Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan


            
            Mak, De sedih tengok mak macam ni. Mencuci baju dan menyapu rumah orang,” suara Dede terdengar pelan seketika mak yang sedang mengurut kaki menatapnya heran. “Sedih juga tengok ayah kerja sampai petang. Kerja pada kapal orang. Belum nak bayar sewa dan apalagi musim gelombang tiba. Jantung rasa nak copot. Tak sesuai pengorbanan dengan duit yang didapat.”

Mendengar kalimat anaknya, mak tertawa. Kemudian menanggapi santai, “Pandai pula kau berkata macam tu. Mak tak masalah. Ayah kau apalagi. Yang penting kita bertiga bisa selalu bersama. Dia sangat sayang sama kita.”

“De nanti nak jadi kapten kapal keluar negeri ya, Mak. Biar mak dan ayah tak payah kerja macam ni lagi.” Diputar-putarnya kakinya di lantai. Sesekali membuang pandangan keluar. Tak jauh di depan sana, pompong antar pulau bolak balik tiada henti. Mak hanya menggeleng.

*

Pagi itu Dede dan mak sedang memungut udang di tepi laut. Udang yang didapat biasanya direbus begitu saja. Lalu dimakan dengan sambal dan nasi hangat. Pulangnya singgah sebentar melewati halaman rumah Makcik Leha. Dia orang baik yang selalu membolehkan mak memetik daun pucuk ubi.

Belum lagi jauh meninggalkan rumah Makcik Leha, seorang perempuan yang usianya diperkirakan melebihi usia mak menghampiri dengan sinis.

“Kapanlah kau nak bayar hutang yang sudah menumpuk ni?”

Itu pertama kali Dede mengetahui keadaan mak. Selama ini, Dede tak pernah mendengar mak ditagih hutang meskipun hidup mereka serba pas-pasan. Tapi nyatanya setelah hari itu, semakin banyak kabar yang ia ketahui tentang mak. Suara-suara miring tentang mak kerap kali didengarnya. Mak yang suka berhutang. Mak yang suka meminta. Mak yang suka berbohong. Sungguh itu membuat ia tertekan. Malu. Sering ia bertanya apakah ia memang harus menanggung beban sebagai seorang anak miskin?

Sering pula diamatinya penyebab mak melakukan hal tersebut. Tak lain karena mak memang tak memiliki duit. Tapi keinginan mak untuk memberikan kehidupan yang layak padanya sangat besar, sebagaimana orang tua lainnya. Mak ingin Dede bisa menyelesaikan sekolah dasarnya dengan baik dan kemudian melanjutkan belajar di pondok pesantren tahfiz. Mak ingin ia menjadi seorang penghapal quran.

“Tapi kalau De bisa menjadi kapten kapal besar keluar negeri, kita bisa punya banyak uang, Mak. Tidak hidup macam ni,” kata Dede suatu ketika. Mendengar kalimat Dede yang lantang, mak menegang. “De…tak mau…terus diejek,” air mata Dede meleleh. Semakin lama bulir hangat di ujung matanya itu mengalir semakin deras. Mak menyandarkan tubuhnya ke dinding. Menarik nafas.

Tak jarang Dede mengeluhkan ayahnya yang serabutan di laut. Kadang bawa kapal sayur. Kadang bawa pompong sayur. Pergi ke pulau seberang sana sini. Penghasilannya tak bisa begitu diharapkan. Kapal yang dibawanya disewa dari seorang pengusaha di kampungnya. Setoran sewanya saja cukup besar. Daripada tak ada pekerjaaan, makanya ayah mengambil pekerjaan itu. Susah mencari pekerjaan meski di kampung sendiri. Apalagi memang tak punya harta warisan keluarga.

Pernah Dede berkelahi dengan ayah. Ia mengatakan bahwa ayahnya lemah. Ayah tak seperti ayah lainnya yang bisa memiliki banyak duit. Ayah kurang berjuang. Tak seharusnya seorang lelaki itu menyerah dengan keadaan. Seorang lelaki harus punya banyak cara untuk bisa membahagiakan keluarganya. Tak malah membuat mak nya ikut berpikir keras dan menderita. Entah darimana kalimat-kalimat tajam itu ia dapatkan. Saat itu pula tangan ayah mendarat di pipinya. Selama ini tak pernah ayah begitu.

