Pernahkah sebagai guru merasakan bahwa anak murid seperti tidak memahami soal atau bacaan yang diberikan? Kemudian coba kita dampingi kembali untuk memahami soal atau bacaannya. Namun, masih juga mengalami kendala dalam memahami soal dan bacaan tersebut. Belum lagi ketika diberikan sebuah soal atau permasalahan yang sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru. Anak-anak mulai kebingungan harus memulai darimana dan bagaimana menyelesaikannya. Bagaimana perasaanmu sebagai guru? 

        Ini tentunya bukan hanya catatan besar bagi seorang guru. Melainkan, tanggungjawab bersama antara guru dan orang tua di rumah. Permasalahan memahami soal dan bacaan tentunya berakar dari kualitas dan atau intensitas membaca itu sendiri.

Membaca Adalah Sebuah Proses Perkembangan

        Soemadayo (2011) dalam bukunya Strategi dan teknik pembelajaran membaca menjelaskan, ada dua hal yang perlu diperhatikan guru dalam mencamkan bahwa membaca sebagai proses perkembangan, yaitu pertama, guru harus sadar bahwa membaca merupakan sesuatu yang diajarkan dan bukan terjadi secara insidential dan kedua, meyakinkan bahwa membaca bukanlah subjek melainkan suatu proses.

        Seseorang yang melakukan kegiatan membaca, tidak lantas kemudian dikatakan seorang yang giat membaca. Karena, seharusnya kegiatan membaca melahirkan suatu perkembangan pola pikir. Proses itu secara terus menerus berkembang hingga mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu soal atau permasalahan dalam belajar. Sehingga, tidak lagi ada kata tidak bisa atau tidak paham dari seorang anak jika ia ‘benar’ membaca. Guru harus terus menerus memberikan motivasi, mengajarkan dan mendampingi kegiatan membaca di sekolah. Berbagai inovasi pun dirancang agar menarik minat anak murid. 

        Di sisi lain, orang tua juga perlu memahami bahwa minat baca anak ini bukan hanya tugas guru. Kedua hal di atas juga harus menjadi catatan penting bagi orang tua. Motivasi yang pertama justru harus hadir di lingkungan keluarga. Keluarga yang gemar membaca, akan menciptakan anak-anak yang dekat dengan buku pula. Sehingga, membaca ini tak lagi menjadi sebuah kebiasaan atau malah sekedar paksaan. Membaca sudah menjadi budaya dalam lingkungan keluarganya. Ini semua dimulai dari didikan orang tua.

        Lantas, bagaimana orang tua yang tak bisa membaca? Atau mungkin tak paham akan peranan penting membaca bagi perkembangan anaknya? 

        Belajarlah! Bertanyalah! Cobalah! Kepada mereka yang menjadikan membaca sebagai budaya positif di keseharian keluargnya. Tak ada salahnya juga, sembari mendampingi dan mengajarkan anak untuk dekat dengan buku, orang tua juga belajar. Belajar bagaimana caranya membaca. Belajar berbagai macam teknik membaca. Orang tua dan guru harus belajar dan mengimplementasikannya bersama. Menjadi contoh teladan agar anak terus sabar berproses sepanjang hayat.

Sinergisitas, Memaksimalkan Peran Masing-Masing

        Jika masing-masing –orang tua– dan guru sudah satu frekuensi dalam memahami kegiatan membaca sebagai sebuah proses perkembangan, perlulah terus dipupuk sinergisitas dalam memaksimalkan perannya. 

            Orang tua dan guru adalah satu kesatuan yang harus berjalan bersamaan. Orang tua memiliki hak biologis terhadap anak. Sementara guru adalah orang tua secara fisik ketika berada di sekolah. Keduanya harus saling bersinergi agar anaknya kelak menjadi orang berilmu pengetahuan luas. Seorang anak yang ibarat pepatah lama seperti padi, makin lama makin merunduk. Semakin berilmu, semakin baik akhlaknya.

        Lalu, apa saja yang bisa dilakukan oleh orang tua dan guru secara bersamaan? Ketika berada di sekolah, guru menerapkan beberapa pembiasan. Salah satunya adalah pembiasaan membaca buku 15 menit sebelum belajar. Buku ini adalah buku non teks pelajaran.

        Berupa cerita baik bergambar maupun tidak yang dapat menarik minat siswa. Lalu, sekolah dalam kegiatan gerakan literasi membuat gebrakan-gebrakan menarik. Dibuatlah pojok baca semenarik mungkin di setiap kelas. Adanya pojok baca di area tunggu orang tua. Adanya perpustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku. Masih banyak lagi inovasi yang senantiasa dilakukan.

