Adalah hal yang wajar jika semangat naik turun. Seperti iman. Banyak problematika dunia pendidikan yang menjadi catatan. Terkadang rumit memikirkannya. Jika orang-orang bilang tak usah dipikirkan, bagaimana pula tidak dipikirkan. Ia adalah hal yang setiap harinya dihadapi dan perlu dicari solusi. Tak jarang, kerap menyalahkan diri sendiri. Sudah benarkah aku menjadi seorang guru?

Pagi ini kala kubertemu dengan mereka, anak-anak harapan bangsa, pikirku pun kembali bergejolak. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku harus bersikap? Seyogyanya anak adalah urusan orang tuanya, tapi tak tampak seperti seidealnya. Anak-anak masih banyak yang datang ke sekolah lenggang kangkung sekena hati. Alih-alih berharap terjadi kemajuan padanya. Yang ada, tatapan kosong diberikannya kepadaku.

Hari masih sangat pagi. 
"Bu, raut pensil dulu ya." Begitu katanya saat aku baru saja memulai kelas. Entah mengapa, gampang sekali mendidik emosiku. Harusnya kan dari tadi sudah raut pensil sebelum aku masuk. Harusnya kan orang tua mengecek kebutuhan dan perlengkapan belajar anaknya. Tapi...sudahlah. Tak guna aku mengeluh. Tak mungkin pula kuceramahi panjang lebar yang mana maksud memberikan edukasi kepada kedua orang tua. Nyatanya, semua itu hanya keinginanku saja. Kemanjuan. Pembaruan. Hanya angan-angaku saja.

Kadang aku bosan. Muak. Ingin tukar suasana. Kulakukan bnayak hal. Kubuat program diri lebih banyak dan bervariasi. Ternyata, satu pun Allah belum ridho. 

Seseorang diuji sesuai kadar kemampuannya...dan aku tak tahu apakah aku mampu dan terus kuat. Selalu kupikir, sampai titik mana Allah ingin mengujiku. Berapa lama lagi? Tapi aku takut pula kufur nikmat. 

Pagi...kuharap, selalulah terang. Mentari, tolong jangan hilang. Allah, bantu kuatkan. Hasbunallah wa nikmal wakil nikmal maula wa nikman nashir.

Ruang Kelas 2,
21 Maret 2022

Bingung

by on Maret 21, 2022
Adalah hal yang wajar jika semangat naik turun. Seperti iman. Banyak problematika dunia pendidikan yang menjadi catatan. Terkadang rumit mem...

 


Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan. (Hal 6)

 

Itulah yang dialami Rudi. Pada usia yang masih remaja, ia harus menghadapi banyak pengalaman hidup. Yang awalnya sangat susah diterima oleh rasa dan logika. Bagaimana tidak? Semua keindahan hidup dan kasih sayang dari orang tersayangnya, ia dapatkan secara penuh. Namun kemudian satu per satu pergi. Ayahnya yang berprofesi sebagai peternak ayam mengalami kebangkrutan. Tak lama setelahnya, ibu meninggal dunia karena sakit. Tapi Rudi merasa masih punya kekuatan yaitu ayahnya. Namun berselang seminggu, rupanya ia harus pula ‘kehilangan’ ayah yang sangat dibanggakannya.

Tak ada lagi ayah yang dengan bangga ia ceritakan. Tak ada lagi ayah yang menjadikan hidupnya hidup. Tak ada lagi ayah yang selalu siap berbagi ilmu dengannya. Tak ada lagi ayah yang sesibuk apapun selalu berusaha meluangkan waktu untuk bermain bersama anaknya. Tak ada lagi ayah yang akan bersegera memeluknya ketika ia dalam ketakutan dan mengajarkannya untuk menjadi seorang pemberani. Meski fisiknya masih ada, bagi Rudi, ayah bukan lagi ayahnya. Tak ada lagi cinta yang terpancar dari ayah. Ayah sudah banyak berubah semenjak kepergian ibu.

Ayah tak kunjung selesai dengan perasaannya. Semakin hari semakin aneh.  Saking cintanya ayah kepada ibu, ayah terus berhalusinasi. Hal itu membuat Rudi khawatir dan takut.