Mak yang melihat keadaan tersebut berusaha menarik Dede. Ia masih menggeram. Terlihat ayah menyesal dan mengucapkan istighfar. Ia duduk di luar rumah. Mak menangis. Dede bilang ke mak bahwa mak tak akan menangis lagi jika ia menjadi kapten kapal raksasa ke luar negeri. Mereka tak akan melarat. Tak hanya membawa kapal sayur seperti ayah. Karena itu ia harus sekolah kapal.

Sejak saat itu, Dede tak hiraukan ayahnya lagi. Ia hanya mengingati mak. Tiap kali memandang wajah letih mak, ia semakin giat belajar. Berfokus agar nilai-nilainya bagus dan nanti bisa dapat beasiswa masuk sekolah perkapalan. Punya posisi bagus seperti ayah temannya. Mondar mandir keluar masuk Singapura, Malaysia, Thailand, Phillipina, Taiwan dan negara Asia lainnya. Lalu pulang ke rumah sembari membawa banyak makanan, jajanan dan juga mengajak keluarganya pergi liburan. Dede sungguh iri.

“Tak payah iri ke orang-orang yang nak kejar-kejar duit banyak. Tak dibawa mati. Lebih baik iri pada orang yang hapalan quran nya banyak. Kepada mereka yang ibadahnya bagus. Kepada mereka yang dermawan,”  mak terus tak sependapat dengan keinginan Dede.

Dede sudah berjanji pada mak untuk menjadi anak yang baik. Ia juga pelan-pelan berusaha menjaga salat sejak kecil dan membaca al-quran dengan baik. Tak akan jadi masalah jika ia tetap kerja kapal. Bukankah itu namanya seimbang dunia akhirat? Pikirannya menjadi semakin dewasa sejak berkelahi dengan ayah. Sejak saat itu pula, hubungannya dengan ayah semakin dingin. Sementara ayah masih tetap seperti biasa. Memperlakukannya dengan baik.

“Bu Ratna…cepat keluar!” tiba-tiba terdengar suara teriakan hebat dari luar. Dede yang masih tiduran terkejut. Seharusnya sepagi ini bukan waktu yang tepat untuk berteriak-teriak di rumah orang.

Dede mengintip dari celah dinding rumahnya. Seorang perempuan yang usianya sepantaran usia mak nya. Namun penampilannya jauh lebih baik. Ia masih menunggu di luar rumah sambil menopangkan tangannya di pinggang. Dede mencari mak nya ke seisi rumah. Tak ada. Apa mak pergi kerja lebih pagi? Hanya ayah saja yang masih terlentang dan membuat Dede kesal. Yang harus keluar sepagi ini seharusnya ayah. Bukan mak. Ia terus mengomel dalam hati.

Dari celah jendela itu pula, dikejauhan Dede melihat mak berjalan menuju rumah. Perempuan yang mencari mak nya tadi segera menghampiri mak. Sesekali didengarnya perempuan itu berteriak memaki. Mak hanya menunduk. Mak memberikan beberapa lembar uang kepadanya. Kemudian perempuan itu berlalu. Mak pun pergi lagi entah kemana.

Keadaan makin payah. Itu membuat Dede tiba-tiba tak bersemangat pergi ke sekolah. Ingin rasanya ia ikut mak bekerja hari itu. Tapi ia tak dapat buat apapun. Dibersihkannya seluruh isi rumah yang berdebu. Berharap nanti mak pulang bisa lebih senang. Sebuah kotak jatuh dari atas lemari ketika ia membetulkan posisi pintu lemari yang tak lagi baik. Dibersihkannya kotak unik tersebut. Lalu diletakkannya kembali ke tempat asal tanpa memperdulikannya.

Ayah tergesa-gesa keluar dari kamar. Meneguk segelas air putih, mengisi botol air nya dan membawa beberapa perlengkapan seperti handuk, baju ganti, sarung dan peci. Ayah memberikan pujian kepada nya karena ia adalah anak lelaki yang rajin. Dielusnya lembut rambut kusam Dede. Setelahnya, ayah mengucapkan salam.

Merasa bersalah karena tak sekolah, Dede membuka buku pelajaran seharian. Ia mengutuki dirinya sendiri mengapa tak pergi ke sekolah. Sementara perjuangan menjadi kapten kapal dan punya duit banyak masih panjang.

Menjelang sore, mak pulang dengan keadaan menyedihkan. Memar di wajahnya. Dede panik. Mak hanya bilang kalau mak tadi tak sengaja terjatuh dan tersungkur. Tapi ia bisa membedakan mana memar karena tersungkur dan mana memar karena dipukul. Diobatinya memar pada wajah mak.