        Begitu kebiasaan ini telah dilaksanakan oleh guru dan menjadi sebuah budaya sekolah, hendaknya orang tua di rumah pun melakukan hal yang sama. Orang tua bisa menyediakan sarana buku cerita yang tak kalah menarik dengan koleksi sekolah. Lalu mendampingi anak dalam membaca buku, memilihkan buku-buku yang cocok untuknya, melakukan diskusi, atau sekedar mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah. Sesekali pergilah piknik ke toko-toko buku dan lingkungan yang kaya akan budaya baca. Dapat dipastikan, semua aktivitas anak slalu dalam pantauan orang tua. Sehingga pembiasaan yang dilakukan di sekolah, sama terjaganya dengan pembiasaan di rumah.

        Jika demikian keadaannya, maka hasil penelitian yang mengatakan Indonesia berada dalam urutan kedua terbawah dalam hal minat baca akan berubah posisi hitungan dari atas.

Tanjungbatu, 19 Juli 2019


Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul tiga sore. Anak-anak yang berencana datang ke rumah sore ini belum juga muncul. Biasanya dari jauh suara mereka sudah terdengar. Paling sebentar lagi mereka akan tiba. Gumamku dalam hati.
Benar. Suara sebuah motor berhenti. Aku mengintip dari jendela. “Anak ini.” Kataku dalam hati. Lalu kubukakan pintu. Ia tersenyum sumringah.
“Jasmin, kamu kan masih sakit.” Ucapku ketika dia turun dari motor. “Pak, saya sudah katakan pada Jasmin bahwa ia tak perlu datang sore ini. Ia bisa istirahat di rumah.” Kataku kepada bapaknya Jasmin.
“Iya, Bu. Saya juga sudah katakan. Tapi katanya ia mau ke sini sore ini. Belajar kan, Bu?”
Aku mengangguk. Beberapa detik kemudian ayah Jasmin sudah tak tampak lagi jejaknya. Aku mempersilakan Jasmin untuk masuk ke dalam rumahku.
Sore ini, seperti biasanya aku mengajak anak-anak untuk bersenang-senang bersama buku. Kadang kala kami bercerita, menulis cerita, menggambar, berpuisi, melakukan percobaan dan apa saja yang bisa membuat kami senang. Hitung-hitung berakhir pekan bersama tanpa perlu khawatir salah dan ada penilaian. Tentunya tanpa biaya.
Jasmin asyik memilah-milah buku. Pelan-pelan kutanya alasan mengapa ia tetap datang sore ini. Kulihat dagu bagian bawahnya masih merah. Tadi di sekolah ia jatuh pingsan. Tersungkur. Dagu bagian bawahnya dan beberapa bagian di tangannya terluka. Dagunya dibiarkan terbuka sehingga warna merah darah yang belum kering masih terlihat jelas.
“Lebih asyik di sini, Bu. Bisa baca-baca buku. Bertemu dengan teman-teman. Kalau di rumah capek, Bu.” Jawabnya polos.
“Kok capek? Memang ngapain?”
Ia pun bercerita bahwa di rumah ia harus melakukan banyak pekerjaan. Menyapu, membersihkan sekeliling rumah, mencuci piring, memasak, dan lain-lain. Aku terenyuh.
“Kamu melakukan itu semua?”
“Iyalah, Bu. Siapa lagi yang akan melakukannya?” katanya santai
Mendadak bulir-bulir hangat di ujung kedua mataku hendak keluar. Tapi kutahan. Aku tak boleh terlihat rapuh di hadapannya yang berusaha tegar. Aku juga tak boleh bersedih dan merasa kasihan kepadanya yang tak ingin dikasihani. Ia hanya butuh dikuatkan.
Terbayang olehku, dalam usia yang masih kecil begini, ia harus melakukan banyak hal. Ia harus bersahabat dengan keadaan keluarganya. Kubandingkan dengan aku dulu. Waktu kukecil, aku tak merasa terbebani dengan keadaan keluargaku. Aku menikmati waktu bermain dan belajarku sepulang sekolah hingga senja menjemput. Aku tak kekurangan satu apapun. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Ibu dan ayah selalu ada setiap kubutuhkan. Bahkan, ibuku adalah energi yang tak pernah habis. Ialah cahaya yang tak pernah redup.
Masih terngiang percakapan kami tadi pagi ketika ia jatuh. Ia belum makan bahkan sejak malam. Ia juga tak memegang uang ketika ayahnya sedang bertugas di luar. Kupikir, tak ada maksud apapun dari sang ayah terhadap kedua anaknya. Kusaksikan tiap hari, ayahnya begitu perhatian. Mengantar dan jemput ke sekolah. Juga mengantarkan makanan dan uang jajan untuk Jasmin dan adiknya.
Tapi itulah, bak kata orang tuaku. “Patah kaki sebelah jika tak ada ibu di sampingmu.” Aku nangis bila mengingat kalimat itu. Terbayang ibuku di rumah dan betapa aku masih sering kesal terhadap hal-hal yang kami tak bisa sepakat.
Kita sebagai anak, mungkin pernah merasa kesal terhadap ibu kita. Tapi, kesal yang kita alami mulai sekarang hendaknya perlu diminimalisir. Kita tak pernah tahu kapan waktu kita bersama orang tua akan berakhir. Manusiawi jika ingin marah dan merasa ada hal-hal yang bertolak belakang dengan diri kita. Mengalahlah! Bersabarlah! Kita adalah seorang anak. Bahkan sebesar ini, aku tak sanggup bila dihadapkan pada keadaan anak tersebut.
Ini juga kelak menjadi pelajaran bagikku. Jika suatu hari allah titipkan amanah menjadi seorang ibu. Betapa, ibu punya peranan penting yang tak dapat digantikan oleh siapapun. Tak juga oleh ayahnya meski tercukupi segala kebutuhan. Tak juga asisten rumah tangga bahkan keluarga.
“Ibu meninggal dunia karena sakit, Bu. Sekitar tiga tahun yang lalu.”
Hatiku tersayat. Mataku basah. Tapi ia masih tegar menceritakan hal itu semua kepadaku. Tanpa airmata.