“Hei, kenapa kayak dikejar hantu?”

“Ayahku, Pak! Ayahku ….”

“Kenapa dengan ayahmu?” Pak Sadli sudah mulai menangkap arti kepanikanku.

“Ayahku bicara sendiri!”

“Kita harus membawanya ke dokter jiwa secepatnya!”

(Hal 52-53)

Rudi tak bisa menerima kenyataan bahkan ketika ayahnya harus segera dibawa ke rumah sakit. Hingga akhirnya, Rudi bahkan Pak Sadli harus menjadi korban atas kegilaan ayahnya. Pak Sadli adalah guru sekaligus tetangga yang peduli pada Rudi. Ayah Pak Sadli yaitu Pak Ramli, meninggal dalam pelukan Rudi. Pak Ramli yang seorang pemabuk, sempat mengucapkan kata ‘Nak’ dan ‘terimakasih’ pada Rudi. Kata yang tak pernah ia dapatkan sebagai seorang anak. Yang konfliknya berhubungan erat dengan kehidupan Rudi dan orang tuanya. Kenyataan menyakitkan lainnya adalah bahwa menjenguk ke rumah sakit pun Rudi tidak diperbolehkan. Ia tak tahu kapan ayahnya bisa sembuh. Ia benar-benar kehilangan ayahnya.

Di kelas, Pak Sadli sering mengingatkan kisah nenek Mallomo yang bernama asli La Pagala sebagai contoh kejujuran hidup yang diselipkan sebagai nasihat dalam novel ini. Nenek Mallomo adalah seorang lelaki dan cendikiawan muslim yang sangat berpengaruh di Kerajaan Sidenreng Rappang. Ia adalah penasihat kerajaan yang dengannya semua urusan menjadi mudah.

Ketika Kerajaan Sidenreng Rappang dilanda kemarau panjang pada abad ketujuhbelas, nenek Mallomo dimintai pendapat. Ia mencium aroma ketidakjujuran yang nyatanya dilakukan oleh anaknya sendiri. Nenek Mallomo pun harus berbesar hati. Sang anak harus direlakan sebagai tumbal kemarau kutukan yang dialami kerajaan.

“Jika kalian ingin cerdas, jujurlah! Karena kejujuran adalah kecerdasan yang sudah mulai langka. Kejujuran bukan gunung batu. Kejujuran bisa diperbarui. Mulailah!” (Hal 32)

Jujur itu akan menyakitkan awalnya. Tapi lama kelamaan akan hilang pahitnya. Hal ini menjadi ingatan bagi Rudi kala ia melakukan kebohongan dalam sebuah lomba fotografi demi menyenangkan hatinya. Sebagai obat kehilangan dan menemukan sesuatu yang lain. Pak Sadli bangga pada sikap Rudi dan terus mendukungnya untuk kuat.

Pemilihan Rudi sebagai tokoh utamanya membuat penekanan tersendiri bahwa penulis memiliki perhatian khusus terhadap dunia remaja lelaki. Sebagaimana novel Sajak Rindu (2017) dan Sabda Luka (2018) yang juga tokoh utamanya remaja lelaki. Remaja lelaki yang menanggung rindu pada ayahnya. Dimana ia membutuhkan sosok ayah sebagai energi dalam ketegarannya menghadapi hidup. Dimana rindu terhadap ayah selalu ada meski ia tak bisa menyatakannya lewat kata-kata.

Hadirnya guru sebagai tokoh pendamping utama dalam novelnya ini semakin memperindah alur cerita akan peran guru dalam kehidupan siswanya. Jelas ini karena sentuhan penulis yang juga berprofesi sebagai guru ini begitu melekat. Ketika orang tua tak lagi bisa menjadi penopang utama bagi seorang anak, gurulah yang seharusnya hadir. Guru, digugu dan ditiru – kebaikan serta semangat juangnya.

Guru yang seorang lelaki dan juga mengalami pergolakan batin pada ayahnya, menjadi semacam penguat bagi Rudi bahwa lelaki harus kuat serta tegar.