Mak baru akan meluruskan kaki, seorang perempuan didampingi dua orang lelaki berwajah gelap terus mengetuk pintu rumah. Melihat wajah mereka, seakan hendak menerkam orang. Dede ketakutan. Ia berlindung di belakang tubuh mak nya.

“Kau kan yang curi gelangku? Aku tengok dengan mata kepala sendiri. Tapi cepat dan pandai kau menghilang. Mana kau letak gelang tu?” ibu tertangkap basah dengan foto yang ditunjukkan oleh perempuan itu.

“Aku…terpaksa,” jawab mak. “Sudah kujual…” mak mengaku. Dede terkejut mendengar pengakuan mak. Mak menjual gelang curian? Duit itu kah yang mak gunakan untuk pergi beli obat ayah minggu lalu?  Dede lemah menyaksikan mak dipukuli oleh orang-orang itu. Orang-orang itu juga mengancam akan memenjarakan mak jika mak tak mengembalikan gelangnya dalam dua hari kedepan.

Azan magrib berkumandang. Senja yang datang seakan memberi kabar bahwa gelap memang untuknya. Bukan cahaya bulan bintang apalagi mentari.

Seusai magrib, Pak Hasan, imam surau datang ke rumah. Ia bertanya mengapa magrib ini Dede tak ke surau. Tak hanya itu. Kabar lain yang lebih menyesakkan terpaksa ia dengar.

“Ombak hari ini membuat kapal yang dibawanya tenggelam. Sebentar lagi jenazahnya akan dibawa ke sini oleh orang-orang pelabuhan.”

Bisakah sekali saja Tuhan beri kebahagiaan kepada mak? Bisakah Tuhan sekali saja tolong De tak berprasangka buruk terhadapMu? Batin Dede menggigil. Sekalipun ia marah sama ayah, ia tahu mak tetap ingatkan ia tak boleh jahat kepada ayah. Mak slalu bilang ayah yang sayangkan mereka. Mak tetap bela ayah. Mak tak rela ia buruk-burukkan ayah. Mak tak ingin ia pergi melaut. Kapal besar kah, kecil kah. Mak tak pernah setuju.

Mak pingsan. Buruknya lagi, tak bisa berdiri entah sampai kapan. Mak stroke. Bicaranya tak jelas. Mulut dan kepalanya susah digerakkan. Hanya sesekali terdengar kata, “Quran…kotak….”

Sekarang Dede tak lagi berharap keinginannya menjadi seorang kapten kapal bisa terwujud. Yang ia harapkan saat ini adalah mak bisa sehat kembali dan mereka hidup bahagia. Ia juga berharap kelak bisa mewujudkan keinginan mak nya agar menjadi seorang penghapal al-quran. Ia janji akan selalu berada di dekat mak.

Fa inna ma’al – ‘usri yusroo…” suara Dede tertahan.

Mak menangis. Lalu berkata, “Ko…tak….”

Dede memastikan benar kata yang diucap mak nya itu adalah kotak. Ia bertanya-tanya tentang kotak yang disebut mak nya itu. Ia langsung mengingat posisi kotak yang sempat jatuh ketika membersihkan rumah.

Diambilnya kotak itu. Ia masih bertanya-tanya, apakah gerangan benda yang disebut-sebut oleh mak nya itu.

Dibukanya perlahan. Beberapa lembar foto lama dan lembaran surat. Diamatinya satu per satu foto yang ada. Mak memang cantik sejak muda. Foto itu memperlihatkan mak bahagia memeluk seorang lelaki berseragam kapten di sebuah kapal mewah berlatar belakang Singa muntah dan itu bukan ayahnya. Ada pula foto mak bersama lelaki yang sama di depan Menara Kembar sembari menggendong seorang bayi kecil. Tertanda 17 Agustus 2010 dan tertulis nama Ade Riski Pratama.

“De?”

Dibacanya surat demi surat yang ada. Penuh dengan kalimat-kalimat cinta dan sayang. Betapa lelaki itu pandai menghibur hati mak. Setelah itu, tak ada lagi kalimat-kalimat menyenangkan. Yang ada hanyalah pertengkaran. Di surat terakhir yang dibacanya, ia tertegun. Terimakasih sudah menjadi istri yang baik. Kulepas kau seutuhnya dan jangan cari aku lagi.

Pikiran Dede pun melayang bersama kenangan mak.

Dilihatnya mak yang sedang terbaring itu terus menangis.