Ruang rindu, 17 November 2019

KETIKA TIADA IBU DI SISI

by on November 18, 2019
Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul tiga sore. Anak-anak yang berencana datang ke rumah sore ini belum juga muncul. Biasanya dari j...
Beberapa waktu yang lalu aku berkesempatan jalan ke Urung, Kundur Utara. Rencananya kami hanya mengunjungi Fajriah, temanku dari Aceh yang dapat tugas di sana. Selama di Kundur, kami belum banyak mengunjungi tempat-tempat lain selain di Tanjung Batu Kota.

Perjalanan kami tempuh menggunakan motor dengan waktu sekitar tiga puluh menit. Sesampainya di tempat Fajriah, aku dan Ana sempat ngobrol-ngobrol ringan dan lepas kangen. Setelah itu kami berjalan mengunjungi sekolahnya Fajriah yang letaknya tak jauh dari pelabuhan Urung. Aku terpesona sama sekolahnya. Wajar jika sekolah ini mendapat peringkat sekolah sehat nomor 2 nasional pada tahun 2017.

Semua unsur sekolah ada di sekolah itu. Lengkap. Ruang kelas, majelis guru, toilet, perpustakaan, musholla, taman, kantin dan kebun. Warna cat sekolahnya meriah dan mewakili perasaan gembira. Orang yang masuk ke sekolah itu pun menjadi ceria dan bahagia. Sekolah ini menurutku sangat inspiratif dan motivatif. Aku berusaha merekam setiap sudut di sekolah ini di dalam memori otakku dan juga memori handphone. Berkali-kali aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku bisa mengadaptasi semua hal baik dari sekolah ini untuk diterapkan di sekolahku.

Berikut ini beberapa gambar yang sempat aku abadikan selama mengunjungi sekolah tersebut.
Penampakan dari ketika pertama masuk


Lorong kelas. Di setiap tiang kelas ditempelin asma ulhusna, dilengkapi wastafel, Dinding-dinding luar dihiasi gambar-gambar motivasi dan kutipan bermakna. Ada tong sampah dan bunganya juga.



 Pojok baca di depan musholla

Pojok baca yang membuat siswa semakin semangat membaca 


Cuman bisa jepret isi perpustakaan dari luar jendela



Doa sebelum wudhu

Doa setelah wudhu

 Kata-kata motivatif di sekitaran kantin



 Kata-kata motivasi menuntut ilmu di dinding luar kelas

 Peta kecamatan di sekitaran Kabupaten Karimun

 Kebun Sekolah


Taman Sekolah

 Jalan menuju ke sekolah, cukup melelahkan jika harus turun ke bawah


Well, itu ajah deh foto-foto yang berhasil diupload. Tak sabar nak upload semuanya. Tak sabar menghadapi jaringan. Hehe. Semoga bermanfaat. Adaptasi yang baik-baik dari sekolah kawan.
Hujan adalah puisi
Rintiknya menandakan rindu melagukan sepi
Genangannya menarikan resah dimana nafas diproduksi hati kekasih
Sungguh, kusesali
Dikemudian hari puisiku layu
Tersebab hilang angan dan emosi


Tanjung Batu, Karimun, 18 November 2017




HUJAN

by on November 18, 2017
Hujan adalah puisi Rintiknya menandakan rindu melagukan sepi Genangannya menarikan resah dimana nafas diproduksi hati kekasih Sungg...