“Saya bukan laki-laki yang berpantang menangis. Kalau kamu mendapati mataku basah dan terus terbendung di kelopaknya tanpa bisa menitik, itu karena porsi air mata untuk kasih sayang ayah memang hanya setitik. Air mataku lebih menderas saat saya harus menyesali mengapa dulu saya harus membenci ayah. Ya, saya pernah membencinya.” (Hal 61)

Semarah apapun pada ayah,  jangan pernah membencinya. Jika tidak, sesal kemudian tak dapat mengembalikan masa. Cara terbaik untuk menerima kenyataan ayah yang tak seperti harapan adalah dengan tidak mengusirnya dari pikiran serta tidak mengurung diri dari kenangan.

Novel remaja yang berlatar kampung bernama Allakkuang ini juga membawa kita menikmati mengenang masa kecil bersama orang tua. Menjelajahi pesona Sulawesi Selatan  yang boleh dicatat. Mulai dari perbukitan dan pegunungannya yang indah, bau busuk peternakan ayam sebagai usaha masyarakat, batu nisan dan cobekan hasil olahan batu gunung, Lapangan Monumen Andi Cammi, Masjid Agung, Masjid Terapung Amirul Mukminin, Cotto Makassar,  Pantai Losari dan lainnya. Bagi perantau Bugis, ini tentu momen merindukan.

              Ada satu hal menarik lainnya yang diselipkan penulis di novel ini meski sedikit. Yaitu sains dan kreativitas yang diajarkan ketika pramuka. Ilmu tentang membuat tali dari pelepah pisang. Pelepah pisang yang mengering direndam air beberapa menit agar tak mudah putus. Setelah itu dicarik kecil menjadi tiga utas. Salah satu ujungnya kemudian diikat untuk menyatukan tiga carikan pelepah itu. Selanjutnya, ketiga utas tali itu disilang seperti akan mengepang. Terakhir tali dipelintir di paha. (hal 143)

Secara keseluruhan, novel ini patut diacungi jempol dan tak heran jika menjadi juara pertama pada kompetisi menulis novel remaja tahun 2019 oleh Penerbit Indiva ini. Kehadiran ayah hari ini yang juga menjadi fenomena khusus. Ayah tidak hanya sekedar fisik, tapi ia adalah hati dan juga jiwa. Ayah hadirnya tak sekedar menjadi pelengkap bagi ibu. Meski dalam agama islam, porsi penyebutan ayah jauh lebih sedikit daripada ibu. Tapi selayaknya lah ayah harus menjadi ayah sesungguhnya. Bakti seorang anak kepada ayah tak berbeda dengan baktinya kepada ibu. Tanpa ayah dan ibu, tak kan ada seorang anak.

Gambar sampul novel remaja ini juga unik. Seorang remaja lelaki yang tengah memejamkan mata dengan poni terulur hingga ke bawah mata. Seakan mencerminkan masalah demi masalah yang dihadapinya. Namun, kepala tetap tegar ke atas itu menggambarkan bahwa ia harus tetap kuat.

Salah, masalah dan masa lalu milik semua orang. Sementara masa depan harus terus diperjuangkan. Itu yang dilakukan Rudi di akhir novel ini. Ia menyerahkan seluruh keadaan pada Tuhan. Ia meninggalkan kampung halaman dan melanjutkan pendidikan. Ia harus terus hidup. Demi ayah.

Pulau Kundur, Kepulauan Riau, 2021


Judul buku        : Ayah, Aku Rindu

Penulis               : S.Gegge Mappangewa

Penerbit            : PT.Indiva Media Kreasi

Halaman           : 192 hal

Harga                 : Rp. 45.000



        Pernahkah sebagai guru merasakan bahwa anak murid seperti tidak memahami soal atau bacaan yang diberikan? Kemudian coba kita dampingi kembali untuk memahami soal atau bacaannya. Namun, masih juga mengalami kendala dalam memahami soal dan bacaan tersebut. Belum lagi ketika diberikan sebuah soal atau permasalahan yang sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru. Anak-anak mulai kebingungan harus memulai darimana dan bagaimana menyelesaikannya. Bagaimana perasaanmu sebagai guru? 