 

Tanjungbatu, 17 Juni 2022

Terbit di Majalah Tamadun Kantor Bahasa Kepri Edisi 6 Tahun 2022

 

Laut dan Kisah di Dalamnya

by on September 26, 2023
                              “ Mak, De sedih tengok mak macam ni . Mencuci baju dan menyapu rumah orang,” suara Dede terdengar pelan seketi...

 


Masih terasa olehku betapa dinginnya air sungai Pasir Keranji. Aku terpaksa harus menyeberanginya dengan sangat cepat jika aku tidak ingin kehilangan nyawaku. Itu sama saja artinya aku akan melihat ibu dan adikku semakin menderita.

Berkat rasa takut yang luar biasa dan tentunya kehendak Tuhan, aku bisa meraih tepian sungai dan lalu mengasingkan diri dari tempat itu. Aku terpaksa harus melalui sungai itu lantaran tidak ada jalan lain yang bisa kutempuh saat pulang sekolah. Aku tersesat dalam jalan yang aku pun tidak tahu. Barangkali ini yang namanya eustress,  seperti yang pernah aku baca di sebuah buku motivasi. Tingkat stress yang mampu menciptakan sesuatu yang lebih positif. Aku yang tadinya tidak pandai berenang, akhirnya mampu menyeberangi sungai dan selamat.

Aku melangkahkan kakiku sedikit ke arah kanan. Tepat di depan sebuah pohon yang di bawahnya aku pernah menimbun sesuatu.

“Ternyata masih ada!” Aku membuka tutupnya dan membaca tulisan tersebut.

Suatu hari

Kan kuraih cita

Kubuktikan pada dunia

Aku juga bisa

Harapan yang aku pendam lama sampai akhirnya kembali aku hampir mati di tengah laut. Seorang anak SMP tanpa keahlian renang, selama dua hari dua malam berusaha mencapai tepian karena kapal yang ditumpangi karam. Di luar pikiran.

Lama aku merenungi kejadian-kejadian yang membuatku hampir mati di air. Hal ini menyadarkanku bahwa ternyata aku punya potensi dibidang renang. Aku pun kembali ke sungai. Kali ini sengaja untuk berlatih renang.

Perlahan-lahan sambil menangkap beberapa ekor anak ikan yang lewat di pinggiran. Aku terus menghentak-hentakkan kakiku sementara tanganku terus menggapai-gapai permukaan. Seminggu berlatih, aku menjadi mahir. Hal ini sangat membantuku. Aku menjadi salah satu nelayan muda. Aku bertekad untuk dapat menangkap ikan sebanyak mungkin dan menjualnya. Uangnya tentu saja untuk kebutuhan sehari-hari.

“Sepulang sekolah nanti aku akan latihan renang lagi karena besok akan ada kompetisi renang tingkat provinsi.” Terdengar suara Meiling, anak seorang kaya yang satu sekolahan denganku.

Kompetisi renang? Membayangkannya saja sangat menyenangkan apalagi memenangkan kompetisinya.

Perkataan Meiling tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Poster para atlit renang lainnya kini menjadi pajangan indah di kamarku. Renang menjadi salah satu kegemaranku.

“Yah, biasa-biasa sajalah, Nak! Orang susah gak mungkin menang. Cukup dengan nilai akademik yang tidak mengecewakan saja sudah.” Kata Ibu ketika aku berkali-kali mengulang kata renang.

“Ibu harusnya mendukung aku bukan malah mematahkan semangatku.”

“Ibu bukan mematahkan semangat tapi yang nyata-nyata saja.” Ibu tetap menyangkal dibilang mematahkan semangatku.

*

Berawal dari lomba renang antar kelas yang diadakan sekolah dalam rangka seleksi renang untuk kompetisi antar sekolah se-Kabupaten. Alhamdulillah, awal yang baik langsung menjadi juara ketiga. Walau tidak dapat mewakili sekolah, setidaknya ini langkah yang baik bagiku.

Pekan olahraga pelajar menjadi targetku. Latihan keras dan stamina yang prima menghantarkanku lulus seleksi tim provinsi. Mendengar hal itu dan melihat kesungguhanku, Ibu memberiku izin untuk mengikuti latihan rutin dan meninggalkan sekolahku untuk sementara.

“Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik!” Batin dan semangatku semakin membara.