Surprise. Seneng dan heran. Itu hanya beberapa ekspresi yang aku rasakan saat pagi hari minggu pintu rumah kami diketuk oleh seorang ibu. Beliau adalah orang tua salah satu siswa di sekolahku. Dia datang khusus mengantarkan sebuah kantong plastik berisi bahan makanan. Setelah beliau pergi, aku langsung membuka bungkusan itu.

Seekor ayam kampung (yang aku perkirakan itu seekor seusai mencuci bersih beberapa kali), ayam kampungnya sudah dipotong-potong dan juga dibersihkan. Jadi kerjaanku lebih ringan karena hanya tinggal membersihkan tahap akhir. Setelah itu siap untuk diungkap. Selain ayam kampung ada juga sesisir pisang yang jumlahnya 15 buah (Sempat-sempatnya aku menghitung jumlah pisangnya itu ya. Heheh). Tersebab aku menyukai pisang dan di sini buah-buahan dihitung perbuah harganya. Ada juga sekotak kecil teh celup dan sekilo gula serta dua buah tempe.

Aku benar-benar terharu. Hal ini mengingatkanku pada satu tempat di pelosok Papua, tempat aku mengajar dulu. Kalau lihat guru berjalan saja sudah dibantuin. Dari jauh dipanggilin hanya untuk memberikan sayur, jagung dan ubi. Seneng, bangga plus makin semangat jadi guru. Bukan karena harga dari pemberiannya, melainkan nilai dari pemberian itu. Keseriusan dan kasih sayang mereka pada guru. Terlebih kita anak rantau jauh dari orang tua.

Aku sempat berpikir, ada ya di Tanjung Batu Kota begini yang sudah cukup maju, orang tua masih memberi guru dan perhatian tanpa peduli ada tidaknya momen seperti di kampung-kampung. Ternyata ada. Bagi mereka yang benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan kehidupan yang dijalani seorang anak rantau.

Terimakasih banget buat Mamaknya Rafi dan juga Rafi yang telah hadir dalam kehidupanku di tempat tugas baru ini. Memang terkesan sedikit lebay bagi kamu yang gak pernah merasakan merantau dan dikasihi oleh orang lain di daerah rantau. Makasih juga buat mama dan bapa di Papua serta om dan tante, kakak dan adik-adik yang pernah mengisi hari-hariku dengan kasih sayang.

Tamu di Pagi Minggu

by on November 17, 2017
Surprise. Seneng dan heran. Itu hanya beberapa ekspresi yang aku rasakan saat pagi hari minggu pintu rumah kami diketuk oleh seorang ib...
Jum'at, 6 Oktober 2017 yang lalu adalah hari ketiga aku berada di sekolahku yang baru. Tempat dimana aku ditugaskan dan sah mendapatkan SK Cpns. Sebuah sekolah bernama SDN 10 Kundur yang terletak di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Hari itu, aku diminta untuk mengisi kegiatan IMTAQ. Aku pun tak perlu pikir panjang. Pada kesempatan itu aku diminta pula untuk bercerita tentang pengalamanku selama mengajar di Papua.

Alhamdulillah. Aku mengangkat tema bersyukur. Pada kesempatan itu, aku bercerita tentang bagaimana anak-anak dan guru di sana bertahan hidup dan terus memompa semangat belajar dan berkarya meski berada di tengah-tengah keterbatasan. Aku menyampaikan bahwa kita semua harus senantiasa bersyukur dengan apa yang kita miliki dan terus semangat menatap masa depan.



Saat itu, halaman sekolah sedang dalam proses pemasangan paving block sehingga kegiatan dilaksanakan di teras kelas. Tak peduli dimanapun tempatnya, menuntut ilmu tetap harus dilakukan. Ilmu apapun itu. Kali ini, sifat ala-ala motivatorku mulai keluar. Hobi ceramahku pun tersalurkan. Heheh. Aku begitu bersemangat setiap kali harus berbicara tentang semangat belajar, semangat bermimpi dan meraih cita-cita. Aku hanya berharap agar anak-anak dapat terus bersemangat menatap masa depan. Minimal, mereka yang tadinya malas datang ke sekolah bisa menjadi semangat. Yang tadinya malas belajar bisa lebih rajin. Yang tadinya nilai buruk bisa menjadi lebih baik. Tak ada yang tak mungkin selagi kita mau berusaha.