        Ini tentunya bukan hanya catatan besar bagi seorang guru. Melainkan, tanggungjawab bersama antara guru dan orang tua di rumah. Permasalahan memahami soal dan bacaan tentunya berakar dari kualitas dan atau intensitas membaca itu sendiri.

Membaca Adalah Sebuah Proses Perkembangan

        Soemadayo (2011) dalam bukunya Strategi dan teknik pembelajaran membaca menjelaskan, ada dua hal yang perlu diperhatikan guru dalam mencamkan bahwa membaca sebagai proses perkembangan, yaitu pertama, guru harus sadar bahwa membaca merupakan sesuatu yang diajarkan dan bukan terjadi secara insidential dan kedua, meyakinkan bahwa membaca bukanlah subjek melainkan suatu proses.

        Seseorang yang melakukan kegiatan membaca, tidak lantas kemudian dikatakan seorang yang giat membaca. Karena, seharusnya kegiatan membaca melahirkan suatu perkembangan pola pikir. Proses itu secara terus menerus berkembang hingga mencapai pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu soal atau permasalahan dalam belajar. Sehingga, tidak lagi ada kata tidak bisa atau tidak paham dari seorang anak jika ia ‘benar’ membaca. Guru harus terus menerus memberikan motivasi, mengajarkan dan mendampingi kegiatan membaca di sekolah. Berbagai inovasi pun dirancang agar menarik minat anak murid. 

        Di sisi lain, orang tua juga perlu memahami bahwa minat baca anak ini bukan hanya tugas guru. Kedua hal di atas juga harus menjadi catatan penting bagi orang tua. Motivasi yang pertama justru harus hadir di lingkungan keluarga. Keluarga yang gemar membaca, akan menciptakan anak-anak yang dekat dengan buku pula. Sehingga, membaca ini tak lagi menjadi sebuah kebiasaan atau malah sekedar paksaan. Membaca sudah menjadi budaya dalam lingkungan keluarganya. Ini semua dimulai dari didikan orang tua.

        Lantas, bagaimana orang tua yang tak bisa membaca? Atau mungkin tak paham akan peranan penting membaca bagi perkembangan anaknya? 

        Belajarlah! Bertanyalah! Cobalah! Kepada mereka yang menjadikan membaca sebagai budaya positif di keseharian keluargnya. Tak ada salahnya juga, sembari mendampingi dan mengajarkan anak untuk dekat dengan buku, orang tua juga belajar. Belajar bagaimana caranya membaca. Belajar berbagai macam teknik membaca. Orang tua dan guru harus belajar dan mengimplementasikannya bersama. Menjadi contoh teladan agar anak terus sabar berproses sepanjang hayat.

Sinergisitas, Memaksimalkan Peran Masing-Masing

        Jika masing-masing –orang tua– dan guru sudah satu frekuensi dalam memahami kegiatan membaca sebagai sebuah proses perkembangan, perlulah terus dipupuk sinergisitas dalam memaksimalkan perannya. 

            Orang tua dan guru adalah satu kesatuan yang harus berjalan bersamaan. Orang tua memiliki hak biologis terhadap anak. Sementara guru adalah orang tua secara fisik ketika berada di sekolah. Keduanya harus saling bersinergi agar anaknya kelak menjadi orang berilmu pengetahuan luas. Seorang anak yang ibarat pepatah lama seperti padi, makin lama makin merunduk. Semakin berilmu, semakin baik akhlaknya.

        Lalu, apa saja yang bisa dilakukan oleh orang tua dan guru secara bersamaan? Ketika berada di sekolah, guru menerapkan beberapa pembiasan. Salah satunya adalah pembiasaan membaca buku 15 menit sebelum belajar. Buku ini adalah buku non teks pelajaran.

        Berupa cerita baik bergambar maupun tidak yang dapat menarik minat siswa. Lalu, sekolah dalam kegiatan gerakan literasi membuat gebrakan-gebrakan menarik. Dibuatlah pojok baca semenarik mungkin di setiap kelas. Adanya pojok baca di area tunggu orang tua. Adanya perpustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku. Masih banyak lagi inovasi yang senantiasa dilakukan.