Perjalanan ini membawaku ke dunia baru yang membuatku semakin dewasa menyikapi hidup. Untuk meraih apa yang kita inginkan pun butuh pengorbanan. Latihan yang ku lakukan demi cita-citaku menghantarkanku pada kondisi dimana aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena banyak nilai pelajaranku yang hancur. Tapi, disetiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Kompetisi nasional yang pertama kali aku ikuti berhasil membawa pulang medali emas.

Ku persembahkan buat ibu dan adikku juga semua yang telah mendukungku. Kemudahan lain juga aku dapatkan. Beasiswa untuk sekolah di tempat yang lebih bagus sampai aku tamat SMA,  uang saku dan juga tropi.

“Selamat ya, Nak. Lanjutkan perjuangan!” Kata Pak Slamet, guru olahraga yang juga kepala sekolah di SMA lamaku.

Tak lama setelah guru-guru dan beberapa orang teman menyalamiku, seorang rival renang sejak SMP sampai SMA menghampiriku.

“Aku yakin ini tidak akan bertahan lama. Tunggu saja kehancuranmu.” Kalimat ancaman yang cukup membuatku khawatir. Setelah dipikir-pikir, tidak ada gunanya mendengar orang seperti dia. Justru akan semakin menjatuhkan rasa percaya diri jika diingat-ingat.

Nyatanya rivalku tetap tidak bisa melampaui prestasi renangku kini. Ia justru terperangkap pada permainan yang membuatnya malu sendiri.

Hari ini aku dinobatkan sebagai atlit renang termuda se-Asia Tenggara. Untukmu Indonesia tercinta. Rasa haru dan bahagia ketika melihat merah putih berkibar.

“Ya, pulang yuk, Nak!” Sudah sore. Nita juga sudah menyelesaikan karyanya.” Kata Ibu membuyarkan lamuananku.

“Ya, Kak! Ta juga sudah selesai. Ini lukisannya.” Nita menunjukkan sebuah lukisan indah tentang sungai Pasir Keranji. Besok Nita akan mengumpulkan karyanya dan semoga ia menang.

Aku memasukkan kertas tadi kembali ke dalam botol. Aku merapikan tumpukan pasir tempat aku menimbun botol tadi. Sementara botol itu aku lempar ke sungai sekuat tenaga.

“Semoga harapan ini bisa lebih luas seluas alam ciptaan Tuhan dan tidak menjadi harapan yang tertimbun saja.”

 

Pernah dimuat di Koran Cetak Harian Pagi Papua

15 Desember 2013

 

EUSTRESS

by on Juli 30, 2023
  Masih terasa olehku betapa dinginnya air sungai Pasir Keranji. Aku terpaksa harus menyeberanginya dengan sangat cepat jika aku tidak ingin...


