dibaca. Biar semangat lagi menulisnya. Well, udah bisa jawab sendiri kan?

PENULIS ; Sebuah Obsesi

by on Februari 28, 2017
Rupanya ini yang namanya cinta. Bila tak melakukannya, tak menyentuhnya, tak mengingatinya, aku rindu. Ada kegersangan dan kegelisahan di d...

Dari kemarin pengen banget bikin tulisan sempena milad FLP. Ngalor-ngidul pikiran dan jasadnya. Terbuka lagi begitu selesai membaca tulisan-tulisan teman-teman di Sosmed terkait milad FLP. Semoga tulisan ini sedikit menjawab pertanyaan teman-teman padaku yang ingin bergabung di FLP dan ingin tahu FLP itu apa dan bagaimana. 


MENGENAL FLP
Tanggal 22 Februari 2017 lalu Forum Lingkar Pena (FLP) tepat berusia 20 tahun. Usia yang beranjak matang. Padanya diletakkan harapan menjadi sesuatu yang berguna dan senantiasa menjadi jalan kebaikan bagi setiap insan yang bersamanya. Aku merasa beruntung mengenalnya lebih awal.

Saat itu usiaku masih sangat muda. SMP. Mengenal karya-karya mereka yang sampai saat ini namanya masih harum bahkan semakin harum. Ada Mas Irfan Hidayatullah dengan Teenlitnya saat itu yang berjudul “Meski pialaku terbang.” Lalu ada juga Bunda Helvy Tiana Rosa, Afifah Afra dan Izzatul Jannah. Saat itu aku hanya sebagai penikmat bacaan saja.

Tahun kedua kuliah aku memutuskan untuk bergabung ke dalamnya. Luar biasa. Bertemu dengan mereka-mereka yang memiliki semangat besar untuk menjadi orang besar lewat karyanya. 

JATUH CINTA PADA FLP
Seperti layaknya pada manusia. Semakin sering bertemu dan berinteraksi, semakin kita mengenal pribadinya. Begitupun di FLP. Semakin sering bersama, datang ke diskusi-diskusi karyanya, ngobrol-ngobrol tentang keislaman dan keorganisasian, aku semakin tahu kemana arah organisasi ini. 

Bersyukur. Itu yang aku rasakan sampai saat ini. Beruntung komunitas kepenulisan pertama yang kukenal itu adalah FLP. Di dalamnya, aku belajar banyak tentang kepenulisan, keislaman dan keorganisasian. Hal itu yang kemudian membuatku jatuh cinta pada FLP.

Sebagaimana yang kita baca di dalam ayat suci al-qur’an dan sejarah-sejarah keislaman bahwa setiap apa yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Begitupun dengan pilihan kita untuk bergabung di suatu komunitas atau organisasi. Apa yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya.

Apa yang kita tulis? Apa yang kita lakukan? Apa yang kita perbincangkan? Semuanya dicatat oleh malaikat yang senantiasa berada di sisi kita. Tak hanya sampai di situ. Apakah yang kita tulis, apakah yang kita lakukan dan bincangkan itu memberikan manfaat kebaikan? Atau justru membawa orang lain ke arah negatif? Kita memiliki sumbangsih di dalamnya. Jadilah aku semakin yakin bahwa FLP insyaallah akan membawa kita ke arah kebaikan dan manfaat.

Kalau begitu, aku gak usahlah menulis. Kayaknya susah kali harus menulis yang baik-baik. Bagaimana kalau menuliskan tokoh yang antagonis.
Enggak gitu juga. Karya-karya yang dimaksud adalah karya yang memberikan pesan positif dan tidak mengumbar hal-hal yang tak pantas untuk diumbar. Nah, untuk lebih jelasnya yang ini akan ditulis pada pembahasan tersendiri ya. Jangan lupa untuk ikutin terus tulisanku. Yang jelas, kita harus tetap menuliskan kebaikan. Sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Biar ilmu-ilmu kita, pengalaman dan cerita-cerita kita gak hilang begitu saja. Tentunya dengan maksud agar orang lain mendapatkan hikmah dari tulisan kita.

PERAN FLP
Jika dulu para pendahulu kita tidak menuliskan ilmu-ilmunya, maka saat ini kita tidak akan mendapatkan pengetahuan itu. Tidak akan ada buku-buku sejarah keislaman dan kitab-kitab yang menjadi bacaan wajib kita. Tidak pula kita mengenal siapa-siapa orang yang telah berjuang demi agama dan bangsa ini dan bagaimana mereka menghadapi segala macam cobaan dan tantangan lalu mengubahnya menjadi sebuah peluang.

FLP kiranya memiliki peran sama seperti para pendahulu. Bahkan harus lebih karena tantangan hari ini lebih hebat dari sebelumnya. Dunianya sudah dunia digital. Informasi cepat sekali beredar. Karena itu peran kita menyebarkan kebaikan lewat tulisan setidaknya dapat mempengaruhi ketidakbenaran dalam informasi yang diterima. Jika dakwah itu ada banyak gayanya, FLP dengan visi dan misinya siap mewarnai dunia literasi dengan gayanya sendiri. 

Selamat milad FLP ke-20. Terus berbakti, berkarya dan berarti di muka bumi.

JATUH CINTA PADA FLP

by on Februari 23, 2017
Dari kemarin pengen banget bikin tulisan sempena milad FLP. Ngalor-ngidul pikiran dan jasadnya. Terbuka lagi begitu selesai membaca tul...