        Begitu kebiasaan ini telah dilaksanakan oleh guru dan menjadi sebuah budaya sekolah, hendaknya orang tua di rumah pun melakukan hal yang sama. Orang tua bisa menyediakan sarana buku cerita yang tak kalah menarik dengan koleksi sekolah. Lalu mendampingi anak dalam membaca buku, memilihkan buku-buku yang cocok untuknya, melakukan diskusi, atau sekedar mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah. Sesekali pergilah piknik ke toko-toko buku dan lingkungan yang kaya akan budaya baca. Dapat dipastikan, semua aktivitas anak slalu dalam pantauan orang tua. Sehingga pembiasaan yang dilakukan di sekolah, sama terjaganya dengan pembiasaan di rumah.

        Jika demikian keadaannya, maka hasil penelitian yang mengatakan Indonesia berada dalam urutan kedua terbawah dalam hal minat baca akan berubah posisi hitungan dari atas.

Tanjungbatu, 19 Juli 2019


Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul tiga sore. Anak-anak yang berencana datang ke rumah sore ini belum juga muncul. Biasanya dari jauh suara mereka sudah terdengar. Paling sebentar lagi mereka akan tiba. Gumamku dalam hati.
Benar. Suara sebuah motor berhenti. Aku mengintip dari jendela. “Anak ini.” Kataku dalam hati. Lalu kubukakan pintu. Ia tersenyum sumringah.
“Jasmin, kamu kan masih sakit.” Ucapku ketika dia turun dari motor. “Pak, saya sudah katakan pada Jasmin bahwa ia tak perlu datang sore ini. Ia bisa istirahat di rumah.” Kataku kepada bapaknya Jasmin.
“Iya, Bu. Saya juga sudah katakan. Tapi katanya ia mau ke sini sore ini. Belajar kan, Bu?”
Aku mengangguk. Beberapa detik kemudian ayah Jasmin sudah tak tampak lagi jejaknya. Aku mempersilakan Jasmin untuk masuk ke dalam rumahku.
Sore ini, seperti biasanya aku mengajak anak-anak untuk bersenang-senang bersama buku. Kadang kala kami bercerita, menulis cerita, menggambar, berpuisi, melakukan percobaan dan apa saja yang bisa membuat kami senang. Hitung-hitung berakhir pekan bersama tanpa perlu khawatir salah dan ada penilaian. Tentunya tanpa biaya.
Jasmin asyik memilah-milah buku. Pelan-pelan kutanya alasan mengapa ia tetap datang sore ini. Kulihat dagu bagian bawahnya masih merah. Tadi di sekolah ia jatuh pingsan. Tersungkur. Dagu bagian bawahnya dan beberapa bagian di tangannya terluka. Dagunya dibiarkan terbuka sehingga warna merah darah yang belum kering masih terlihat jelas.
“Lebih asyik di sini, Bu. Bisa baca-baca buku. Bertemu dengan teman-teman. Kalau di rumah capek, Bu.” Jawabnya polos.
“Kok capek? Memang ngapain?”
Ia pun bercerita bahwa di rumah ia harus melakukan banyak pekerjaan. Menyapu, membersihkan sekeliling rumah, mencuci piring, memasak, dan lain-lain. Aku terenyuh.
“Kamu melakukan itu semua?”
“Iyalah, Bu. Siapa lagi yang akan melakukannya?” katanya santai
Mendadak bulir-bulir hangat di ujung kedua mataku hendak keluar. Tapi kutahan. Aku tak boleh terlihat rapuh di hadapannya yang berusaha tegar. Aku juga tak boleh bersedih dan merasa kasihan kepadanya yang tak ingin dikasihani. Ia hanya butuh dikuatkan.
Terbayang olehku, dalam usia yang masih kecil begini, ia harus melakukan banyak hal. Ia harus bersahabat dengan keadaan keluarganya. Kubandingkan dengan aku dulu. Waktu kukecil, aku tak merasa terbebani dengan keadaan keluargaku. Aku menikmati waktu bermain dan belajarku sepulang sekolah hingga senja menjemput. Aku tak kekurangan satu apapun. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Ibu dan ayah selalu ada setiap kubutuhkan. Bahkan, ibuku adalah energi yang tak pernah habis. Ialah cahaya yang tak pernah redup.
Masih terngiang percakapan kami tadi pagi ketika ia jatuh. Ia belum makan bahkan sejak malam. Ia juga tak memegang uang ketika ayahnya sedang bertugas di luar. Kupikir, tak ada maksud apapun dari sang ayah terhadap kedua anaknya. Kusaksikan tiap hari, ayahnya begitu perhatian. Mengantar dan jemput ke sekolah. Juga mengantarkan makanan dan uang jajan untuk Jasmin dan adiknya.
Tapi itulah, bak kata orang tuaku. “Patah kaki sebelah jika tak ada ibu di sampingmu.” Aku nangis bila mengingat kalimat itu. Terbayang ibuku di rumah dan betapa aku masih sering kesal terhadap hal-hal yang kami tak bisa sepakat.
Kita sebagai anak, mungkin pernah merasa kesal terhadap ibu kita. Tapi, kesal yang kita alami mulai sekarang hendaknya perlu diminimalisir. Kita tak pernah tahu kapan waktu kita bersama orang tua akan berakhir. Manusiawi jika ingin marah dan merasa ada hal-hal yang bertolak belakang dengan diri kita. Mengalahlah! Bersabarlah! Kita adalah seorang anak. Bahkan sebesar ini, aku tak sanggup bila dihadapkan pada keadaan anak tersebut.
Ini juga kelak menjadi pelajaran bagikku. Jika suatu hari allah titipkan amanah menjadi seorang ibu. Betapa, ibu punya peranan penting yang tak dapat digantikan oleh siapapun. Tak juga oleh ayahnya meski tercukupi segala kebutuhan. Tak juga asisten rumah tangga bahkan keluarga.
“Ibu meninggal dunia karena sakit, Bu. Sekitar tiga tahun yang lalu.”
Hatiku tersayat. Mataku basah. Tapi ia masih tegar menceritakan hal itu semua kepadaku. Tanpa airmata.