“Kakak udah kirim ucapan selamat hari ibu belum?” tanya seorang juniorku tiba-tiba saat kami tengah asyik berbincang. Aku sendiri lupa entah apa yang sedang kami bicarakan hingga pada akhirnya ia mengeluarkan pertanyaan itu. Awalnya aku hanya senyum saja. Namun kemudian ku pikir perlu sebuah jawaban penjelas.
“Kakak udah sms tadi lewat do’a.” juniorku itu terperangah. “Mama sudah di surga. Bagi Kakak setiap hari adalah hari ibu.” Juniorku itu mengangguk-angguk mengiyakan. 
*
            Harus bagaimana ku ungkapkan padanya. Harus bagaimana pula aku memperlakukannya agar tampak istimewa. Terlalu sulit untuk dapat membalas semua jasa-jasanya. Wanita yang rela mengorbankan hampir seluruh hidupnya untuk keluarga, untuk anak-anaknya. Tak peduli sekalipun ia harus menderita.
            “Mama, Za mau kuliah, Ma! Za mau hidup Za ke depan lebih baik lagi, Ma. Za tidak mau kalah dengan anak-anak lainnya yang bisa kuliah hanya karena kitorang tidak punya!”
Mama terdiam. Aku ini anak lelaki satu-satunya. Mungkin berat bagi Mama untuk tidak mengabulkan permintaanku. Tapi mungkin berat juga baginya melepaskanku karena aku termasuk anak yang paling dekat dengannya. Dalam hatiku sendiri, aku cukup sedih jika harus meninggalkan Mama di kampung. Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus kuliah. Aku harus bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Akan ku buktikan pada dunia bahwa aku, Zalius Yikwa, bisa menjadi seorang sarjana.
“Mama tidak bisa membantu banyak, Nak! Mama hanya bisa kirimkan do’a agar kamu bisa menjadi sukses seperti apa yang kamu impikan. Pesan Mama, kamu jangan pernah sombong jika suatu hari nanti harapan demi harapanmu terwujud.” Ku lihat mata Mama berkaca-kaca saat aku bersimpuh di hadapannya. “Satu lagi, jangan lupa untuk senantiasa membantu orang lain jika kamu berlebihan dan tengah berlapang.”
Anak mana yang tidak mengalir air matanya saat mendengarkan petuah dari wanita yang pada telapak kakinya terletak jalan menuju surga. Terlebih ketika akan pergi sedikit jauh.
Cukup pelik jalan yang harus ku lalui agar bisa kuliah. Sikap nekad yang menghantarkanku ke ibukota provinsi ini. Disini aku harus berjuang terlebih dahulu untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Segala pekerjaan ku lakoni. Selagi itu masih halal dan baik. Hingga satu tahun baru aku bisa mengumpulkan uang untuk mendaftar di sebuah kampus ternama di kota ini.
Tidak mudah memang menjalani kuliah sambil bekerja. Tapi aku sangat yakin bahwa sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Baru beberapa waktu aku kuliah, aku mendapatkan tempat baru yang lebih layak. Aku bekerja pada sebuah instansi pemerintahan sebagai cleaning service(CS) dan office boy (OB).
Bukan karena iba mereka membantuku. Tapi karena aku memiliki prestasi kerja yang baik sebagai CS dan OB. Alangkah senangnya hatiku. Ada kemajuan dalam hidupku diperantauan. Bakat lain yang ku miliki juga menghantarkanku pada posisi yang jauh lebih baik. Ini juga berkat dari Tuhan karena bakat yang ku miliki adalah dengan memanfaatkan jasad yang telah Tuhan beri.
Tawaran sebagai pembawa acara memberi ruang lebih banyak untuk aku fokus pada kuliahku. Sementara aktivitas sebagai pembawa acara ku lakoni pada jam-jam tidak ada jadwal kuliah. Syukurnya semua terlaksana dengan baik.
*
Hari itu aku tengah mengisi sebuah acara bergengsi. Aku punya trik tersendiri untuk menarik perhatian audience-ku. Ini kali pertama aku lupa mematikan handphone saat mengisi acara. Hati pun tak kuasa untuk menahan diri dari panggilan itu.
Kakak Denci
Tak biasa ia menelponku. Pasti ada sesuatu yang penting. Aku mengalihkan perhatian penonton sebentar dan meminta rekan pasanganku untuk membawa acara sendiri.
“Halo, Kakak!”
“Kau cepat pulang. Mama su tidak ada.”
“Maksudnya?”
“Mama meninggal.”
Saat itu juga aku langsung meninggalkan lokasi acara dan mencari tiket penerbangan menuju kampungku. Uang yang tadinya ku rencanakan untuk membayar semester berikutnya harus ku pakai terlebih dahulu untuk pulang ke kampung halaman. Sudah lama juga aku tidak pulang karena tidak ada biaya.
Ini duka. Aku baru saja kehilangan Mama. Serasa mimpi. Tapi kenyataannya begitu. Waktu Mama menasehatiku itu sudah lama. Apa itu pesan terakhirnya untukku?
*
“Kakak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengingat-ingat kenangan itu..” Juniorku membuyarkan lamunan.
“Ah, tidak. Yang penting kakak sudah sms tadi lewat do’a.”

(Wamena, 27 Desember 2013)

Sms Lewat Do’a

by on Desember 20, 2016
“Kakak udah kirim ucapan selamat hari ibu belum?” tanya seorang juniorku tiba-tiba saat kami tengah asyik berbincang. Aku sendiri lup...