Mulailah masuk cerita-cerita positif dimana bersyukur terhadap segala sesuatu yang dimiliki adalah bagian dari meningkatkan keimanan dan ketaqwaaan. Mudah-mudahan anak-anak bisa mencerna dan mengamalkan apa-apa yang aku sampaikan dengan baik.

Foto waktu nungguin kereta di stasiun pasar senin hendak menuju Jogja

Iseng-iseng aku buka file foto-foto perjalanan yang pernah aku lalui. Alhamdulillah, kesempatan demi kesempatan untuk mengunjungi tanah orang dapat terwujud dengan cara-cara yang tak terduga. Semuanya adalah kesyukuran maha agung dari sang maha berkehendak. 

Setiap perjalanan tentunya menghadirkan cerita dan hikmah tersendiri. Lalu, apa sesungguhnya yang ingin kau dapatkan dari sebuah perjalanan? Pendapat kita mungkin akan berbeda. Jika boleh aku berpendapat dan nantinya kemudian ada kesamaan, itu artinya ada orang lain selain diriku yang berperasaan sama. Baiklah, silahkan simak perasaanku berikut ini.

1. Liburan
Ini adalah alasan utama yang biasanya kulakukan jika melakukan suatu perjalanan. Dunia kerja dan kehidupan yang begitu menguras energi, membuatku membutuhkan energi baru untuk kembali beraktivitas normal sebagaimana biasanya. Suasana baru yang akan membuat hati dan pikiran menjadi lebih baik. Belum lagi jika di-list satu per satu permasalahan hidup yang kualami. Rasanya dedek lelah, Bang. Hahah. Perlu banget liburan.

Untuk yang ini, benar-benar harus menyiapkan budget khusus dan perhitungan yang matang agar perjalanannya menyenangkan dan memuaskan. Diperkirakan lama perjalanan dan tempat-tempat yang akan dikunjungi sesuai budget. Ini enaknya nabung jauh-jauh hari agar perjalanannya puas dan ketika mengeluarkan uangnya enakan. Apalagi kalau dalam jumlah yang besar.

2. Sekalian kerja
Mungkin ada banyak pekerja yang bakal setuju dengan hal ini. Kalau harus menunggu waktu libur, mungkin akan susah. Apalagi kalau harus menentukan jadwal kosong yang sama sekeluarga. Harus direncanakan matang-matang dan jauh hari. Nah, kalau sekalian kerja, kadangkala asyik dan cukup memuaskan. Seperti pengalaman aku selama mengabdi di pelosok Papua. Ini adalah perjalanan yang berbeda dan sulit untuk kulupakan. Dimana pekerjaan menjadi begitu ringan karena sangat menikmati. Bisa mengunjungi kampung-kampung di pelosok yang biasanya hanya bisa dilihat melalui layar televisi melalui program adventure atau kalau enggak ya karena ada kejadian mengerikan di daerah tersebut. Tentu saja ini harus pandai-pandai mencuri-curi waktu luangnya agar tugas utama dalam rangka kerja tetap berjalan dengan baik. Gak perlu budget khusus karena sekalian kerja. Sediakan budget secukupnya.

3. Pulang kampung
Nah, kalau yang ini biasanya kalau liburan atau lebaran tiba. Kalau yang gak punya kampung tentunya gak enak banget ya. Mana ada pulang kota. Heheh. Kalau aku biasanya pulang kampung ini kalau udah kepalang rindu berat sama rumah. Terutama mama dan papa. Yaudah, aku mah nekat aja ninggalin pekerjaan kalau kira-kira pekerjaannya bisa diatasi oleh orang lain. Suka keluar egoisnya pas di sini. Tapi kalau kampungnya jauh dari tempat kerja kan gak mungkin juga yak bisa kayak gini.

Pulang kampung sekalian refreshing. Kalau di dekat kampung kamu ada tempat wisatanya lebih enak lagi tuh. Uhh, bisa pulkam dan main-main. Cuci mata, cuci otak dan cuci hati. Heheh.

That’s all i think about what a reason someone to do a journey. Bagaimana menurut kamu? Sama gak? Aku lagi kangen nih melakukan perjalanan. Makanya aku bikin tulisan ini. Kalau kamu punya alasan lain, bantu aku tulis di komen ya biar tulisan ini bisa lebih lengkap dan aku bisa punya alasan lain mengapa aku harus melakukan sebuah perjalanan.