Ruang rindu, 17 November 2019

KETIKA TIADA IBU DI SISI

by on November 18, 2019
Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul tiga sore. Anak-anak yang berencana datang ke rumah sore ini belum juga muncul. Biasanya dari j...
Beberapa waktu yang lalu aku berkesempatan jalan ke Urung, Kundur Utara. Rencananya kami hanya mengunjungi Fajriah, temanku dari Aceh yang dapat tugas di sana. Selama di Kundur, kami belum banyak mengunjungi tempat-tempat lain selain di Tanjung Batu Kota.

Perjalanan kami tempuh menggunakan motor dengan waktu sekitar tiga puluh menit. Sesampainya di tempat Fajriah, aku dan Ana sempat ngobrol-ngobrol ringan dan lepas kangen. Setelah itu kami berjalan mengunjungi sekolahnya Fajriah yang letaknya tak jauh dari pelabuhan Urung. Aku terpesona sama sekolahnya. Wajar jika sekolah ini mendapat peringkat sekolah sehat nomor 2 nasional pada tahun 2017.

Semua unsur sekolah ada di sekolah itu. Lengkap. Ruang kelas, majelis guru, toilet, perpustakaan, musholla, taman, kantin dan kebun. Warna cat sekolahnya meriah dan mewakili perasaan gembira. Orang yang masuk ke sekolah itu pun menjadi ceria dan bahagia. Sekolah ini menurutku sangat inspiratif dan motivatif. Aku berusaha merekam setiap sudut di sekolah ini di dalam memori otakku dan juga memori handphone. Berkali-kali aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku bisa mengadaptasi semua hal baik dari sekolah ini untuk diterapkan di sekolahku.