 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua harus lebih ekstra dalam menjaga anaknya. Apalagi anak perempuan. Pantang. Terlarang. Usia labil untuk menentukan arah masa depan. Begitu pula dengan persahabatan kami.
“Aku akan merantau, Kawan!”
Percakapan kami pagi itu terlampau berat. Masa depan memang bukanlah sesuatu yang pasti. Tapi adalah sesuatu yang hanya bisa direncanakan dengan sebaik mungkin dan kemudian menyerahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Aku membersihkan dedaunan kering yang jatuh dan jatuh lagi sekalipun aku sudah membersihkannya.
“Hashi!” Gadis kecil menyadarkanku bahwa ia sedari tadi ku abaikan karena mendengar curhat kawanku itu. Aku segera menujunya. Ku perbaiki masker di mulutnya. Kondisi alam masih kacau. Sudah dua minggu ini aktivitas di luar rumah banyak yang terganggu.
“Aku kasihan pada mamak dan ayah. Terlampau berat beban mereka jika aku masih disini. Anak perempuan satu-satunya, masih perawan. Di samping itu, aku ini sarjana dan masih menganggur.” Dia terdiam. Aku masih membersihkan cairan yang terus keluar dari hidung gadis kecil. “Aku harus merantau!”
Ku tatap lamat-lamat wajahnya yang tampak sedih. Jelas, aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Beban double. Dilema yang tengah melanda banyak sarjana hari ini. Susahnya mencari pekerjaan dan juga jodoh yang tak kunjung datang. Dia pergi meninggalkanku dengan uraian air mata.
“Mak, Kenapa Acik menangis?”  Gadis kecilku seakan ingin mengetahui.
*
Pada akhirnya dia meninggalkan kampung halamannya ini. Sebuah kota kecil yang tengah membangun kepercayaan diri untuk dapat berkembang dan bersaing dengan kota-kota kecil lainnya untuk mendapat perhatian pemerintah daerah tingkat I. Jika dia bertahan sebentar saja lagi, mungkin akan ada peluang baginya untuk mengaplikasikan ilmunya. Seperti anak-anak kampung ini.
“Itulah, Nak! Mamak tak tahu harus bagaimana terhadapnya. Kamu kan tahu kalau dia itu keras. Kamu sahabatnya sejak kecil.” Ku pandangi wajah mamak. Tentulah berjuta sedih ditinggal anak semata wayangnya. Dalam banyak hal, mungkin mamak akan memikirkan apa dikata orang. Anak semata wayang. Perawan. Sarjana. Penggangguran. Semua hal menjadi semakin diperjelas. Kabar apapun akan tersebar cepat seperti angin.
“Mamak tak menuntut apa-apa dari dia. Sebagai orang tua, adalah kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Anak tidak perlu repot ikut memikirkan tangung jawab orang tuanya. Cukup anak itu melakukan kewajibannya sebagai anak dan patuh kepada kedua orang tuanya. Tapi dia terlalu memikirkan lebih jauh.” Mamak menghela nafas. Kemudian membuang pandangan keluar.
Ayah, di luar sana tampak menyibukkan diri. Tubuhnya yang ringkih sudah cukup membuatku menangis dalam batin kala melihatnya. Lelaki bijaksana dan alim. Rambutnya sudah putih semua. Padahal jika dilihat dari usianya, masih belum terlalu tua. Namun, karena efek kerja keras semasa muda yang membuat tubuhnya sudah tak sewajar usianya.
Apalagi yang dilakukan orang tua itu di rumah selain memelihara lingkungan disamping kegiatan ibadah. Bukanlah harta dunia lagi yang dicari. Sederhana saja. Tetap berkumpul bersama keluarga kecilnya dan bahagia bersama sampai nanti bertemu surga.
“Kamu ngawur. Aku kan beda sama kamu. Lha, kamu wajar saja begitu. Orang tuaku sudah banyak menanggung derita ditambah biaya kuliahku yang banyak. Aku terlalu menyusahkan mereka. Lebih baik aku merantau dulu untuk beberapa tahun. Setelah modal terkumpul, aku akan kembali lagi ke kampung halamanku ini untuk membangun kampung ini. Pun, jika berkumpul bersama orang tua namun tak punya uang untuk apa?” Aku tersentak akan percakapan kami waktu itu. Dia memang keras. Itu karena perasaan bersalahnya yang berlebihan. Mungkin.
Gadis kecilku meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sepertinya ia mulai mengantuk. Ku usap-usap kepalanya. Ku belai wajahnya.
“Berikan yang terbaik untuk anakmu ini. Jangan terlalu dimanja, tapi juga jangan terlalu keras. Sebagai orang tua, kewajiban kitalah untuk menafkahi hidupnya hingga dia lepas tanggungan dari kita.” Mamak memberikan petuah padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Jika suatu hari nanti kita tak bertemu lagi, tolong jaga sahabatmu! Kalian adalah anak mamak dan ayah yang paling berharga. Jaga baik juga cucu mamak ini ya!” Kata perempuan tua itu sambil tersenyum.
*
Air Molek, 14 September 2015
Untuk Anak Mamak Tersayang
Sayangku, kau anak mamak dan ayah satu-satunya. Jika banyakpun harta yang kita miliki melebihi sepetak tanah dan sebuah gubuk kecil ini harus digadaikan untuk menebusmu, maka kami tak kan pernah ingkar janji kami pada Tuhan. Merawat kau, menjaga kau dan membesarkan kau. Sebaik-baik pengasuhan.
Mamak dan ayah tahu, bahwa kau adalah anak yang baik. Oleh karena itu, kau tak ingin lebih memberatkan beban mamak dan ayahmu ini. Namun, tidaklah seperti apa yang kamu pikirkan sesungguhnya. Keberadaan kau di samping mamak dan ayah adalah lebih baik daripada kau harus pergi merantau.
Perantauan itu keras, Nak. Mamak dan ayah tak kuasa dan tak tahan jika kau harus sakit dan menderita dalam perjuangan. Maaf, jika kami justru membebani pikiranmu. Tak mengapa bagi kami dengan apapun keadaanmu. Begitupun pasangan hidup. Kau sudah tahu bahwa bahkan mamak sendiri adalah gadis yang menikah dalam usia yang tak lagi muda dengan ayahmu. Bahkan mamak jauh lebih tua dari ayahmu. Namun, tentang rezki, jodoh dan juga maut tlah tercatat dalam lauh mahfuz. Tak perlu kau khawatir dan menanggapi omongan orang.
Mamak tlah banyak tinggalkan cerita. Nanti kau tanyakan saja sendiri. Kau harus lebih dewasa ya, Nak! Sepeninggal mamak dan ayah, kau akan jauh lebih dewasa. Berbuatlah yang terbaik. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu! Mamak dan ayah slalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Adapun peninggalan mamak dan ayah hanyalah seperti yang kau ketahui sejak dulu. Gubuk ini dan juga sepetak tanah yang slalu subur. Bisa kau tanami sayur-mayur untuk makanmu sehari-hari.
Salam sayang mamak dan ayah.
            Surat yang mamak dan ayah titipkan padaku waktu itu, tlah dibaca olehnya di tanah perantauan sana. Sederhana. Untung saja, pernah suatu ketika ia mengirimi gadis kecilku sebuah hadiah ulang tahun. Katanya itu adalah hadiah kecil yang ia persiapkan untuk kami. Sementara itu, untuk mamak dan ayahnya sendiri belum sempat ia belikan karena uangnya belum cukup. Nanti, sedikit lagi saja uangnya akan terkumpul. Ia pun akan memberitahuku bahwa paketnya akan sampai ke rumahku.
Setelah itu, aku mempunyai tugas untuk mengantarkannya kepada mamak dan ayah. Memberitahu mereka dan meyakinkan mereka bahwa dia tak pernah lupa pada mereka. Dia hanya butuh waktu sebentar saja untuk merantau. Seperti katanya, mengumpulkan modal. Kemudian kembali ke kampung halaman.
Ini sudah tiga tahun dia pergi. Juga tahun pertama sepeninggalan mamak dan ayah. Rumah mereka tetap saja sejuk dan bersih sekalipun udara luar tetap tidak bersahabat. Bulan-bulan ini musim kemarau. Dimana-mana kau tak kan menjumpai langit biru. Tanah-tanah kering. Dedaunan runtuh. Air kering. Batuk, pilek dan sesak nafas menimpa banyak warga. Penerbangan beberapa hari yang lalu sempat ditutup. Namun, hari ini sepertinya terpaksa harus dibuka. Nyatanya di ada di hadapanku kini.
“Mengapa kau sembunyikan kabar ini dariku? Mengapa tidak segera saja kau kabarkan padaku waktu itu? Apa maksudmu?” Dia berteriak sejadi-jadinya. Ada aliran deras di ujung pelupuk matanya. Seperti waktu itu juga. Waktu dia hendak meninggalkan kampung halamannya ini. Seperti waktu itu dia keras untuk merantau mencari peruntungan di tanah orang.
            “Jangan pernah kau sesali. Takkan pernah daun kering yang jatuh lalu terurai kembali menjadi daun segar di ranting pohonnya. Lihatlah mereka! Agar kau bisa merasakan apa yang sesungguhnya mereka inginkan.” Dia pun kini hanya tertunduk di atas gundukan tanah mamak dan ayah.
 
Dimuat di Xpressi Riau Pos, 07 Febuari 2016

UNTUK SEORANG TEMAN

by on Februari 29, 2016
 Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Ibarat seorang anak, ia sudah mulai masuk baligh di usia segitu. Saat itu, orang tua h...