Berikut ini beberapa gambar yang sempat aku abadikan selama mengunjungi sekolah tersebut.
Penampakan dari ketika pertama masuk


Lorong kelas. Di setiap tiang kelas ditempelin asma ulhusna, dilengkapi wastafel, Dinding-dinding luar dihiasi gambar-gambar motivasi dan kutipan bermakna. Ada tong sampah dan bunganya juga.



 Pojok baca di depan musholla

Pojok baca yang membuat siswa semakin semangat membaca 


Cuman bisa jepret isi perpustakaan dari luar jendela



Doa sebelum wudhu

Doa setelah wudhu

 Kata-kata motivatif di sekitaran kantin



 Kata-kata motivasi menuntut ilmu di dinding luar kelas

 Peta kecamatan di sekitaran Kabupaten Karimun

 Kebun Sekolah


Taman Sekolah

 Jalan menuju ke sekolah, cukup melelahkan jika harus turun ke bawah


Well, itu ajah deh foto-foto yang berhasil diupload. Tak sabar nak upload semuanya. Tak sabar menghadapi jaringan. Hehe. Semoga bermanfaat. Adaptasi yang baik-baik dari sekolah kawan.
Hujan adalah puisi
Rintiknya menandakan rindu melagukan sepi
Genangannya menarikan resah dimana nafas diproduksi hati kekasih
Sungguh, kusesali
Dikemudian hari puisiku layu
Tersebab hilang angan dan emosi


Tanjung Batu, Karimun, 18 November 2017




HUJAN

by on November 18, 2017
Hujan adalah puisi Rintiknya menandakan rindu melagukan sepi Genangannya menarikan resah dimana nafas diproduksi hati kekasih Sungg...

Surprise. Seneng dan heran. Itu hanya beberapa ekspresi yang aku rasakan saat pagi hari minggu pintu rumah kami diketuk oleh seorang ibu. Beliau adalah orang tua salah satu siswa di sekolahku. Dia datang khusus mengantarkan sebuah kantong plastik berisi bahan makanan. Setelah beliau pergi, aku langsung membuka bungkusan itu.

Seekor ayam kampung (yang aku perkirakan itu seekor seusai mencuci bersih beberapa kali), ayam kampungnya sudah dipotong-potong dan juga dibersihkan. Jadi kerjaanku lebih ringan karena hanya tinggal membersihkan tahap akhir. Setelah itu siap untuk diungkap. Selain ayam kampung ada juga sesisir pisang yang jumlahnya 15 buah (Sempat-sempatnya aku menghitung jumlah pisangnya itu ya. Heheh). Tersebab aku menyukai pisang dan di sini buah-buahan dihitung perbuah harganya. Ada juga sekotak kecil teh celup dan sekilo gula serta dua buah tempe.

Aku benar-benar terharu. Hal ini mengingatkanku pada satu tempat di pelosok Papua, tempat aku mengajar dulu. Kalau lihat guru berjalan saja sudah dibantuin. Dari jauh dipanggilin hanya untuk memberikan sayur, jagung dan ubi. Seneng, bangga plus makin semangat jadi guru. Bukan karena harga dari pemberiannya, melainkan nilai dari pemberian itu. Keseriusan dan kasih sayang mereka pada guru. Terlebih kita anak rantau jauh dari orang tua.

Aku sempat berpikir, ada ya di Tanjung Batu Kota begini yang sudah cukup maju, orang tua masih memberi guru dan perhatian tanpa peduli ada tidaknya momen seperti di kampung-kampung. Ternyata ada. Bagi mereka yang benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan kehidupan yang dijalani seorang anak rantau.

Terimakasih banget buat Mamaknya Rafi dan juga Rafi yang telah hadir dalam kehidupanku di tempat tugas baru ini. Memang terkesan sedikit lebay bagi kamu yang gak pernah merasakan merantau dan dikasihi oleh orang lain di daerah rantau. Makasih juga buat mama dan bapa di Papua serta om dan tante, kakak dan adik-adik yang pernah mengisi hari-hariku dengan kasih sayang.

Tamu di Pagi Minggu

by on November 17, 2017
Surprise. Seneng dan heran. Itu hanya beberapa ekspresi yang aku rasakan saat pagi hari minggu pintu rumah kami diketuk oleh seorang ib...